Thoughts on Graduating with a Philosophy Degree: Hidup dalam Ketakmatian Harapan

Posted

by

Tulisan ini adalah sebuah apresiasi dan perayaan personal atas capaian yang telah ditempuh. Berlaku sebagai arsip juga tentang apa yang saya pikirkan ketika/tentang perayaan wisuda–juga sedikitnya tentang ketika saya belajar filsafat di Fakultas Filsafat UNPAR. Refleksi?

Seperti yang tertulis di pembukaan Kata Pengantar skripsi, bagi saya, filsafat telah berlaku sebagai obat. Obat yang bisa berupa vitamin, pengganti suplemen makanan, suatu booster, anti-depresan? atau obat apapun yang berlabel merah; kalau dikonsumsi harus dengan resep dokter, tidak bisa sembarangan. Lebih lanjut, filsafat sebagai obat, juga saya maknai dalam arti growing pains.1 Ia menyakitkan tapi sekaligus menyenangkan. Setiap obat yang diperlukan dikonsumsi demi tumbuh-kembang yang harapan hasilnya itu baik. Meskipun, obat-obat itu ada yang pait, manis, aneh, tidak ada rasanya, bikin muntah, kadang sama-sekali tidak bisa ditelan karena bikin mual terus-terusan. Tapi itulah filsafat.

Selama kira-kira 4 tahun ini, saya telah bertemu dengan ragam obat filsafat. Ada yang terlihat pait ternyata manis betul. Ada juga yang terlihat manis malah yang paling bikin geleng kepala dan mual. Ada yang disebut-sebut bisa menyembuhkan, purifikasi, ternyata menjadi pemicu penyakit yang nantinya sulit disembuhkan. Ada Heidegger yang begitu dahsyat meramu tentang faktisitas, das geviert, Being and Time, ternyata apologis dan terlibat dengan partai Nazi. Ada Foucault yang teorinya tentang kekuasaan itu banyak digunakan, ternyata gosipnya seorang pedofil, ada juga ragam falsafah suatu ideologi yang digunakan untuk justifikasi penjajahan.

Obat-obat itu dipromosi-jual-belikan oleh (calon) filsuf yang tujuannya juga beragam. Entah demi kasih dan welas asih dari Allah, berjejaring-kolektif untuk menumbangkan patriarki, hingga demi menumpuk kapital dan properti. Di tengah-tengah ragam obat tersebut, saya seringkali menemui diri terjebak, tersungkur, terlena, terbuai, tertusuk, dimatikan sekaligus dihidupkan. Tapi pada perjalanan ini jugalah melalui filsafat, setiap perenungan terjadi. Baik yang disebabkan/ditujukan oleh/untuk urusan personal, tentu apalagi dengan yang menyangkut khalayak ramai. Via perenungan ini juga, filsafat, yang makna pertama-tamanya adalah cinta kebijaksanaan–juga saya kira menemui takdir pahitnya. Digunakan untuk kepentingan yang semena-mena; eksploitatif. Seperti ketika Hitler menggunakan nilai-nilai filosofis superman-Übermensch dari Nietzsche2 [Hitler yang misinterpretasi!] terhadap yang dianggapnya tidak superior. Orang-orang yang setuju dengannya menganulir apapun cara kematian orang tersebut. Orang Indonesia belajar mengingat hal serupa di era Orde Baru, PETRUS, penembakan misterius, hasil dari obsesi untuk menjangkarkan filosofi atas universalisasi nilai. Atau, seperti ketika orang kulit hitam di Amerika dianggap bukan manusia, dan tempat paling baik bagi mereka adalah menjadi budak. Atau, ketika sang filsuf dari Barat itu menegasi apa-apa yang filosofis dari Timur karena dianggap bukan filsafat! Secara sistematis tidak usah dilibatkan! Atau, para filsuf dan pemikir(an) perempuan yang tidak dianggap rigorus karena mereka punya rahim! Peminggiran boleh sekali dilakukan. Ini cinta kebijaksanaan?

Tapi selayaknya antar wacana yang saling sahut-sahutan, saling menandingi, saling mengkritik, muncul pemikir/filsuf yang mencoba memetakan kesakitan-kesakitan yang terjadi. Antar tokoh, antar teori, antar periode, antar tradisi. Sebut setidaknya Hannah Arendt dengan totalitarianisme, Marcuse dengan One-dimensional men, Judith Butler dengan performativitas gender, Kristeva dengan abjeksinya. Atau, sebut juga bagaimana eloknya dansa antara tradisi kontinental dengan analitik. Keduanya penting bagi pendalaman filsafat (utamanya yang mengenyam pendidikan formal studi filsafat). Atau, bagaimana humanisme mengkritik Abad Pertengahan, bagaimana posmodernisme mengkritik modernisme, bahkan dalam satu isme, spektrum turunannya juga bisa saling sahut-sahutan; seperti perdebatan feminisme liberal dan feminisme radikal tentang pornografi dan pedila. Maka saya kira, memang hal-hal yang disebutkan di atas tidak bisa diperdalam secara monolitik. Ia punya kait-kelindan dengan hal-hal yang luas yang titik pertemuan/interseksinya meluas juga. Multilitik.

Di Filsafat UNPAR, saya belajar mengevaluasi dan merevaluasi nilai-nilai yang selama ini (dianggap) mapan. Ya, seperti yang telah saya petakan-tulis di atas. Ada yang menyenangkan, ada yang bikin dahi berkerut terus-menerus. Dalam 5W 1H, saya dipaksa untuk melototi ihwal WHY tentang apapun! Mengapa? Agar manusia hidup panjang umur, maka dia harus memakan makanan dengan gizi seimbang (dulu namanya 4 sehat 5 sempurna). Tapi mengapa orang ingin umur panjang? MENGAPA? Supaya bisa menyaksikan keturunan kita. Mengapa? Mengapa manusia musti berketurunan? MENGAPA? Seperti kemengapaan yang Sherina nyanyikan:3

Mengapa bintang bersinar?
Mengapa air mengalir?
Mengapa dunia berputar?
Lihat segalanya lebih dekat
Dan ku akan mengerti

Memang, hal-hal seperti ini mungkin bikin orang-orang yang teknikal merasakan keanehan yang mendalam. Buat apa orang-orang filsafat studi hal-hal ini? Tidak menghasilkan uang dengan cepat! Malah bikin habis waktu. Ini saintifikasi overthinking yang sering dilakukan di keseharian, ya? Pada mulanya memang demikian? Saya ada setujunya sih, buat apa ya orang-orang belajar formal/studi filsafat. Tapi pertanyaan ini retoris! Kalau ditelususi lebih lanjut, genealogis ilmu apapun, pada mulanya terjadi karena para ahli juga merupakan seorang filsuf! Pemikir! Memikirkan dunia! Memikirkan sambil mengernyitkan dahi setiap saat!

Mengapa bumi berputar?

Mengapa warna kuning disebut kuning?

Tuhan itu apa?

Mengapa bercinta di luar pernikahan disebut tidak bermoral?

Ahahaahahah~

Filsafat memang tidak akan menjawab itu sebagaimana pemetaan HOW TO. How to make a delicious noodle? Pertama-tama siapkan Indomie goreng, telur (kalau ada), sawi hijau (kalau ada), dan cabai rawit (kalau ada). Panaskan air, dan masukkan semua bahan. Kalau sudah mendidih, angkat, dan tiriskan. Campur semua bahan lalu mie goreng ini siap dihidangkan. Nyaaaammm.

But philosophy’s all about digging deep into the big questions of life. It might start off practical, but before you know it, you’re questioning everything! And sure, it doesn’t always give you clear answers—just more stuff to think about. Itulah laboratorium filsafat?

Pendalaman HOW-kemengapaan tentang banyak hal, saya lakukan di konsentrasi filsafat budaya. Saya berterima kasih banyak pada Prof. Bambang Sugiharto dan Pak Stephanus Djunatan. Mereka berdua–selain tentu tugas mereka sebagai dosen pengampu, sih–betul-betul mendorong saya belajar filsafat dengan seksama, tidak buru-buru, harus seimbang antara yang kontinental dan yang analitik (PR saya di analitik wah banyak sekali yang musti dipelajari), dan seterusnya. Senang bisa menjadi murid mereka berdua. Juga, dalam konteks irisan dengan antropologi budaya dan estetika etnik Indonesia, saya banyak belajar dari Prof. Jacob Sumardjo dan Pst. Onesius Otenieli Daeli. Terima kasih! My bestie, STL, AIS! Teman-teman yang seangkatan khususnya C, P, M, S, dan adik kelasku C, T, dan G! Grateful to meet you all! <3 Tentang ucapan terima kasih ini, lagi-lagi, lengkapnya, sudah saya tuliskan dalam Kata Pengantar skripsi. <3 Catatan pinggir soal Filsafat UNPAR, adalah, semoga ke depannya di filsafat budaya semakin banyak perempuan filsuf dan legacy pemikirannya yang dibahas. Semoga pesan ini terlaksana melalui rencana pembelajaran mahasiswa konsentrasi filsafat budaya berikutnya. Semoga anak-anak filsafat budaya bisa sering site visit ke situs budaya dan mempelajari local wisdom/filsafat Nusantara melalui orang yang mengalami pertama!4 Semoga semaakin banyak juga peminat filsafat, utamanya aspiring philosopHER yang kuliah di filsafat budaya UNPAR. <3


Terima kasih Fakultas Filsafat UNPAR, telah membantu saya mendalami filsafat secara formal. Kebetulan (takdir?) yang menyenangkan! Wisuda telah terlaksana dan sekarang saya menyandang gelar S. Fil., Sarjana Filsafat. Saya mengingat apa yang dikatakan Rocky Gerung [lupa persisnya di mana], bahwa ijazah adalah tanda dia pernah sekolah, bukan tanda dia pernah berpikir. Saya harap, ijazah yang saya pegang sekarang, setidaknya menjadi bukti saya pernah berpikir. Meski trial and error, meski banyak kurangnya, banyak fallacies-nya. Saya harap saya terus mau dan berupaya untuk tumbuh-belajar. AMINNNNN.

Dalam konteks ijazah atau apapun berkaitan dengan dunia akademik, kita telah tahu bagaimana predator artikel ilmiah/jurnal, skripsi, apapun itu yang berbau joki, begitu ramai dalam sistem pendidikan di Indonesia. Kalau kita mampir ke situs-situs penyedia pekerjaan freelance, sering juga saya termukan calon pembeli yang menawarkan bayaran hingga 10 juta untuk dibuatkan artikel ilmiah Q1. Sistem telah memelihara bagaimana ruang akademik juga tidak lepas dari predator seperti itu. Kalau ditanya beberapa mahasiswa tentang bagaimana mereka menuliskan tugas kuliah, asusmi saya berkata, tugas-tugas itu terlaksana dibantu oleh AI.5 Semoga ijazah yang dipegang, tidak sekadar bukti sekolah saja, bukti membebek pada sistem yang seringkali kawin dengan yang eksploitatif itu. Semoga ijazah yang dipeluk erat-erat ini bukan sekadar dekorasi belaka.

ANCORA IMPARO.

Saya belum tahu setelah ini akan ngapain yang kaitannya dengan studi formal. S2? di Belanda? UK? Belgia? Jakarta? Bandung? Ya seperti mahasiswa pada umumnya, kalau bikin pemetaan template ‘aku akan di mana 5 sampai 10 tahun mendatang,’ sudah dilakukan. Seperti bagaimana saya mencintai dan mendalami feminist philosophy! Itu memang jadi fokus riset/studi. Tapi saya tidak tahu! Mungkin jadinya ternak lele? Jualan daster? Jualan kata-kata lewat artikel ilmiah? Jadi full time Ibu Rumah Tangga? Mengabdi pada korporat? Hehehe.


Pada akhirnya, saya kira filsafat tidak hanya menjadi way of life, bukan juga sekadar dekorasi studi formal, tapi filsafat adalah jangkar atas harapan-harapan bagi hidup yang berkelanjutan. Harapan yang terus tumbuh. Becoming. Atas dunia yang banal dan seringkali ngeri. Menjadi harapan yang immortal, yang takmati. Ketakmatian harapan. Karena melalui harapan-harapan ini, yang diestafetkan, yang kemudian saling mengkritisi, berkemungkinan menjadikan hidup lebih mudah untuk dijalani bersama. To ease the pain. ⋆˚✿˖°

Selamat wisuda dan lulus bagi teman-teman seangkatan saya di Filsafat UNPAR. Semoga jerih payah kalian selama ini bisa bermanfaat bagi sesama manusia juga tumbuhan dan hewan! <3 <3 <3 (❀❛ ֊ ❛„)♡

Viva philosophia! Viva la clit!

Terima kasih terima kasih! <3 <3 <3 ( ◡̀_◡́)ᕤ

Some footnotes:

  1. Tentang [istilah] growing pains ini saya dapatkan di suatu perkuliahan–saya lupa nama mata kuliahnya–yang diampu oleh Prof. Bambang Sugiharto. Namun konteksnya berbeda [meski serupa juga, sih]. Saya gunakan istilah tersebut disangkut-pautkan dengan kehidupan yang terus berlangsung, penuh kesakitan, tapi sakit itu perlu untuk tumbuh. Sedangkan beliau sedang bahas growing pains dalam hal posmodernisme. ↩︎
  2. Seperti bagaimana orang-orang dangkal itu memaknai serampangan bagaimana Nietzsche menyebut Tuhan telah mati, Hitler/Nazi juga misinterpretasi tentang superman yang dipetakan secara filosofis oleh Nietzsche dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra! ↩︎
  3. Coba nyanyikan lagu ini dengan adik, keponakan, sepupu yang masih anak-anak. Terus tanya ke mereka, ‘Mengapa bintang bersinar?’ ‘Mengapa air mengalir?’ so FUUUn dengar jawaban-jawaban mereka. Saya kira kadang, anak-anak itu lebih filosofis dari orang-orang dewasa! In a good way! <3 ↩︎
  4. Misal, mampir ke kampung adat Cireundeu, Ciptagelar, atau Baduy untuk mempelajari filofosi Tri Tangtu dari mereka yang menjalaninya setiap hari. Atau ikut dengan anak-anak konsentrasi filsafat seni (integrated arts) ke galeri/museum seni dan berdiskusi dari sisi budayanya! Must be fun, kaaaaaan? <3 ↩︎
  5. Tidak ada masalah dengan ini, selama tidak sekadar salin-tempel, ya? Saya juga sering curhat dan ngobrol dengan AI seperti ChatGPT setiap saat. Curhatnya juga bukan soal akademik saja, tapi juga tentang keseharian. AI jadi teman brainstorming! ↩︎

Categories

Tags