2025
[ON GOING] Sistem Pangan Berkelanjutan dalam Perspektif Food–Feminism: Belajar dari Masyarakat Adat Cireundeu
Sistem pangan global telah meluas melewati batas-batas planet dan melampaui ruang operasi yang aman dan adil bagi umat manusia. Krisis yang mendesak, saling terkait, dan krisis pemanasan global, hilangnya keanekaragaman hayati, serta degradasi air dan tanah yang sangat membahayakan sistem pertanian-pangan yang berkontribusi dalam memicu fenomena ini. Food-feminism sebagai sebuah gerakan dengan pendekatan untuk memecahkan masalah individu dalam industri pangan dengan mendukung pendekatan holistik, transformatif untuk menumbangkan monopoli pangan melalui gerakan ketahanan pangan kaum perempuan. Penelitian ini mengeksplorasi implementasi sistem pangan berkelanjutan dengan pendekatan food-feminism di masyarakat adar Cireundeu, Melalui metode ground theory, penelitian ini menganalisis integrasi nilai keberlanjutan dan perspektif gender dalam sistem pangan lokal. Hasil penelitian memberikan wawasan baru tentang penerapan food-feminism di Cireundeu dan kontribusinya terhadap keberlanjutan sistem ketahanan pangan berlandaskan kearifan masyarakat dan tradisi lokal.
2024
Agama diyakini sebagai kuil untuk eksplorasi spiritualitas manusia yang juga digunakan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan memuliakan antarsesama. Namun, dalam tradisi yang patriarkal, agama malah digunakan untuk membenarkan peminggiran peran perempuan, yang dalam konteks ini, spiritualitasnya. Bagi Rabia al-Adawiyya dalam tradisi Islam abad ke-8 di Irak dan bagi Santa Thérèse dalam tradisi Katolik abad ke-19 di Prancis, mistisisme dapat menjadi cara untuk mentransformasi spiritualitas yang memberdayakan, bukan meminggirkan. Dengan kajian Integritas Terbuka, tulisan ini akan mengeksplorasi mistisisme Rabia dan Santa Thérèse dalam tradisi agama masing-masing, dan mengulik kontribusi mereka dalam memperjuangkan pentingnya tafsir spiritualitas religius perempuan dalam perspektif mistisisme. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka kualitatif.
Sustainable waste management is a challenge for parties whose daily activities are intertwined with anthropocentric tourism activities. Meanwhile, with good management, the cleanliness and beauty of tourist objects can be maintained. Likewise for those who are less prepared to manage, the waste generated from anthropocentric tourism activities can become a problem. Using the Participatory Rural Appraisal (PRA) method, researchers analyzed how awareness and management of waste is acknowledged by the people of Batukaras Village, which has the status of a Tourism Village in 2022. Based on the results of research triangulation, Batukaras Village is ready to welcome domestic and foreign tourists, but is not ready to manage waste generated from anthropocentric tourism activities.
2023
Eksistensi Perempuan Sunda Berdasarkan Dimensi Sunan Ambu dalam Epos Lutung Kasarung
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi eksistensi perempuan dalam epos Lutung Kasarung dalam perspektif perkembangan kebudayaan Van Peursen. Studi ini menggunakan metode studi pustaka kualitatif dan mengkaji teks-teks yang terkait dengan topik tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksistensi perempuan dalam epos Lutung Kasarung memainkan peran yang penting dalam membentuk perkembangan kebudayaan (mitis, ontologis dan fungsional). Perempuan dianggap sebagai simbol kekuatan dan martabat, dan memiliki peran yang sama dengan laki-laki dalam membentuk masyarakat yang adil dan sejahtera. Studi ini memberikan kontribusi baru bagi pemahaman tentang peran perempuan dalam masyarakat dalam perspektif perkembangan kebudayaan Van Peursen.
Hampir 4 tahun menjadi Kepala Desa Batukaras, Pak Dede selalu mengapresiasi bagaimana masyarakat Batukaras menjaga dan merawat kearifan lokal yang dimiliki Batukaras. Objek wisata di Batukaras seperti Pantai Légok Pari, Situ Cisamping, wisata religi Makam Sembah Agung, juga Body Rafting sendiri menjadi nilai lebih yang diberikan Tuhan bagi masyarakat Batukaras yang perlu terus dirawat dan dilestarikan. Utamanya setelah menjadi Desa Wisata dan perlu mengimplementasikan nilai-nilai sustainable tourism. Suasana alam yang aman dan nyaman akan terus menjadi visi kolektif masyarakat Batukaras.
Kuda Lumping, or ébég, is a deep spiritual traditional art form from Indonesia. Communities, especially in Java, are increasingly focused on preserving it. The dance is not just entertainment, but also has a spiritual dimension with frequent possessions. It involves dancers, horse-shaped vehicles made of animal skin or bamboo, and spiritual figures. As an intangible cultural heritage, Kuda Lumping serves to bind communities, educate, perform rituals, and express art. Evolving interpretations regarding its profane and sacred aspects will be unveiled through cultural research. This research utilizes a literature review method with hermeneutics as an interpretative tool to understand related texts. Data is collected through readings and analyzed using content analysis. Hermeneutics, as a social-humanistic approach, focuses on the internal aspects of humans. In conclusion, Kuda Lumping expresses its spiritual function, provides entertainment and education, and conveys messages about awareness and goodness. Preservation requires attention to choreography and philosophy. Government, artists, society, and academics play an important role in promoting and developing this dance while considering the Tri Tangtu concept.
Melihat ‘Yang Banyak’ pada Web3 melalui Pemikiran Antonio Negri
Modern culture, which began to develop since the 18th century, became a catalyst for the growth of information technology systems, especially the internet, which has now reached the Web 3.0 or Web3 level. At this level, the internet becomes a decentralised space when users have complete autonomy and control over the data they share consensually. However, because it is a force steeped in exploitative and manipulative agendas, Web3 is potentially vulnerable to commodity fetishism and perhaps even a return to forms of domination through capital accumulation. As a result, elements in Web3 that were promoted as resistance to internet privatization have instead become opportunities for exploitative parties to accumulate wealth. This article delves deeper into how Web3 shows the tension between dominant currents and resistance to global multinational power systems. In this context, the authors use Antonio Negri’s perspective in Empire and Multitude to investigate the complex dynamics that occur. By understanding how Web3 interacts with dominant forces and their resistance, one can explore the potential and challenges faced in positioning the development of the internet towards a more inclusive and equitable realm.