[Rangkuman] Tentang Diri berdasarkan Perspektif Barat

Posted

by

Rangkuman Chapter 1 History as Prologue: Western Theories of the Self; Buku The Oxford Handbook of the Self (2012) // Arsip tugas mata kuliah Topologi Diri tahun 2022.

The School of Athens karya Raphael (1483–1520)1

Pada bagian ke-1 buku The Oxford Handbook of the Self (2012) yang disunting oleh Shaun Gallagher, teori-teori dalam kacamata barat tentang Self atau Diri, dibahas John Barresi dan Raymond Martin, ke dalam 15 sub-bahasan. Kira-kira sub-bahasan itu mencakup penjelasan tentang Diri secara singkat dan padat berdasarkan pandangan Plato, Aristoteles, Epikuros, Kristianitas dan kebangkitan Diri, hingga Descartes. Selanjutnya, Barresi & Martin menjelaskan Diri dalam konteks naratif dan eksploratif, yang kontennya berkaitan dengan, naturalisasi jiwa, identitas personal, asal-usul psikologi sosial, perkembangan konsep, hingga prospek teori Diri.

Barresi & Martin membuka tulisannya dengan memaparkan perspektif umum tentang Diri dari kacamata John Locke. Menurut Locke, “PERSON… as I take it, is the name for… self. Wherever a man finds what he calls himself, there, I think, another may say is the same person.” maksudnya, Diri dan Person menurut Locke, merujuk hal yang sama. Meskipun memang Locke tetap mendefinisikan keduanya dengan berbeda. Diri disebutnya sebagai conscious thinking thing atau entitas yang berkesadaran. Sedangkan Person merupakan thinking intelligent being atau manusia yang berpikir. Dalam tulisannya, diklaim bahwa konsep Diri dan Person digunakan untuk membahas ide yang sama. Ketika Barresi & Martin berbicara tentang Jiwa atau Psike juga merujuk ide yang sama seperti Diri dan Person.

Diri menurut Plato

Dalam Phaedo karya Plato (429-347 BC), Sokrates menyamakan Diri dan Psike. Dalam kepercayaan di Yunani sebelumnya, tradisi menyebut bahwa Psike terpisah dari tubuh. Plato sendiri menyebut Jiwa itu imaterial, terpisah dari tubuh. Jiwa menjadi pusat kepribadian dan substansi spiritual penting bagi manusia. Hal ini saya kita berkaitan juga dengan teorinya tentang Dunia Ide sebagai dunia paripurna menurutnya.

Diri sebagai Substansi Hilomorpik

Berbeda dengan Plato, Aristoteles (384-322 BC) justru memandang Diri berkaitan dengan tubuh, sebagai bentuk (form, morphe) dan materi (matter, hyle). Keterkaitan ini berintegrasi menjadi organisme individual. Menurut Aristoteles, setiap makhluk hidup memiliki Psike, karena Psike lah yang menjadikannya dapat hidup. Meskipun begitu, bagi tumbuhan dan binatang, Jiwa tidak bisa dipisahkan dari tubuhnya, sedangkan bagi manusia, Jiwa, bagian Nous, dapat dipisahkan. Tapi menurut Barresi & Martin, terdapat pemikir yang menyebut pandangan Aristoteles sebenarnya tidak menyebut Jiwa dapat dipisahkan dari tubuh.

Diri menurut Epikuros

Menurut Epikuros (341-270 BC), kenikmatan (pleasure) adalah hal yang baik, dan kesakitan (pain) adalah hal yang buruk. Tapi ketakutan akan kematianlah yang menjadi sumber tidak perlu bagi kesengsaraan manusia. Masalah mengenai kematian hanya pada persoalan ketakutan menghadapinya. Solusinya: menerima kematian sebagai bagian dari kenyataan realitas. Kematian, menurut Epikuros, adalah kondisi ketika subjek mengalami penghentian kemampuan untuk mengalami pleasure or pain. Epikuros menolak adanya Jiwa imaterial atau tubuh yang dapat dibangkitkan setelah mati. Keinginan manusia untuk bertahan, dan takut dengan kematian, hanyalah hasil dari sifatnya yang egois.

Doktrin Kristianitas Menyoal Kebangkitan Diri

Pada awalnya dalam kultur Yunani dan Romawi Kuno, keinginan untuk hidup panjang tidak pernah dipikirkan serius. Tapi hari ini, di era industrialisasi modern, keinginan untuk hidup panjang dianggap begitu memikat dan perlu. Hal ini dipengaruhi oleh doktrin Kristianitas tentang kebangkitan di akhirat nanti. Apabila terdapat pemikiran yang menyebut bahwa Diri bisa terlepas dari tubuh ketika mati, dan menjadi Diri yang sepenuhnya beda, Kristianitas menawarkan ketika tubuh mati, Diri tidak terlepas darinya, tapi bersama-sama hidup kembali nanti, afterlife. Meskipun begitu, ada juga yang sebut doktrin sebenarnya: tubuh nanti merupakan tubuh yang identik dengan tubuh yang mati ketika di Bumi, bukan sama. 

Bagaimana bisa rekonstruksi tubuh dapat terjadi atau bisa cocok dengan tubuh yang telah mati? Pertama, pandangan Platonik seperti Origen menyebut, it depends only on the continuation of an immaterial soul. Kedua, pandangan Agustinus, menyebut it depends only on the continuation of both immaterial soul and material body. Ketiga, pandangan Stoik seperti Tertullian yang sifatnya materialis, menyebut it depends only on the continuation of a material body. Pandangan Agustinus lah yang telah mempengaruhi doktrin Kristianitas dalam menjelaskan hubungan substansi Jiwa dengan tubuh. Apabila Plato menyebut bahwa Diri atau Jiwa menjadi pilot yang menggerakan pesawat (tubuh), Agustinus menjelaskan bahwa Jiwa dalam tubuh yang mati, ketika sudah terpurifikasi dengan cukup, ia akan selalu meninggalkan tubuhnya.

Sintesis Aristotelian

Sejak abad ke-3, filsuf Latin memiliki tradisi berpikir bahwa setiap manusia hanya memiliki satu Jiwa. Tapi, pemikiran itu berubah setelah dipengaruhi oleh tulisan De Anima yang ditulis Aristoteles. Jadinya, terdapat tidak hanya satu Jiwa dalam setiap manusia, tapi beberapa; dan setiap Jiwa itu memiliki kedekatan masing-masing dalam setiap bagiannya. Pengaruh Aristoteles ini, dinaturalisasi oleh pemikir Kristen Eropa dalam konteks imortalitas personal (personal immortality). Pada abad ke-17, Diri, secara radikal, disebut produk dari kerja otak.

Dualisme Cartesian

Descartes disebut sebagai pemikir pertama yang menggunakan kata mind (mens) sebagai alternatif untuk menjelaskan jiwa (anima). Dalam pandangannya, Diri itu Akal (The self is the mind), yang memiliki esensi untuk berpikir. Karenanya, Diri memiliki tubuh dan membentuk kesatuan dengannya. Beberapa menganggap Descartes memposisikan Diri seperti pilot dan tubuh sebagai pesawatnya. Pandangan itu menurut Descartes keliru. Diri dengan tubuh tidak seperti pilot dan pesawatnya. Karena ketika pesawat (tubuh) itu rusak, Diri dalam konteks Descartes tidak akan rusak. Diri dan tubuh saling mempengaruhi sebagai mekanisme kausalitas.

Naturalisasi2 Diri

Terdapat dua ide John Locke tentang Diri dan identitas personal, yaitu negatif dan positif. Ide ini berkaitan dengan kesatuan Diri dan Person. Ide negatifnya, keduanya tidak dapat dipahami sebagai kesatuan yang saling mempengaruhi dalam sifat yang parasit. Ide positifnya, kesatuan Diri dan Person dapat dipahami dalam hal penyatuan kesadaran (consciousness). Proses berkesadaran dan berpikir adalah satu kesatuan yang dapat menjadikan seseorang itu Diri yang memiliki identitas personal, dan dengannya dapat membedakan dengan entitas lain. Ketika berbicara kesadaran, Locke merujuk pada memori. Berdasarkan hubungan intrinsik, kita dapat disebut sama (Diri dan tubuh) ketika kita mengingat pengalaman atau yang telah kita lakukan di hari-hari sebelumnya. Berdasarkan hubungan ekstrinsik, kita tidak bisa langsung disebut orang yang sama dengan kita sebelumnya, ketika belum memastikan itu dari memori orang lain selain kita. 

Teori Identitas Personal

Dalam menjelaskan identitas personal, Derek Parfit pada 1970an, seorang Neo-Lockean, menjelaskan bahwa bukan hanya memori saja yang mempengaruhi Diri pembentuk identitas personal itu, namun juga koneksi psikologis, yang meliputi keyakinan, intensi, dan seterusnya. 

Pencarian penjelasan perihal identitas personal dilakukan dari sisi filosofis hingga medis. Misalnya, pada awal abad ke-17, debat Samuel Clarke dan Anthony Collins terjadi. Clarke menyebut adalah tidak mungkin ketika seonggok materi dapat berpikir, sedangkan menurut Collings, bisa. Lalu sekitar akhir abad ke-19, penjelasan identitas personal dicari dari sisi medis dengan melakukan eksperimen membedah otak. Dari eksperimen itu terdapat penjelasan sisi intrinsik dan ekstrinsik.

Asal Usul Konsep Diri

Ide tentang Diri, baru muncul sekitar pertengahan abad ke-18. Pada awalnya, David Hartley (1705-57) mengembangkan penelitiannya tentang perkembangan hasrat dan kaitannya dengan akal. Namun belum sampai pada kaitannya dengan konsep Diri. Lalu, Thomas Reid (1710-96) melakukan penelitian perkembangan psikologi dalam hal Jiwa yang imaterial. Akhir abad ke-18, Hazlitt membedakan 3 tahap perkembangan konsep Diri. Pertama, anak-anak menemukan ide bahwa mereka sebagai beings dapat mengalami pleasure & pain. Kedua, anak-anak, secara mekanik, dapat memahami dirinya berdasarkan pengalaman masa lalu. Ketiga, mereka berimajinasi apa yang mereka inginkan di masa depan. Tahap-tahap ini, dijelaskan Hazlitt dalam kaitannya dengan perkembangan empati dan simpati. Alexander Bain (1811-77) menganggap bahwa Diri dapat didapat berdasarkan konteks sosial di sekelilingnya.

Herbart (1811-7), pemikir Jerman, mengklaim bahwa ide tentang Diri muncul dari pengalaman manusia berdasarkan aktivitas tubuhnya, yang mana menyajikan informasi akan dirinya juga tentang objek yang berinteraksi dengannya di dunia. Lalu, Maine de Biran (1766-1824) dari Prancis, mendeskripsikan bahwa Diri manusia berkembang dari fase binatang, ke fase kehendak (will), lalu fase kebebasan (freedom), yang akhirnya mencapai fase final dalam pengalaman spiritual yang dapat mentransformasi kemanusiaannya. Di Amerika, Baldwin (1861-1934), menyebut: alih-alih seorang anak menyadari dirinya sebagai Person, justru anak itu menyadari dulu keberadaan orang lain. Barulah ketika ia menyadari bahwa dirinya sedang mengimitasi orang lain, maka ia menyadari aktivitas subjektifnya. Lalu, ia mulai mengerti apa yang dirasakan orang lain dengan cara menggunakan kerangka berpikirnya sendiri. Pada fase ini, Diri pun lahir.

Dalam bukunya Phenomenology of the Spirit (1807), Hegel klaim bahwa kesadaran Diri muncul dalam individu tidak melalui tindakan introspeksi dan tidak dalam kondisi terisolasi dari orang lain, melainkan melalui proses dinamis yang memiliki hubungan resiprokal; mengakui keberadaan Diri yang lain, lalu menyadari rekognisi Dirinya dalam orang lain, dan pada akhirnya dapat memahami kesadaran Dirinya. Perspektif Hegel tentang kesadaran Diri telah mempengaruhi pemikir pada era abad ke-20. Misalnya, terhadap pemikiran Sartre: bahwa terdapat kesadaran Diri (self-consciousness) pra-reflektif yang mendahului pengetahuan Diri (self-awareness). Lalu, pemikiran Fichte: bahwa perkembangan kesadaran Diri akan didapat melalui pandangan atau gaze orang lain, seperti produk sosial.

Akhir Kata

Seringkali kita membahas Diri, Jiwa, Psike, Akal, Person dalam kacamata bergantian, mirip, serupa, kadang disebut sama. Seperti ketika Locke membahas Diri dan Person berdasarkan ide yang sama. Lalu, alternatif kata mind sebagai pengganti soul yang digunakan Descartes. Saya kita, yang perlu kita perhatikan, kontekstualisasi menjadi penting dalam memahami Diri: Siapa pemikirnya? Bagaimana latar belakang pembentuk pemikir itu dapat berpikir demikian? Siapa saja yang telah mempengaruhi proses berpikirnya? dan seterusnya. Contoh: Perspektif bahwa Jiwa dan tubuh dapat bangkit kembali di afterlife, bisa saja dipengaruhi oleh doktrin Kristianitas3 yang mengandaikan adanya afterlife dan pemurnian final. Beda lagi dengan perspektif materialis, yang beranggapan bahwa tidak ada afterlife setelah kematian, maka tubuh yang mati, itu lah fase akhir, tidak ada konsep Jiwa yang dipercaya keluar dari tubuh yang mati. Karenanya, kita tidak bisa monolitik dalam memahami Diri.

  1. Disadur dari situs NatGeo Indonesia, tautannya berikut https://nationalgeographic.grid.id/read/133364091/belajar-di-akademia-pusat-pendidikan-yunani-kuno-oleh-plato?page=all. ↩︎
  2. Konsep naturalisasi di sini dapat merujuk pada naturalisasi secara harfiah, juga dalam konteks Locke, pergeseran penjelasan Diri dari kacamata Moral Philosophy ke Natural Philosophy.
    ↩︎
  3. Dalam konteks yang lebih luas, perspektif resurrection tentu berlaku juga bagi agama atau kepercayaan yang menganggap adanya afterlife setelah kematian, dan percaya kebangkitan tubuh nanti. ↩︎

Categories

error: Sorry, content is protected!