Sekilas saja tentang justifikasi peminggiran perempuan ‘penyihir’

Posted

by

Hypatia // Image source: https://sciencephotogallery.com/featured/death-of-hypatia-in-alexandria-sheila-terry.html

Di kota Nördlingen (Jerman) tahun 1593, Maria Höll, pemilik suatu penginapan, dituduh mempraktikan sihir dan ditangkap untuk diadili. Höll membantah tuduhan tersebut selagi dipecut sebanyak 62 kali. Ia pada akhirnya dilepaskan. Perburuan penyihir juga pernah terjadi pada tahun 1590 di kota yang sama kepada Rebekka Lemp. Tapi nasib Lemp berbeda dengan Höll. Karena siksaan yang terus menerus, Lemp pun terpaksa mengakui tuduhan dan akhirnya dibakar hidup-hidup di depan keluarganya sendiri.

Witches? Woman?

Perburuan penyihir marak terjadi di Eropa dan Amerika di periode koloni yaitu dari abad ke-15 hingga abad ke-18. Kenapa terjadi?

Mungkin kita sering dengar bagaimana perburuan penyihir terjadi kepada ‘dukun’ atau perempuan-perempuan yang digambarkan seperti nenek lampir yang menakutkan. Diproyeksikan dengan ilustrasi yang gelap yang mengindikasikan ‘dukun’ itu menyeramkan, harus dijauhi. Yang mendekat adalah orang-orang yang klenik, yang juga ‘kotor’ atau pendosa. Orang yang datang pada penyihir pasti ingin melakukan susuk, tumbal, teluh, dsb. Labelisasi penyihir bisa jadi merupakan cara untuk melancarkan peminggiran terhadap mereka. Baik-buruk, benar-salah. Agama adalah baik, penyihir adalah salah. Ketika terjadi hal buruk, maka tuduhan absolut harus dilayangkan pada penyihir. Para penyihir atau yang dituduh penyihir kemudian dianggap sebagai penyebab material hal-hal jahat terjadi di muka bumi ini. Yang buruk sudah pasti datang atau terjadi karena keterlibatan para penyihir itu.

Fenomena perburuan penyihir terjadi tidak oleh satu pihak, tapi banyak dan sistematis. Dari mulai tuduhan (accusation), lalu penangkapan (apprehension), kemudian pemeriksaan (examination), pengakuan (confession), penghukuman (conviction), dan terakhir eksekusi mati (execution) melibatkan orang-orang yang memiliki jabatan, dianggap penting, tokoh masyarakat, ahli, yang berkontribusi dalam menjustifikasi dan melegitimasi terjadinya perburuan hingga peminggiran.

Biasanya orang yang dituduh sebagai penyihir dianggap mempraktikkan atau memiliki kekuatan sihir hitam atau terlarang yang kekuatan ini didapat dari Setan. Penyihir dianggap pasti jauh dari Tuhan, maka ia merupakan negasi dari para umat Tuhan.

Kraemer & Sprenger

Pemikiran seperti ini diendors dan dinormalisasi oleh figur teolog bernama Heinrich Kraemer melalui pencarian penyihir pada tahun 1485. Ia menulis buku berjudul Malleus Maleficarum yang berisikan tentang praktik sihir dan bagaimana kita dapat ‘mengukum’ para penyihir tersebut. Buku ini dibuka dengan pertanyaan peneguhan bahwa seorang Katolik tulen sudah pasti menolak praktik sihir. “Is it so much part of orthodox Catholic [doctrine] to maintain that workers of harmful magic do exist that stubbornly maintaining the opposite is in every respect and in all circumstances heretical?

Buku ini juga memiliki bagian teks yang berjudul ‘Attitudes Towards Women‘ yang dinarasikan dengan cara misoginis. Bagian ini mengklaim bahwa praktik sihir muncul sepenuhnya dari hasrat ketubuhan yang tidak terpuaskan pada tubuh perempuan. Narasi ini mengindikasikan bahwa penyihir pasti lebih banyak perempuan. Karenanya yang dituduhpun lebih banyak perempuan.

Di abad 15-18, buku ini menjadi pijakan tokoh penting Katolik dan Protestan Roma dalam memahami penyihir dan lebih lanjut soal Satanisme yang harus dibrantas bagaimanapun caranya. Dengan dukungan ini, di abad tersebut dianggap merupakan abad witch-hunting hysteria.

Yang bisa jadi penyihir bisa siapa saja, laki-laki atau perempuan. Tapi karena lingkungan yang patriarkis, perempuan menjadi target paling mudah untuk dipersekusi karena yang juga paling dianggap sebagai sosok yang paling gampang dikelabui oleh Setan. Khutbah-khutbah tokoh agama waktu itu juga banyak yang mengikuti norma ini. Bagi pihak yang tidak suka bagaimana perempuan tampil di publik juga seringkali gunakan tuduhan ini untuk membungkam dan meminggirkan.

Di lingkungan yang memosisikan perempuan sebagai garda urusan domestik, tuduhan praktik sihir juga seringkali dilayangkan ketika kesulitan di sektor domestik datang. Perempuan (atau siapapun yang masuk ke dalam kelompok outcasts) akan dituduh penyihir ketika terjadi gagal panen, ternak yang mati/sakit, anak yang lahir karena cacat. Ini adalah logika berpikir yang dianggap ‘rasional’ pada periode tersebut.

Di kesejarahan tentang perburuan penyirih, juga muncul interpretasi bagaimana tuduhan tersebut diberikan kepada perempuan-perempuan yang artikulatif dan cerdas. Mirip dengan konotasi negatif ‘ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi’ dalam rangka menganulir upaya perempuan untuk berdikari. Bagi pihak-pihak yang hanya setuju dengan cara pemosisian perempuan secara paksa untuk submisif, tuduhan seperti ini memang menjadi cara ampuh agar para perempuan tetap berada di lingkup domestik.

Perempuan cerdas dianggap penyihir; tidak memiliki tempat di dunia yang falusentris dan harus ‘dibunuh’

Sekilas saja tentang Hypatia, perempuan filsuf dari Alexandria c. 350, yang dibunuh dengan cara keji. Ia ditarik, diseret, ditelanjangi dan dipecut hingga mati, kemudian tubuhnya dibakar. Ia dibunuh oleh pengikut agama Kristen fanatik yang menyebut Hypatia sebagai heretik, i.e karena ia merupakan Pagan. Beberapa yang dianggap bertanggung jawab atas insiden ini, yaitu Cyril dan John of Nikiu, merespons dengan justifikasi bahwa Hypatia harus dibunuh karena merupakan penyihir dan turunan setan. Di era tersebut, orang-orang dengan pemikiran bahwa ‘penyihir’ adalah heretik dan klenik, tidak berani menelusuri lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi. Ketika orang tahu dan mempercayai bahwa Hypatia adalah penyihir, apapun yang terjadi terhadapnya dianggap sebuah hukuman yang setimpal.

Karya seni di bawah ini mencoba mengilustrasikan bahwa penyihir itu pintar di bidang medis. Di kesejarahannya, justru yang dianggap penyihir perempuan konon yang tidak berpendidikan, seorang prostitut, yang hidup dengan pekerjaan yang dianggap kotor.

Witches in a Hay Loft by Thomas Rowlandson, 1807-1813 // Source: https://www.thecollector.com/european-witch-hunt-myths-against-women/

Apabila melihat fenomena perburuan penyihir, apa sebenarnya bukan persoalan perempuan itu berpendidikan, pintar, atau seorang outcast, tapi bisa jadi ‘sesederhana’ kebencian terhadap perempuan, perburuan perempuan penyihir dilanggengkan. Ini bisa berarti bahwa perburuan penyihir juga alat femisida.

Perspektif lain dari Federici: Perempuan penyihir dan para marjinal (Caliban) yang dipinggirkan adalah cara orang-orang nirempati untuk tujuan akumulasi kapital.

Silvia Federici melalui karyanya Caliban and The Witch (2004), telah menelusuri bagaimana opresi terhadap perempuan dan ‘perburuan’ penyihir abad ke-16 hingga 17 berkaitan dengan kerja-kerja reproduksi (yang tidak dibayar) dalam rangka melanjutkan estafet kapitalisme. Buku yang merupakan hasil penelitian di tahun 1970an ini menyingkap bagaimana mekanisme kapitalisme dalam memisahkan kerja-kerja produksi dan reproduksi; dan bagaimana pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dibentuk justru menciptakan eksploitasi lebih lanjut. Federici menggunakan pengalaman-pengalaman perempuan yang diilustrasikan sebagai penyihir dan orang-orang terjajah–Caliban–atau yang ia sebut tubuh-tubuh/orang-orang proletariat yang penting dalam revolusi melawan kapitalisme.

“the witch-hunt grew in a social environment where the ‘better sorts’ were living in constant fear of the ‘lower classes’” and their potential for insubordination” (p. 173).

Witch-hunt, atau perburuan penyihir, oleh Federici, disebut sebagai cara yang digunakan orang-orang yang berada di kelas mapan untuk meminggirkan orang-orang yang dianggapnya menghalangi misi mempertahankan kemapanan tersebut. Perburuan penyihir pada akhirnya merupakan alat untuk mengontrol dan mendisiplinkan kelas-kelas pekerja (yang terindikasi terlalu keras mengkritik, misal, atau menghalangi upaya para landlord, pemilik properti, menumpuk kekayaan). Karena dengan perburuan ini lah transisi feodalisme ke kapitalisme dapat terjadi.

Narasi Calon Arang yang seksis juga contoh bagaimana narasi tersebut lekat dengan kesejarah perburuan/pembunuhan penyihir.

Kita mengenal cerita Calon Arang yang diposisikan sebagai perempuan penyihir, tukang guna-guna, penyembah Durga, sebagai tokoh antagonis, sumber penyakit di masyarakat, sosok janda jahat tukang teluh. Prof. Toeti Heraty meredefinisi narasi misoginis itu dengan bentuk narasi emansipatoris. Narasi yang mempertanyakan secara retorik tapi mendalam mengapa Calon Arang diposisikan demikian. Mengapa Calon Arang marah? Mengapa Ni Rangda dan Calon Arang seolah merupakan dua being yang dibedakan? Mengapa perempuan marah-marah begitu diliyankan?

Membaca Calon Arang melalui perspektif Prof. Toeti, adalah upaya saya memahami mengapa banyak mitos-mitos, legenda, dsb. mendeskripsikan perempuan dalam kerangka either-or belaka. Warisan duka telah mendesak perempuan untuk memilih di antara. Antara Hera atau Aphrodite, antara Athena atau Artemis, antara menjadi ibu rumah tangga atau berkarir, antara suci atau nakal. Seolah pengalamannya tidak mengalami perkembangan, perlu diadabkan, dan karenanya seolah tidak memiliki kemampuan, faculty, agensi, untuk menarasikan dirinya sendiri.

Cerita atau tentang penyihir yang kita tahu, mungkin adalah bentuk kekerasan epistemik yang tidak kita sadari. Penyihir atau dalam konsep yang serupa, seperti hantu-hantu yang narasi simboliknya berkaitan dengan opresi perempuan juga ada di sekeliling kita… seperti Perempuan Jembatan Ancol, Kuntilanak, Wewe Gombel… narasi seksis seringkali sulit lepas dari pendefinian ‘eksistensi’ mereka. Perburuan penyihir memang ada, terjadi secara sistematik, melibatkan suatu ideologi yang dipupuk sebagai alat menjustifikasi peminggiran. Apakah kita bagian dari fasad ini? Kamu pernah melakukan tuduhan penyihir?


Referensi

Also this:

Lahir sebagai perempuan kemudian memperjuangkan akses/keterlibatan di ruang publik (pendidikan, politik, ekonomi) di periode ketika hal tersebut merupakan keanehan, malah dapat menjadi sebuah ancaman balik bagi perempuan itu sendiri. Hal ini terjadi di lingkungan dengan pola pikir yang mengendors opresi terhadap perempuan karena pemikiran atau keyakinan bahwa perempuan memang secara kodrati tidak boleh eksplorasi ruang publik. Hanya ruang domestik yang harus dikuasainya. Template pemikiran seperti ini, melibatkan kultur yang dinormalisasi dalam payung patriarki, falusentristik, misoginis/seksis, kapitalistik-eksploitatif. Bagi orang-orang yang menyetujui pemikiran tersebut, peminggiran perempuan dengan cara perburuan perempuan dengan label penyihir hanyalah satu dari sekian cara. Semoga refleksi ini menjadi pengingat.


Categories

Tags

error: Sorry, content is protected!