Feminist philosophy atau yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi filsafat berperspektif feminis atau filsafat feminis menjadi salah satu fokus riset/studi orang-orang yang mengenyam pendidikan formal di bidang ilmu filsafat. Tentu, orang non-filsafat juga bisa memiliki ketertarikan dengan filsafat feminis, sebab fokus ini juga berkelindan dengan tema besar humaniora yang berkaitan dengan ketidakadilan gender, ketimpangan sosial, dan seterusnya.
Mungkin beberapa dari kita familiar dengan terjemahan filsafat berperspektif feminis karena pernah berkenalan atau membaca buku Prof. Gadis Arivia dengan judul yang sama, yaitu Filsafat Berperspektif Feminis (Yayasan Jurnal Perempuan, 2003). Para penstudi ilmu filsafat yang fokus di feminist philosophy, termasuk saya, sering merujuk pada buku tersebut untuk menelusuri kesejarahan filsafat dan filsuf yang acapkali seksis dan luput untuk mempertimbangkan perspektif feminis dalam kerja/karya filsafatnya. Lalu, apabila menggunakan terjemahan filsafat feminis, feminis di sini tidak serta-merta merujuk pada kata benda atau seseorang/seorang feminis—meski bisa juga, sih—tapi lebih utama berbicara mengenai kata sifat atau muatan nilai dari filsafat itu sendiri. Filsafat yang memiliki nilai-nilai feminis.
Keduanya, menurut saya, bisa digunakan secara bergantian dan tetap merujuk hal yang sama, yaitu feminist philosophy. Namun, di tulisan refleksi ini, saya tetap akan menggunakan feminist philosophy, ya!
Sebagai pendahuluan, berikut 2 sumber yang membantu saya berkenalan dengan feminist philosophy. Yaitu 1) dari Plato Stanford/Stanford Encyclopedia of Philosophy (SEP) yang ditulis oleh filsuf Noëlle McAfee (2023), dan 2) dari Wikipedia yang membahas Feminist Philosophy.
Berikut ringkasan inti dari SEP:
Pendekatan feminist philosophy
Pendekatan atau metode ini dapat membantu penelitinya untuk mendalami bagaimana isu-isu dalam filsafat bisa dikuliti dari perspektif yang feminis.
Intervensi berperspektif feminis dalam filsafat
Bagaimana filsafat yang feminis mulai berusaha mentransformasi pandangan filosofis yang tradisional yang selama ini meminggirkan tradisi pemikiran/pemikir yang dianggap tidak mampu berfilsafat.
Topik-topik dalam feminist philosophy
Topik-topik yang diteliti oleh feminist philosophy bisa jadi merupakan teori, konsep, atau hal-hal yang selama ini tidak dianggap penting, seperti persoalan tentang otonomi, tubuh, objektifikasi, seks/gender berikut dengan perdebatan sexual consent, juga reproduksi.
Tapi pertama-tama, apa itu feminisme?
Merujuk pada yang ditulis McAfee di artikel SEP:
“Overall, feminism can be understood as not only a social movement but also a set of beliefs, concepts, and theories that seek to analyze, diagnose, and identify solutions to the manifold injustices that people suffer on account of gendered norms. Broadly understood, this is feminism as an intellectual movement. The SEP feminist section aims to chronicle and explain the various theories, concepts, and philosophical tools that feminist philosophers have developed.”
Mungkin dari kita sudah hafal di luar kepala bagaimana perkembangan feminisme dalam kesejarahannya, dari mulai gelombang 1-4, dst. Atau yang secara deskriptif menjelaskan feminisme berdasarkan tokoh-tokoh atau (perempuan) pemikir yang berjasa dalam perkembangan feminisme: baik secara teori atau praktik. Harapannya, kita tidak terpaku pada yang deskriptif ini. Dan untuk mengatasi hal tersebut, mendalami secara filosofis dipercaya perlu disematkan supaya tidak terjebak dalam pengetahuan yang sifatnya deskriptif belaka. Maksud mendalami secara filosofis, kira-kira tidak berhenti di what, when, where, who, dan how tapi juga terus melakukan kontemplasi pada pertanyaan why. Ke-mengapa-annya.
Seperti halnya bagaimana filsafat ‘terbagi’ ke dalam berbagai tradisi, sebut lah tradisi kontinental dan analitik, atau pragmatis dan psikoanalitik, begitupun dengan feminist philosophy yang spektrumnya luas, sehingga tidak bisa monolitik. Selayaknya bagaimana pengalaman-pengalaman perempuan atau minoritas gender/seks juga tidak bisa diuniversalisasi dan memiliki kekhasan pengalamannya masing-masing.
Contoh, feminist philosophy yang fokus pada urusan etika atau filsafat moral, akan mencoba memahami-mengkritisi bagaimana gender/seksualitas beroperasi dalam kepercayaan-kepercayaan moral dan praktik yang dilakukan di keseharian. Mengapa gender dianggap biner? Mengapa banyak hak istimewa yang hanya didapatkan laki-laki? Contoh lainnya, seperti feminist philosophy yang fokus pada persoalan kekuasaan, akan mendalami bagaimana ide-ide yang selama ini dipertahankan atau dinormalisasi membentuk pola subordinasi terhadap gender minoritas. Atau misal, feminist philosophy yang fokusnya pada cabang metafisika, akan mendalami lebih lanjut apa itu perempuan? Mengapa tubuh bervagina itu disebut perempuan?
Menelusuri kesejarahan perkembangan filsafat feminis
Filsafat yang feminis diperkirakan muncul sekitar tahun 1970-an ketika para perempuan dapat mengakses pendidikan tinggi, termasuk dalam hal ini mengenyam pendidikan formal (ilmu) filsafat. Pengalaman pribadi, yang subjektif, menjadi mulai dipertimbangkan juga dalam ilmu filsafat ketika filsafat feminis diakui. Para perempuan pemikir seperti Simone de Beauvoir, merefleksikan apa yang terjadi dalam praktik feminis–seperti protes hak suara dalam politik, akses sekolah, dsb.–ke dalam ilmu filsafat. Termasuk meneliti bagaimana perempuan-perempuan pemikir di zaman sebelum-sebelumnya, seperti Mary Wollstonecraft, telah mempengaruhi dan menginspirasi orang-orang untuk menginisiasi gerakan pembebasan perempuan c. tahun 1960an. Atau persoalan-persoalan seperti aborsi, institusi pernikahan, hingga urusan seks yang non-vanilla.
Pada mulanya, ilmuwan/filsuf yang fokus di feminist philosophy juga memberikan perhatiannya pada pengalaman perempuan, dan bagaimana selama ini dipinggirkan. Kemudian, objeknya meluas, merujuk juga bagaimana kompleksitas tentang gender/seksualitas (tidak sekadar perempuan) berkaitan dengan persoalan kelas, ras, dsb. Karenanya, feminist philosophy juga mengkritik dirinya sendiri.
“Feminist scholarship asks how attention to these might transform feminist philosophy itself. From here we move to the realm of the symbolic and how it constructs “the feminine.” How is the feminine instantiated and constructed within the texts of philosophy? What role does it play in forming, either through its absence or its presence, the central concepts of philosophy?”
Artikel SEP merujuk jurnal pertama yang fokus pada feminist philosophy, yaitu Hypatia: A Journal of Feminist Philosophy yang muncul pada 1982 dan jurnal philoSOPHIA pada 2005. Kemudian muncul juga komunitas yang fokus pada hal serupa, yaitu Society for Women in Philosophy pada tahun 1972, The Society for the Study of Women Philosophers pada 1987, Society for Analytical Feminism pada 1991, dst.
To be continued.
Referensi:
- https://plato.stanford.edu/entries/feminist-philosophy/
- https://en.wikipedia.org/wiki/Feminist_philosophy
Feautured image from:
https://aeon.co/essays/do-analytic-and-continental-philosophy-agree-what-woman-is