Refleksi
Seringkali, tema besar dalam buku sejarah Filsafat Eropa hanya menampilkan kontribusi pemikiran signifikan dari para filsuf laki-laki saja. Konon, apabila ada nama-nama perempuan yang dikenali, itu karena tertulis di catatan kaki setiap bukunya. Kalaupun pada hari ini muncul nama-nama filsuf perempuan, biasanya dapat dihitung jari dan tidak sampai setengahnya jumlah filsuf laki-laki yang ada dalam buku yang sama (O’Neill, 1998). Tetapi, penelitian yang dipengaruhi oleh teori feminis dan kontribusinya dalam penulisan ulang sejarah filsafat, telah semakin mengungkap kenyataan bahwa begitu banyak filsuf perempuan atau perempuan pemikir yang berkontribusi dalam ilmu filsafat atau pengetahuan secara umum sejak dahulu kala.
Contohnya, pada bagian Ancient Women Philosophers 600 B. C.–500 A. D. di volume I buku A History of Women Philosophers (1987) yang ditulis oleh Mary Ellen Waithe, dibahas bagaimana tokoh-tokoh perempuan pemikir penting dari Roma yang sangat berkontribusi pada perkembangan berbagai ilmu. Banyak nama pun muncul seperti Themistoclea, Aesara of Lucania, Phintys of Sparta, Aspasia of Miletus, Julia Domna, Hypatia of Alexandria, Arete of Cyrene, Asclepigenia of Athens, Axiothea of Philesia, Cleobulina of Rhodes, yang mungkin banyak dari kita yang tidak familiar dengan nama itu. Tidak seperti ketika mendengar nama Plato, Sokrates, Boethius, atau Epikurus, yang mana kita langsung mengenali konsep–konsep filosofis yang dibuatnya.
Saya pribadi mengakui tidak begitu familiar dengan detail kontribusi filsuf perempuan yang disebutkan di atas, terlebih ketika dalam proses belajar di kampus, nama-nama itu juga jarang atau hampir tidak pernah dimunculkan oleh dosen pengajar. Mengapa demikian? Biasanya, karena di silabus tidak dipersiapkan, atau sebenarnya bisa saja dibahas tapi karena tidak terbiasa diajarkan, jadi akan didiskusikan dalam waktu yang singkat. Ada atau tidak ada di silabus, kadang pemunculan nama filsuf perempuan itu hanya sekadar aksesori saja terhadap filsuf laki-laki. Semisal ketika nama Simone de Beauvoir disebutkan, yang pertama dibahas adalah bagaimana ia merupakan pasangan kumpul kebonya Jean-Paul Sartre dengan konotasi bercandaan seksis dan atau misoginis. Serupa ketika nama Hannah Arendt dimunculkan, yang paling awal dibahas adalah keterangan ia memiliki relasi romantik dengan Heidegger.
Penyakit peminggiran filsuf perempuan dari sejarah––termasuk hari ini ketika proses belajar di ranah institusi pendidikan seperti kampus, seolah dinormalisasi dan justru dijadikan patologis yang dirayakan. Tidak hanya dalam ranah global seperti yang saya jelaskan dalam konteks sejarah filsafat Eropa, tapi juga di Indonesia–berdasarkan pengalaman pribadi saya di atas. Tentu, realita di publik juga seperti mengalami patologis yang serupa. Di sarasehan Hari Filsafat Indonesia tahun 2021 yang dipandu oleh Jaya Suprana, filsuf perempuan yang diundang adalah hanya berjumlah 4 dari total 22 pembicara. Kalau tidak salah, ke-4 filsuf perempuan tersebut juga betul-betul diundang ketika diprotes oleh publik karena awalnya, semua pembicara acara tersebut hanya diisi oleh laki-laki saja. Pertanyaan yang muncul sebagai respons atas kejadian tersebut biasanya meliputi, 1) Apakah memang tidak banyak filsuf perempuan di Indonesia? Lantas yang ke-2) Atau kitanya saja yang malas menelusuri kontribusi perempuan dan acuh tak acuh dalam memberikan apresiasi?
Dalam bentangan sejarahnya, perempuan pemikir telah diposisikan hanya di catatan kaki, atau pada konteks penulisan karya tulis, hanya akan disimpan di bagian akhir. Ketika ia memiliki kredit atas hasil suatu penelitian, biasanya, kolega laki-lakinya lah yang justru mendapat apresiasi. Patologis ini bernama Efek Matilda, di mana suatu penghargaan yang seharusnya diberikan pada seorang perempuan malah dicaplok oleh laki-laki.
Berbagai faktor menyebabkan mengapa penghapusan atau peminggiran perempuan dari sejarah seolah menjadi sebuah patologis yang obatnya sulit ditemukan. Di awal era modern, tidak ada peluang akses yang luas atas pendidikan bagi perempuan, utamanya para budak, perempuan kulit hitam, dan perempuan dari negara berkembang. Hal ini menjadikan perhatian terhadap kontribusi perempuan menjadi minim. Dunia seolah berisi dan dibentuk hanya dari dan oleh laki-laki. Pada urusan semantik, kata Mankind yang ditulis dalam sejarah juga mengacu pada laki-laki, bukan pada seluruh manusia. Kita juga tidak bisa menafikkan bagaimana hasil karya tulis ilmiah, dari Aristoteles hingga Darwin, telah meliyankan perempuan, memosisikan mereka sebagai manusia cacat. Kekerasan epistemik pun menjadi mungkin terjadi ketika karya tulis tersebut tidak pernah menemui kritik, seperti yang dilakukan oleh feminis: menyingkap seksisme yang dilakukan oleh para filsuf itu, dan memberikan nama-nama pemikir penting sebagai alternatif apabila dimungkinkan.
Akses pendidikan tinggi bagi perempuan menjadi hal yang krusial dilakukan di tengah gempuran sistem sosial dan budaya yang patriarkal. Karena dengan sistem itu, perempuan semakin di tarik ke ruang domestik tidak berdasarkan persetujuannya, dan tanpa memberikan keleluasan untuk memilih masa depannya. Normalisasi bahwa perempuan memiliki kodrat untuk bekerja domestik belaka, seringkali menjadi alasan absolut mengapa pendidikan tinggi tidak pernah dihiraukan oleh para perempuan. Bermimpi saja adalah suatu privilese besar. Akses pendidikan tinggi menjadi gerbang awal di mana perempuan dapat menemukan berbagai pilihan dalam meraih cita-citanya. Melalui pendidikan, sejarah filsafat yang telah melakukan women erasure juga dapat ditulis ulang atau redefinisi. Dalam konteks ini, eksplorasi filsafat yang berperspektif feminis dapat memberi ruang bagi pengalaman-pengalaman perempuan untuk mewakili dirinya sendiri, menarasikan pengalamannya sendiri. Pengetahuan yang feminis adalah yang tidak anti terhadap kontribusi para perempuan pemikir. Pengetahuan yang feminis juga adalah yang membuka seluas-luasnya gerbang bagi perempuan lain dalam mengakses pendidikan dan dalam rangka pemberdayaan satu sama lain.
Sumber Pendukung:
Ancient Women Philosophers, 600 B.C.-500 A.D. (1987). In M. E. Waithe (Ed.), A History of Women Philosophers (Vol. I). Kluwer Academic Publishers.
Darwin, C. (1981). The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex (Revised ed.). Princeton University Press.
O’Neill, E. (1998). Disappearing Ink: Early Modern Women Philosophers and Their Fate in History. In Philosophy in a Feminist Voice. Princeton University Press.
Romeo, J. (2021, March 20). Erasing Women from Science? There’s a Name for That. Jstor Daily. https://daily.jstor.org/erasing-women-from-science-theres-a-name-for-that/
Suprana, J. (2021, September 19). Sarasehan Hari Filsafat Indonesia. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=cZOeXPIbe9Y

