Membicarakan sejarah diskursus mengenai perempuan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari diskusi mengenai sejarah secara general. Dengan ini kita dapat menghindari pemikiran yang partikularistik dan monolitik. Begitu kira-kira pembuka tulisan Syafiq Hasyim dalam bukunya yang berjudul Understanding Women in Islam: An Indonesian Perspecitve (2006).
Mungkin kita telah dengar atau pahami bagaimana perempuan digambarkan sebagai tiang agama tapi sekaligus yang paling disalahkan apabila terdapat konflik dalam masyarakat. Seolah keadaan alamiahnya adalah tersungkur ke dalam penggambaran yang paradoks: unik sekaligus kontroversial. Ia unik karena pengalamannya yang berbeda dan khas, tapi sekaligus kontroversial karena terdapat anggapan bahwa perempuan itu sumber problem kehidupan. Hal ini sangat kontras dibanding penggambaran laki-laki dalam sejarah yang mana dilihat sebagai narasi besar dalam sejarah.
Dalam pembabakan sejarah pra-Islam sekitar abad ke-6 dan 7, perempuan dilihat sebagai manusia yang mengkhawatirkan: tidak memiliki nilai, subordinat terhadap laki-laki, dan dianggap sebagai biang onar. Posisinya berada di ruang marjinal dan independensinya dilimitasi. Tapi persoalan ini juga dapat kita lacak ke masa lalu. Dalam hukum Manu dalam agama Hindu, perempuan tidak boleh memiliki hak atas properti. Mereka juga hanya boleh mengikuti kehendak laki-laki dalam keluarganya (dari mulai Ayah, Suami, anak laki-laki, dan sebagainya). Dalam tradisi Yunani, perlakuan serupa juga terjadi, di mana perempuan tidak memiliki haknya dengan penuh, dan menempati posisi rendahan menjadi budak. Tradisi Athena juga hanya memperbolehkan laki-laki dalam mengenyam pendidikan, sementara perempuan, sekalipun dia dari kalangan elit, tidak begitu diberikan kesempatan mengakses pendidikan.
“Woman could be treated in accordance with the desires of the male who owned her.” (hal. 5)
Aristoteles pernah memberikan argumennya mengenai posisi perempuan yang marginal. Baginya, adalah fakta alamiah bahwa inteligensia perempuan tidak akan bisa berkembang, dan perannya hanya di wilayah domestik. Selanjutnya Aristoteles juga menyebut bahwa laki-laki “is by nature superior, and the female inferior and the one ruler and the other is ruled.”
“In truth, we only marry our wives to give birth to our children.” (hal. 6)
Hasyim mengutip Laela Ahmed yang dalam bukunya Women and Gender in Islam: Historical roots of Modern Debate menyebut bahwa teori Aristoles tersebut telah mengonseptualisasikan perempuan sebagai subordinat dan secara bawaan/biologis itu inferior dalam hal mental dan kemampuan fisiknya. Konsekuensinya, perspektif bahwa perempuan itu subservient dianggap sebagai kodrat yang tidak dapat diganggu gugat. Lantas anggapan ini semakin dijadikan norma: laki-laki itu penuh dan sempurna, sedangkan perempuan itu emosional dan agresif.
Bagi Hasyim kita perlu memperhatikan perspektif Aristoteles mengenai ini karena pemikiran Aristoteles telah mempengaruhi perkembangan filsafat Islam utamanya melalui Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Rusd, hingga Al-Ghazali. Tentu, kita tidak bisa dengan mudah menunjuk Aristoteles sebagai biang keladi. Sebab, marginalisasi perempuan itu bukan kejadian yang kebetulan. Proses marginalisasi yang sistemik adalah proses yang panjang, menyeruak ke dalam berbagai domain di mana perspektif bias gender ditanamkan. Seperti marginalisasi yang dilakukan dengan justifikasi norma religius atau agama.
“In Judaism… it was said that it was better to walk behind a tiger than behind a woman.”
Bahkan terdapat orang-orang Yunani yang berdoa mengucap syukur karena tidak dilahirkan sebagai perempuan. “Praise to You God, for You did not create me as a woman.” (hal. 7)
“In Christian traditions… women are represented as bad and slanderous.” Justifikasi ini juga dilakukan oleh filsuf/teolog Thomas Aquinas, yang menyebut bahwa perempuan perlu tunduk kepada laki-laki karena secara alamiah memiliki struktur fisik yang lemah.
“Men are the beginning and final goal in women’s life. It is because of this that God has made women submit to males.” (hal. 7)