Meninjau temuan CRISPR/Cas9 dan implikasinya terhadap kemampuan otak manusia di masa depan

Posted

by

Pada November 1998, percobaan kloning1 manusia pernah dilakukan oleh ACT (Advanced Cell Technology), di Massachusetts, melalui teknik SCNT (somatic cell nuclear transfer), dengan mengambil sel dari kaki seorang manusia dan dimasukkan ke dalam sel telur seekor sapi. Sel hibrid tersebut dihancurkan setelah 12 hari dikultivasi.2 Sebelumnya, pada tahun 1996, telah berhasil kloning mamalia pertama, Dolly, seekor domba, dan tahun 2018, Zhong-Zhong dan Hua-Hua, lahir dari hasil kloning Kera (Macaca fascicularis).3 Dalam persoalan kloning, pertanyaan prinsip etis seringkali lebih banyak dilayangkan ketika kloning dilakukan kepada manusia. Utamanya, ketika mengetahui berbagai kemungkinan yang dapat dicapai ketika kloning itu terus dieksplorasi. Seperti, kesempatan memiliki anak bagi pasangan mandul, meminimalisir proses penuaan, hingga mencapai ketakmatian (immortality) dengan cara implan sel (cloned cells). Kritik bermunculan dari mulai argumen tentang keseimbangan ekologis, tidak sesuai ajaran agama, atau melawan evolusi dan seleksi alam. Persoalan kloning sel ini menghadapi persoalan etis seperti teknologi rekayasa genetika makhluk hidup yang dikembangkan oleh CRISPR/Cas9.4 Teknologi tersebut adalah produk bioteknologi yang dapat menjadikan rekayasa genetika semakin tepat, presisi, murah, dan mudah (Ayanoglu et al., 2020). Dengan kata lain, CRISPR/Cas9 mampu membuat patahan di wilayah gen yang diinginkan sesuai yang ditentukan oleh peneliti, sehingga memungkinkan peneliti untuk memodifikasi genom di wilayah mana pun (Memi et al., 2018). Pada mulanya, teknologi tersebut memang dibuat untuk memodifikasi gen seperti penyebab penyakit mematikan: kanker, AIDS, dan mencegah HIV, sebagainya. Fungsi modifikasi dikembangkan ke dalam fungsi melakukan peningkatan mutu atau enhancement dalam DNA seperti sifat dan skil seseorang. Bahkan CRISPR/Cas9 dimungkinkan untuk melahirkan manusia dengan blue print DNA sesuai apa yang dikehendaki. Seperti peningkatan IQ atau kecerdasan, tinggi dan berat badan, skil, hingga pengaturan kromosom seks. Teknologi penyuntingan gen telah membuka jalan untuk menghilangkan penyakit hingga memulihkan memori atau skil yang hilang/dikehendaki. Proses ini adalah revolusi dalam bidan modifikasi gen. Bisakah kita membuat diri kita lebih baik? Baik berdasarkan standar apa dan siapa? Bisakah manusia meningkatkan kecerdasannya dengan CRISPR/Cas9? Dalam hal kecerdasan manusia, James J. Lee, periset dari Universitas Minnesota, menyebut bahwa CRISPR/Cas9 memang dapat dilakukan untuk mendorong inteligensia tertentu pada manusia dengan modifikasi gen melalui penyuntingan genom dalam embrio sesuai yang diinginkan. Meskipun hal ini masih menjadi PR besar, kemungkinannya telah ada (almost feasible) (Kozubek, 2016). Untuk hal ini, ilmuwan sebenarnya sudah pernah mencoba menggunakan CRISPR/Cas9 kepada otak tikus, dan hasilnya, tikus tersebut mampu secara efisien belajar akan lingkungannya dengan cepat.5

Pada pertemuan internasional Human Genome Editing tahun 2015, ihwal CRISPR/Cas9 dibahas serius oleh para ilmuwan. Ada dua hal yang menjadi fokus penting menyoalnya, yaitu risiko teknologi tersebut bagi kemungkinan penggunaan yang tidak bertanggungjawab, dan implikasi narsisme terhadap manusia dari hasil penyuntingan genom. Menurut Nuffield Council of Bioethics (2019), hal tersebut dapat memunculkan marginalisasi terhadap masyarakat dengan sifat tertentu yang dianggap lebih inferior. Berdasarkan analisis etis, kita perlu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tujuan tersebut dengan misi eugenik6 atau memperhatikan konsekuensi logis tujuan hirarki sosial berdasarkan alasan modifikasi gen: perlu perbaikan;7 hal ini tidak senaif yang dipaparkan oleh pengembangan saintifik semata. 

Berkat akurasinya yang tinggi, kemudahan penggunaan, dan biaya yang relatif rendah, CRISPR/Cas9 menawarkan berbagai penerapan saintifik untuk banyak orang dari mulai sektor medis, pertanian, peternakan, dan lingkungan. Presisi dan akurasinya juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi serupa seperti ZFN dan TALEN (Mittal, 2019). Tapi kita tidak bisa luput dari persoalan isu sosial, moral, dan bioetik terhadapnya. Mungkin kita juga sering mendengar argumen, temuan teknologi seperti CRISPR/Cas9 boleh dilakukan untuk kepentingan medis, tapi tidak untuk tujuan eugenik atau ,,pemuliaan’’ mutu pada manusia. Saya kira, secara alamiah, apa yang dilakukan oleh manusia, dengan belajar seperti calistung, berdiskusi, hingga menempuh pendidikan, adalah modifikasi genetik paling subtil secara tidak langsung yang telah kita lakukan. Sama halnya dengan artefak teknologi, mengembangkan diri juga adalah bagian dari to ease the pain, membantu meringankan beban dalam menjalani keseharian. Tapi temuan CRISPR/Cas9 perlu diawasi dengan seksama, utamanya pada urusan relasi kapital dan kepemilikan paten, implikasi perubahan psikologi masif seperti neurosis atau narsisme, hingga kemampuan kecerdasan manusia yang digunakan untuk keperluan eugenik. Barangkali kita tidak sabar menunggu hasil perkembangan aplikasi CRISPR/Cas9 terhadap evolusi alam (termasuk manusianya), tapi satu yang pasti: untuk menjadi berkelanjutan, tinjauan filosofis dan implikasi etis tidak bisa diabaikan.


Featured image: https://www.synthego.com/learn/crispr

Referensi

Footnotes:

  1. Kloning adalah bentuk reproduksi aseksual dengan melakukan duplikasi/replikasi genetik dari orang atau makhluk yang telah ada. Ketika (The President’s Council on Bioethics, 2002). ↩︎
  2. Dalam https://www.newscientist.com/article/dn1605-first-cloned-human-embryos-created/ (Carrington, 2001) ↩︎
  3. Dalam Liu, et al. (2018) ↩︎
  4. CRIPR/Cas9 akronim untuk Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats, dan Cas9 merujuk pada protein 9, sebuah molekul pemotong DNA yang nantinya dapat ditambahkan atau dibuang. Selanjutnya https://www.yourgenome.org/facts/what-is-crispr-cas9/ ↩︎
  5. Selanjutnya dalam Society for Neuroscience. “Manipulating gene expression in neurons with CRISPR: Neuron-optimized genome editing technology enables new ways to study genetic influences on brain health and disease.” ScienceDaily. ScienceDaily, 25 February 2019. <www.sciencedaily.com/releases/2019/02/190225133715.htm> ↩︎
  6. Biasanya, kata eugenik dalam konteks modifikasi DNA tumbuhan, diubah dengan kata ,,pemuliaan’’, seperti yang dibahas oleh UGM (2019) di situs https://www.ugm.ac.id/id/berita/18552-mengenal-crispr-cas9-teknik-baru-pemuliaan-tanaman. Namun bagi konteks manusia, eugenik begitu erat dengan kasus superhuman yang dikembangkan Hitler. ↩︎
  7. Tentu saja kata ,,diperbaiki’’ memiliki muatan perdebatan etika mengapa ada dikotomi tidak perlu diperbaiki-dan yang perlu diperbaiki. Ini lah mulanya, apa yang begitu menarik sekaligus menakutkan dari temuan seperti CRISPR/Cas9. ↩︎

Categories

error: Sorry, content is protected!