Berbicara tentang Hukuman Mati

Posted

by

Hukuman mati dalam bentangan sejarah

Sejauh sejarah tercatat, hukuman mati pertama kali diatur dalam The Code of Hammurabi dari Babilonia kuno pada abad ke-17 SM. Terdapat 25 kejahatan yang dapat dijatuhkan hukuman mati seperti karena perselingkuhan dan membantu budak melarikan diri dari tuannya. Pada abad ke-7 SM, juga ada aturan hukuman mati di Athena yang dikenal dengan nama The Draconian Code of Athens di mana semua tindakan yang dianggap salah oleh otoritas, bisa dihukum mati.

Dalam aturan tersebut, hukuman mati dapat menjadi luaran keinginan balas dendam dengan menggunakan medium sentimentalitas berbagai domain. Frasa an eye for an eye, a life for a life yang datang dari The Code of Hammurabi, dianggap sebagai justifikasi dilakukannya hukuman mati baik itu hukuman berasal dari otoritas, atau vonis masyarakat. Dari mulai zaman Babilonia, banyak sekali jenis eksekusi mati yang dilakukan seperti hukuman penggal termasuk guillotine, penenggelaman paksa dalam minyak panas, mengubur hidup-hidup, membakar hidup-hidup, penembakan misterius, hingga suntik mati yang dilakukan bukan berdasarkan kesukarelawanan. Hari ini, berdasarkan laporan Amnesty Internasional (2020), metode eksekusi hukuman mati pada tahun 2020 bercokol pada tindakan pemenggalan (Arab), pembunuhan dengan listrik atau electrocution (Amerika Serikat), hukum gantung (Bangladesh, Botswana, Mesir, India, Iran, Irak, Sudan Selatan, Siria), suntikan mematikan (Tiongkok, Amerika Serikat, Vietnam), dan penembakan (Tiongkok, Iran, Korea Utara, Oman, Qatar, Somalia, Taiwan, Yemen). 

Hakikat vonis mati dan vonis hukuman mati 

Tulisan ini, membedakan dua hal dalam konteks hukuman mati, yaitu 1) vonis mati, di mana vonis mati seseorang dilakukan di luar kehendak hukum positif di daerahnya secara nasional maupun internasional, seperti penembakan misterius yang dilakukan oleh era Suharto, atau tradisi-tradisi vonis mati yang masih digunakan dan dipertahankan karena dianggap kehormatan apabila dilakukan, seperti kasus Hypatia, hingga honour killing dalam konteks tertentu. Sedangkan 2) vonis hukuman mati, yaitu vonis yang hanya bisa dilakukan atas justifikasi hukum positif, dikeluarkan oleh pengadilan atau dari negara. Saya membedakan hal ini, dan perlu diperhatikan secara serius batas-batas mana yang vonis mati dan vonis hukuman mati karena satu sama lain memiliki konsep dan konteks yang berbeda.

Dalam filsafat hukum atau filsafat moral, terdapat dua pandangan dalam melihat kontestasi aturan hukuman mati, yaitu 1) pendekatan retributivism, di mana pendekatannya berdasarkan situasi historis yang menjunjung prinsip kesetaraan dan proporsionalitas, sehingga hukuman mati perlu secara setara dibalas dengan hukuman mati. Pendekatan ini dikhususkan bagi pelaku pembunuhan; 2) pendekatan utilitarian, di mana pendekatannya berfokus pada konsekuens yang akan dihasilkan dari dilakukannya hukuman mati, dengan tujuan mengontrol masyarakat. Pendekatan utilitarian dekat dengan konteks efek jera yang seringkali menjadi alasan mengapa hukuman mati dilakukan.

Hak hidup sebagai derogable rights

Seperti yang ditulis dalam artikel 3 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, “Everyone has the right to life, liberty and security of person.” yaitu setiap orang memiliki hak untuk kehidupan. Ketika proses hukuman mati masih dilakukan, hak untuk hidup juga dalam proses penghilangan. Hak untuk hidup menjadi hak yang tidak dapat dikurangi sama sekali. Karena hak untuk hidup menjadi hak mendasar untuk menikmati hak lainnya, seperti kebebasan berbicara, menikah, memiliki kewarganegaraan, hal-hal yang berkaitan dengan hak sipil, politik, ekonomi, dan budaya. Hak-hak yang termasuk dalam non-derogable rights dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut…” ditekankan merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun.

Hukum tersebut telah dengan ideal menuliskan bahwa hukuman mati tidak dapat dilakukan dengan alasan apapun. Dalam hukum internasional pun telah diberikan mandat secara spesifik, khususnya bagi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti melalui protokol dalam kovenan internasional dalam sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights), hingga protokol lainnya.

Efektivitas detterence effect dari hukuman mati

Sekitar abad ke-16 di Britania Raya, 72.000 orang dieksekusi mati. Lalu sejak 1976-2021 di Amerika Serikat, terdapat 1540 orang dieksekusi mati. Dalam laporan Amnesty Internasional tentang Vonis dan Eksekusi Hukuman Mati (2020), Indonesia menempati urutan ke 5 dalam ranking vonis hukuman mati per tahun 2020 dengan total vonis > 117, setelah Tiongkok, Yemen, Mesir, dan Zambia. Tidak ada eksekusi yang dilakukan, bukan berarti tidak adanya penghukuman khususnya dari sisi psikologis tahanan. Seperti kasus Merry Utami, ia ditahan dengan vonis hukuman mati sejak sekitar tahun 2016, tanpa kejelasan hukum apalagi apabila berkaitan kecacatan prosedur penanganan kasus.

Pada praktiknya, vonis mati dan hukuman mati yang muncul, telah menelan banyak orang termasuk yang dibuktikan tidak bersalah ketika sudah mati; bisa karena adanya penyelewengan proses penyidikan, hingga kecacatan proses hukum. Berdasarkan riset Academic Criminology Societies, 88% ahli mengatakan bahwa hukuman mati tidak efektif dalam menurunkan atau menghilangkan kriminalitas yang berkaitan dan berkelindan dengan tahanan atau seseorang yang divonis mati.

Kesimpulan dan rekomendasi

Vonis mati dan vonis hukuman mati telah dilakukan untuk memberikan efek jera, baik dalam konteks bernegara atau tujuan takut bagi yang melihat vonis hingga penghukuman itu dilakukan. Penulis menganggap hal tersebut tidak menjadikan masyarakat menjadi lebih progresif, justru, ketidakmampuan seseorang berendah hati dalam menggunakan hukum atau vonis, bahwa terdapat kemungkinan adanya kekurangan manusia dalam memahami sesuatu hal, dapat menimbulkan proses penghukuman atau penyelidikan yang cacat prosedural, bisa cukup menjadikan kita mulai menghentikan adanya vonis mati atau vonis hukuman mati.

Hukum yang hadir untuk mendorong sistem adil, sejatinya ditantang untuk terus menjunjung sikap adil. Bagaimana dengan kasus kejahatan seperti narkoba, korupsi, atau dalam konteks pelaku kekerasan seksual lingkup privat hingga publik? Penulis tetap mendorong penghapusan hukuman mati dalam bentuk apapun, untuk konteks kejahatan apapun. Adalah tugas kita, khususnya pembuat hukum, untuk membuat dan atau menilik kembali kerangka atau acuan hukum dalam memberikan hukuman kepada orang jahat tersebut.

Demikian, hukuman mati, tidak sesuai dengan sifat kehidupan yang non-derogable, tidak dapat dikurangi, karena dengan dikurangi, dihilangkan, atau dilimitasi, orang tidak dapat menikmati hak lainnya. Lalu, efek jera yang diharapkan dari hukuman mati yang sudah dilakukan, tidak menjadikan manusia belajar secara intelektual, tapi hanya dalam tataran tidak melakukan kejahatan karena takut belaka. Menghentikan hukuman mati, menjadi pijakan awal atau tanda bagaimana kita sebagai bagian dari kolektif, dan negara dalam konteks hukum positif, belajar dari sejarah.


Featured image: https://www.history.com/news/8-things-you-may-not-know-about-the-guillotine

Referensi


error: Sorry, content is protected!