Sains dan Agama
Seringkali, nature protectionists dilabeli sebagai yang religius atau yang saintifik. Idiom tersebut tidak secara langsung berkaitan dengan alam, namun menjadi cara mengekspresikan diskursus mengenai nature protection.
Sains, Agama, dan Nature Protections
Observasi awal Milton menjabarkan bahwa nature protectionists berhubungan dengan alam dan hal-hal yang natural baik secara saintifik sekaligus religius. Artinya, segala hal esensial mengenai alam, dipahami juga berdasarkan apa yang sains dan agama ajarkan atau jelaskan. Misalnya, seperti polusi udara dan perubahan iklim diketahui oleh kita karena para ilmuwan memberi tahu kita demikian. Sains menjadi pijakan untuk mengetahui bagaimana kehidupan terbentuk dan berjalan. Utamanya oleh para nature conservationists, melalui istilah-istilah yang dilahirkan: spesies, ekosistem, habitat, biodiversitas. Fungsi utama sains dalam urusan nature protection adalah digunakan sebagai sumber kebenaran. Maka konsekuensinya, juga menjadi sumber yang paling dapat diandalkan untuk memutuskan suatu kebijakan.
Sedangkan peran agama dalam perlindungan alam, biasanya dikaitkan dengan hadirnya kepercayaan akan komitmen-komitmen spiritual yang sejalan dengan perawatan kultivasi alam. Maka terdapat formula: apabila kita merawat alam dengan baik, maka sama dengan beriman, dan menghormati Sang Hyang.
Menurut deep ecology, apabila terdapat masyarakat berpaling ke model non-industrial, itu karena anggapan bahwa perkembangan sains dan teknologi justru menghancurkan alam. Dengan menjadi masyarakat non-industrial, lalu kembali bekerja dengan cara berburu-meramu, berarti melakukan upaya rekonsiliasi dengan alam yang telah dirusak.
Menurut Milton, baik sains dan agama berperan penting dalam melakukan nature protection. Karena, “…while science provides the knowledge on which actions are based, religion provides their moral justification.” atau ketika sains menyediakan pengetahuan, agama menyediakan justifikasi moral.
Sains, agama, dan magis
Apakah magis itu bisa dikatakan sains atau agama?
Menurut Tylor dan Frazer, magis itu pseudo-sains. Seperti sains: logis dan sistematik, tapi sekaligus tidak seperti sains: sesuatu yang keliru (fallacious). Magis itu sistem filsafat yang begitu apa adanya tetapi keliru, yang dikembangkan oleh intelek manusia melalui proses yang masih sangat dapat dipahami oleh pikiran kita sendiri. Frazer menyebut magis sebagai saudara haram sains. Sedangkan menurut Malinowski, magis dan sains beroperasi pada perbedaan konteks kultural dan memenuhi fungsi yang berbeda pula. Sains berada pada ranah praktikal, keseharian, memerlukan observasi empiris, dan pemikiran rasional. Tapi bagi hal-hal yang belum dipecahkan, muncul magis. Magis memberikan kelegaan pada persoalan-persoalan yang belum terjawab. Fungsi ini mirip dengan agama: untuk melegakan stres emosional yang dibentuk oleh situasi ekstrem. Maka magis berada pada ranah sakral, tapi sekaligus profan.
Di subbab ini, Milton mencoba untuk menjelaskan mengapa (mungkin beberapa ilmuwan) Tylor, Frazer, dan Malinowski sebagai seorang antropolog melihat magis sebagai yang paling problematik di antara sains dan agama. Kita tidak bisa menafikan bagaimana di kultur barat, magis dianggap sebagai sesuatu yang sesat.
Sains, agama, dan nalar umum (common sense)
Dalam esai Malinowski yang berjudul Magic, Science and Religion (1925), dijelaskan bahwa “Tidak ada masyarakat yang dideskripsikan primitif itu tanpa agama dan magis….. setiap ras orang buas (savage) pasti kekurangan perilaku yang saintifik…” Sedangkan ia mendeskripsikan sains dalam istilah pengetahuan rasional.
Menjabarkan perbedaan antara magis, sains, dan agama diperlukan untuk memahami analisis budaya. Nalar umum menjadi jawabannya. Bagi Malinowski, apa yang kita anggap sains, adalah nalar umum. Sedangkan bagi para antropolog, nalar umum merujuk pada pengetahuan keseharian masyarakat. Tidak serta-merta sains ilmiah. Apabila sains merujuk pada pencarian sistematis akan pengetahuan yang dicirikan dengan induksi dan reduksi, maka sains perlu mengikuti kaidah ketat agar dapat disebut ilmiah, dan bukan nalar umum. Nalar umum menjadi penengah antara sains dan agama.Teori saintifik terbuka pada penjelasan alternatif, sedangkan teori dalam lingkup agama bersifat tertutup. Dalam pemikiran agama, teori yang dibangun adalah kebenaran yang diterima, taken for granted, suatu keanehan untuk mempertanyakannya. Terdapat ide-ide yang dijaga untuk keberlangsungan agama dan pemeluknya. Sedangkan dalam ranah sains, ide-ide yang dijaga itu dapat diruntuhkan apabila ditemukan teori baru yang dapat memperbaharui atau menggantikan/lebih progresif teori sebelumnya melalui eksperimen ilmiah. Nalar umum menjadi jembatannya.