Tulisan ini merupakan ulasan/catatan dari artikel berjudul Homo Economicus yang ditulis Alm. Rm. B. Herry Priyono di Jurnal Melintas pada tahun 2017. Artikel asli dengan anotasi personaldi akhir ulasan ini.
Dalam aktivitas tukar-menukar, individu didorong oleh kepentingan pribadi, bukan kepentingan yang lain. Ide homo economicus klasik memang demikian, tapi berikutnya homo economicus berikhtiar menelusuri bagaimana kondisi alamiah diri manusia sebagai economic being. Dia tidak melahirkan ekonomi, tapi sebaliknya, ekonomi lah yang telah melahirkan economic being.
Rm. Herry membuka tulisannya dengan mengutip tentang anak kandung Teori Utilitas dari buku Rational Economic Man karya Edward Nell dan Martin Hollis. Anak kandung yang dimaksud adalah manusia ekonomi/manusia ekonom/homo economicus yang lahir dan tumbuh dari ilmu ekonomi neo-klasik yang secara subtil mengkondisikan bagaimana kita berpikir hari ini. Sebagaimana kita tidak selalu menyadari suatu ideologi yang menyelinap ke dalam pemikiran kita.
- Siapa sih makhluk ekonomi itu?
- Bagaimana sifatnya?
- Bagaimana makhluk ekonomi menjadi suatu mantra keseharian kita hidup?
Rm. Herry menjawab pertanyaan ini melalui beberapa sub-bab; tentang istilah-istilah, metamorfosis makna, bagaimana realisasi ekonomi di keseharian.
Mula-mula, Rm. Herry menjelaskan istilah homo economicus secara etimologis. Homo berarti manusia atau orang, dan economicus atau ekonomi merupakan turunan dari kata Yunani oikonomikos yang berarti tata-pengelolaan ladang. Kata oikonomikos dikenalkan oleh Xenophon, filsuf Yunani yang hidup sekitar abad ke 4-5 SM, melalui karyanya yang berjudul OIKONOMIKOΣ. Di zamannya hidup, banyak orang bermatapencaharian menggarap ladang. Buku tersebut berisi dialog imajiner antara Critobulus dan Sokrates tentang bagaimana mengelola ladang agar kebutuhan keluarga dan masyarakat pada umumnya dapat tercukupi. Joseph Schumpeter berpendapat bahwa istilah homo economicus bermula dari ungkapan L’economo prudente dari B. Frigerio (1629). Ada juga yang bilang bahwa istilah itu diinisiasi oleh Adam Smith (abad 18an). Padahal, Rm. Herry menyebutkan bahwa tidak ada istilah itu muncul di karya Adam Smith, termasuk di Wealth of Nation (1776).
Kita dapat melacak kapan istilah homo economicus digunakan melalui pemikiran John Stuart Mill, pemikir Inggris abad ke-19. Meski agak berkabut dan memang Mill tidak menggunakan istilah itu secara eksplisit, tapi roh isitlah itu ada di tulisannya essays on Some Unsettled Questions of Political Economy (1936), di mana ia membahas definisi ekonomi-politik sebagai ilmu. Ekonomi-politik memosisikan tujuan pokok pencapaian kekayaan sebagai satu-satunya tujuan. Mill menjelaskan bahwa ekonomi-politik berurusan dengan manusia selama manusia itu berhasrat memiliki atau menumpuk kekayaan. Tapi, bukan berarti manusia itu sekadar makhluk “pengejar harta”. John K. Inggram menilai bahwa manusia yang disebut Mill ini imajiner, tidak ril, berlaku bagi binatang pengejar uang. Kemudian di akhir abad ke-19, Afred Marshall menggunakan istilah economic man, dan awal abad ke-20, Vilfredo Pareto memunculkan istilah homo economicus di bukunya.
Rm. Herry menekankan bahwa Mill tidak berpendapat saklek bahwa kondisi alamiah manusia itu hanya pengejar harta, tapi ketika manusia memiliki hasrat ini, kesesatan dapat dimungkinkan. Di sini lah gagasan Xenophon akan oikonomikos yang berarti tata kelola ladang untuk sumber kehidupan bermetamorfisis menjadi economicus yang berarti tata kelola dan hasrat memiliki harta. Rm. Herry menyoroti, metamorfosis istilah ini terjadi di abad ke-18/19 ketika cara berpikir akumulasi kekayaan seiring dengan kapitalisasi segala hal terjadi.
Ini pun Mill terinspirasi dari kerja Smith dalam menjelaskan kemakmuran bangsa-bangsa dalam bukunya. Smith membahas bagaimana masyarakat terbentuk dan persoalan kemakmuran material. Perdagangan bebas antar orang biasa tanpa perampasan dan pemaksaan, tanpa mengemis dan beramal, perlu dilakukan agar terjadi dinamika akumulasi kekayaan. Perdagangan bebas ini terjadi atas dorongan memenuhi kebutuhan antar satu sama lain: seperti barter. Rm. Herry menjelaskan terdapat tiga cara agar kebutuhan dapat dipenuhi: 1) Rebut paksa, lantas menghasilkan spiral kekerasan; 2) Mengemis, yang mungkin hanya bisa dilakukan sekali karena mengemis membuat harga diri tidak lagi bermartabat; 3) Saling tukar barang dan atau jasa, yang menginspirasi orang-orang menumpuk barang/jasa yang dapat ditukarkan. Syaratnya: jadikan barang/jasa itu komoditas (sesuatu yang dapat diperjual-belikan, berikut dengan perhitungan efisiensi, untung, rugi).
Tapi, jangan lupakan dinamika emosional yang terlibat ketika pertukaran itu terjadi. Agar kebutuhan-diri terpenuhi, maka kita perlu mengetahui atau ‘masuk’ ke dalam kepentingan/kebutuhan diri orang lain/pihak yang barang/jasanya tersedia. Di sini lah mekanisme pasar (market mechanism) berjalan: di mana kita dapat memperoleh yang kita perlukan tanpa memaksa atau mengemis, tapi jual-beli. Seperti gagasan harmoni sosial a la Newtonian! Dinamika emosional ini Smith sebut sebagai simpati, bahwa self-interest kita tidak akan terpenuhi kecuali kita berupaya ‘masuk’ ke dalam kepentingan orang lain.
Melalui Wealth of Nations, Smith memaparkan bagaimana perdagangan bebas dapat menjadi jalan menuju kemakmuran bangsa. Manusia seperti apa dan bagaimana yang berdagang itu? Perdagangan yang pesat sejak revolusi industri dan kemunculan pada kaum borjuasi, orang-orang miskin tetap tertindas. Realitas ini mendorong Smith berandai-andai bagaimana kalau orang miskin biasa–yang Smith refer seperti pemotong daging, peramu minuman, dan tukang roti–itu dapat berdagang. Smith tidak memosisikan self-interest sebagai satu-satunya hal yang menggerakan manusia, tapi hal ini “…merupakan prasyarat antropologis agar secara metodologis dapat menjelaskan gejala perdagangan dalam kehidupan ekonomi”. Pada self-interest ini, bukan berarti tidak bisa menggunakan kebaikan hati atau welas asih dalam berdagang, tapi keduanya tidak bisa menjadi fondasi dalam berekonomi.
Rm. Herry menjelaskan logika ini dengan menjelaskan istilah parsimony (penghematan); yang di dalam ekonomi banyak gunakan dalam istilah ceteris paribus: ungkapan Latin yang mengandalkan faktor-faktor yang sama/konstan. Yang dilakukan Smith ketika memosisikan self-interest itu penting dalam gejala perdagangan, sama seperti konsep ceteris paribus. Banyak faktor yang mendorong, tapi utamanya oleh self-interest. Hal ini yang kemudian menjadi cikal bakal penjelasan tentang makhluk ekonomi.
Lantas bagaimana ciri economicus itu? 1) Tindakannya digerakkan pertama-tama oleh kepentingan-diri, tidak hanya ketika berdagang tapi juga hal lainnya. Self-interest di sini bukan dalam pengertian klasik (kepentingan-diri berarti sadar dengan kepentingan-diri orang lain), tapi mendekati selfishness; 2) Keterpusatan pada diri (self-centredness). Hasrat diri hanya diketahui diri, atau diketahui orang lain melalui apa yang dipilihnya, atau revealed preference; 3) Kalkulasi rasional dalam pemenuhan hasratnya. Rasional di sini artinya pertimbangan berdasarkan untung-rugi-dan kepuasan hasrat/efisiensi. Patokan ciri economicus dari Mill adalah aspek tindakan yang berkaitan dengan hasrat memiliki kekayaan. Kebenaran hasrat ini hanya diri yang tahu, orang di luar diri tidak akan pernah tahu. Kalau sarana untuk mendapat kekayaan itu menyangkut ketelantaran/kematian orang lain, bagi homo economicus, itu hanya eksternalitas yang terjadi karena efisiensi; 4) Kepentingan-diri demi kepuasan hasrat akan harta dan kegunaan material/finansial. Ketika mulanya kepentingan-diri berarti menyangkut kesejahteraan kepentingan-diri orang lain, hari ini, berubah dan menciut sekadar urusan keuntungan material/finansial, selama hasratnya dapat dipuaskan; 5) Kolonisasi sebagai medium komersialisasi berbagai bidang kehidupan. Kemampuan ‘membeli, mencaplok, dsb’ wilayah lain juga bisa dikatakan bagian dari kemampuan daya beli sehingga pundi-pundi akumulasi kapital teramankan. Di titik ini diberlakukan syarat kelangkaan (scarcity) agar barang/jasa yang dibuat langka, menciptakan uang lebih banyak.
Itulah aliran pemikiran ekonomi neo-klasik yang mungkin masih begitu mengakar dalam membentuk pemikiran kita saat ini. Rm. Herry menekankan, terdapat berbagai pemikrian/mahzab dalam memahami homo economicus, yang juga mengkritik ekonomi neo-klasik.
Smith dan Mill tidak pernah menjelaskan bahwa satu-satunya dorongan hasrat manusia untuk hidup adalah self-interest, namun mengapa hal ini digunakan untuk menjelaskan totalitas kondisi alamiah manusia? Bagi Rm. Herry, ini kerancuan berpikir: sebagian (pars) dianggap keseluruhan (pro toto). Yang dilakukan Mill atas pemikiran Smith tentang self-interset merupakan penghematan metodologis. Yang dilakukan Mill dalam menjelaskan self-interest merupakan caranya dalam mengandaikan manusia sebagai makhluk ekonomi.
“…manusia pasti homo economicus, tetapi homo economicus pastilah bukan keseluruhan kodrat manusia.” “…semua tindakan manusia melibatkan dimensi ekonomi, tetapi tidak semua tindakan manusia merupakan tindakan ekonomi.”
Rm. Herry menutup tulisannya dengan menyimpulkan bahwa 1) Manusia ekonomi itu hanya sudut pandang, bukan keseluruhan hakikat diri manusia, 2) Agenda totalisasi makhluk sebagai makhluk enonomi itu kesesatan. Apabila homo economicus menabrak batas-batas ini maka ia tidak lebih dari sekadar memangsa dan menjarah kehidupan.
Featured image: https://majalah.tempo.co/read/obituari/162180/obituari-herry-priyono-pengajar-filsafat-yang-memprovokasi-dan-menganjurkan-filsafat-yang-terlibat
Artikel: