Rm. B. Herry Priyono dalam artikel Homo Economicus (Jurnal Melintas, 2017) menekankan bahwa Adam Smith dan John Stuart Mill tidak pernah menjelaskan bahwa satu-satunya dorongan hasrat manusia untuk hidup adalah kepentingan-diri self-interest, namun mengapa hal ini digunakan untuk menjelaskan totalitas kondisi alamiah manusia? Bagi Rm. Herry, ini kerancuan berpikir: sebagian (pars) dianggap keseluruhan (pro toto). Yang dilakukan Mill atas pemikiran Smith tentang self-interset merupakan penghematan metodologis. Yang dilakukan Mill dalam menjelaskan self-interest merupakan caranya dalam mengandaikan manusia sebagai makhluk ekonomi.
“…manusia pasti homo economicus, tetapi homo economicus pastilah bukan keseluruhan kodrat manusia.” “…semua tindakan manusia melibatkan dimensi ekonomi, tetapi tidak semua tindakan manusia merupakan tindakan ekonomi.”
Manusia ekonomi itu hanya sudut pandang, bukan keseluruhan hakikat diri manusia, dan karenanya, agenda totalisasi makhluk sebagai makhluk enonomi itu kesesatan. Apabila homo economicus menabrak batas-batas ini maka ia tidak lebih dari sekadar memangsa dan menjarah kehidupan. Metamorfosis makna oikonomikos, tata kelola ladang, menjadi homo economicus, tata kelola hasrat dan akumulasi kapital adalah hasil dari ketidakmampuan individu dan kolektif mengurusi ekses dari revolusi industri dan borjuasi yang tidak memiliki sifat welas asih kepada yang kurang berprivilese.
Soal privilese dalam domain ekonomi ini dibahas oleh Ha-Joon Chang, di bukunya Economics, The User’s Guide (Pelican, 2014), Ch. 5 Dramatis Personae. Seringkali kita merasa bahwa begitu banyak pilihan dalam eksplorasi memenuhi hasrat ekonomi, tapi realitasnya tidak begitu. Ia mengutip bagaimana Karl Marx menyoroti pekerja di periode kapitalisme awal yang hanya memiliki pilihan bekerja 80 jam per minggu di lingkungan yang serba tereksploitasi atau mati kelaparan karena tidak ada lagi sarana memenuhi kebutuhan dirinya. Dunia ekonomi berisikan individu, kolektif, serta berbagai organisasi (nasional, MNC, TNC) yang bergerak dengan semangat perdagangan bebas, dan di sisi lain, pekerjanya dipekerjakan lebih dari batas kemampuan dan dengan upah yang minim. Di periode ekonomi modern, persoalan kecurangan seperti ini bisa diusahakan pertanggungjawabannya oleh serikat pekerja. Namun lagi-lagi, serikat pekerja bisa dilimitasi geraknya oleh perusahaan yang memiliki regulasi yang syarat dengan tidak bolehnya pekerja untuk berserikat.
Homo economicus yang pada mulanya (merujuk pada oikonomikos) bertujuan memenuhi kepentingan diri dengan cara ‘masuk’ ke dalam kepentingan-diri orang lain, berubah menjadi makhluk yang bengis dan tidak memerhatikan kekompleksitasan keadaan orang lain (kondisi ekonomi, ketimpangan sosial, perkara akses/privilese). Mungkin, asumsi bahwa individu mampu membuat keputusan rasional ini lah yang menjadi soal. Mengutip Chang, justru dengan mengafirmasi bahwa kita merupakan individu dengan keterbatasan rasional, menjadikan kita individu dengan kemampuan memutuskan yang nyata (real choices).
Homo economicus perlu bermetamorfosis kembali menjadi makhluk yang mengamini bahwa individu itu makhluk yang memiliki keterbatasan rasional, karenanya, lebih lanjut dimensi ekonomi tidak bisa diposisikan sebagai totalitas. Ia musti menurunkan egonya dan melihat lebih dalam bahwa pemenuhan self-interest itu tidak bisa diusahakan total, unemotional, kepalang antroposentis, tapi musti rendah hati membuka diri bahwa pemenuhan self-interest berkaitan juga dengan privilese; yang tiap orang punya pengalaman yang berbeda-beda.
Baca lebih lanjut:
- Homo Economicus, Herry Priyono, Melintas, 2017
- Ha-Joo Chang, Ch. 5 Economics The User’s Guide, Pelican, 2014
Feautured image: https://uhfamily.hawaii.edu/project/family-economic-well-being