[Terjemahan] Ulasan buku We are not born submissive Manon Garcia oleh Charlotte Knowles

Posted

by

Tulisan ini adalah terjemahan ulasan buku We are not born submissive karya Manon Garcia (perempuan filsuf dari Prancis yang sekarang menjadi dosen di Freie Universität) yang dilakukan oleh Charlotte Knowles (dosen filsafat di Univerity of Groningen). Aku menerjemahkan secara serampangan sekalian mengasah kemampuan bahasa Inggris. Tidak diperuntukkan untuk dikutip pembaca untuk keperluan akademik. Silakan baca jurnal book review langsung, attached is the PDF at the end of this page.


Seperti yang Chimamanda Ngozi Adichie katakan/klaim di berbagai pamflet tahun 2014, dan berbagai cetakan sablon baju kaos yang dijual di pinggir jalan, “we should all be feminists”, tapi banyak laki-laki dan perempuan yang bukan feminis. Istri Thomas Hill, Andrea Dworkin yang opisisi terhadap pilihan reproduksi dan meyakini norma dan standar patriarki; para perempuan yang menolak kampanye #MeToo, atau yang berpartisipasi dalam pengobjektivikasian dirinya sendiri. Mereka figur-figur yang muncul di periode feminisme kontemporer. How should we explain their behaviour and their actions? Why do some women appear to reinforce rather than resist their own subordination and how should these “choices” be understood and evaluated? Inilah pertanyaan-pertanyaan dari Manon Garcia dalam bukunya We are not Born Submissive: How Patriarchy Shapes Women’s Lives (2021).

Mungkin kita bisa melihat dari judul bukunya Garcia kemungkinan jawaban terhadap pertanyaan akan patriarki, dan petunjuk pendekatan yang Garcia gunakan–bahwa judulnya juga mengacu pada pernyataan Simone de Beauvoir, “One is not born, but rather becomes a woman.” Serupa dengan pernyataan tersebut, bagi Garcia, perempuan tidaklah lahir, tapi terus menjadi submisif sebagai hasil dari pencarian dirinya di situasi yang memosisikan kepatuhan “submission” sebagai takdirnya mereka (hal. 42). Women are not born, but rather become submissive as a result of finding themselves in a situation where submission appears to them as their “destiny”. Melalui opresi patriarkal, Garcia berargumen, perempuan telah terobjektivikasi dan teralienasi, “the social dimension of women’s bodies structures the situation and the experience of women in such a way that they are destined to submit themselves.” (hal. 135). Bagi Garcia, bukan berarti kepatuhan ini tidak dapat dihindari, tapi terdapat juga keuntungan yang kuat bahkan terdapat “kenikmatan-kenikmatan” dalam persoalan kepatuhan seseorang (hal. 159), juga harga yang begitu tinggi untuk penolakan (hal. 193). Juga, “submission is a consent to one’s destiny as it is pre-determined by social norms” (hal. 193-194).

Argumen-argumen Garcia terkait ini dipengaruhi sekali oleh analisis de Beauvoir dalam buku The Second Sex. Buku tersebut menarakan penjelasan bagaimana kepatuhan yang dialami/dilakukan perempuan, tapi Garcia juga menajamkan metodologi filsafat dan mendemonstrasikan relevansi kontemporer yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kepatuhan perempuan. Karya Garcia berkontribusi tidak hanya menunjukkan pentingnya analisis de Beauvoir sebagai filsuf, juga mengadaptasi metode fenomenologis yang dapat dimengerti orang banyak

Garcia menetapkan terdapat masalah dalam memahami kepatuhan perempuan dalam dua pilihan yang kurang menarik: entah kepatuahn berasal dari sifat perempuan itu sendiri ‘yang natural’ atau patuhnya perempuan adalah karena sebagai korban ‘pasif; dari dominasi laki-laki (hal. 4).

Kenapa kepatuhan perempuan terjadi?

  1. Submission flows from women’s female nature, or
  2. Women are the passive victims of men’s domination

Yang pertama, menjelaskan bahwa terhadap sifat alamiah atas kenapa perempuan itu musti patuh, dan karenanya “places us on the side of the sexist tradition.” (hal. 4), sedangkan yang kedua, menjelaskan bagaimana perempuan selama ini telah dikekang dari agencynya sendiri dan memosisikan dia sebagai pihak yang patuh, “passive victims or submissive beings that are guilty of not cherishing their freedom.” (hal. 4). Garcia menolak kedua alasan ini dan mencoba untuk menawarkan jalan tengah dengan mengambil pendekatan terhadap kepatuhan perempuan, dan menganalisisnya dari perspektif kepatuhan itu sendiri.

Setengah bagian dari bukunya didedikasikan oleh Garcia untuk menjelaskan konsep kepatuhan. Setelah itu menjelaskan mengapa analisis filosofis akan kepatuhan penting dan seringkali kurang begitu ok dalam penjelasannya. Di bagian kedua, Garcia menjelaskan bagaimana kepatuhan secara konsep dihubungkan dengan keperempuanan dan femininitas dalam pemikiran seperti Freud, Rousseau, bahkan Catherine MacKinnon. Dalam karya-karya mereka, menurut Garcia, telah memberi kesan “there is something intrinsically feminine in submission and intrinsically submissive in femininity.” (hal. 39). Lalu, di bagian ketiga, Garcia meminjam gagasan de Beauvoir tentang “situasi” untuk menunjukkan, meskipun terdapat kait-kelindan antara femininitas dengan kepatuhan, kepatuhan ini tidaklah merupakan sifat alamiah perempuan, namun merupakan hasil dari relasi kekuasaan yang menyejarah, dan karenanya dapat diubah. “The result of historical power relations, and therefore that it can change.” (hal. 42). Kemudian di bagian keempat dan kelima, Garcia membahas penerapan pendekatan ini terhadap (fenomena) kepatuhan. Bagian keempat menawarkan analisis mengapa kepatuhan begitu sulit untuk dipahami, karena itu adalah sesuatu yang biasa, sehari-hari, dan merata, (ordinary, mundane,and ubiquitous) dan oleh karena itu memerlukan “pembalikan sudut pandang tentang kekuasaan.” “an inversion of perspective on power.” (hal. 86), sedangkan bagian kelima mendalami metode fenomenologis dari de Beauvoir dan membelokkan atensinya terhadap pengalaman perempuan akan kepatuhan sebagai sesuatu yang ditentukan kepada mereka (hal. 103).

Empat bab terakhir dari buku ini dirancang untuk menjelaskan mengapa perempuan patuh. Bagian keenam bertujuan untuk menunjukkan bahwa kepatuhan adalah hasil dari kondisi patriarki. Argumen utamanya, yang mana ditemukan juga di de Beauvoir, perempuan itu terobjektivitkasi oleh laki-laki, lantas menemukan dirinya dalam jalan yang telah terobjektivikasi ini, “seeing themselves as the Other and not primarily as subjects.” (hal. 112). Bagian ketujuh menjelaskan bagaimana objektivitkasi terhadap tubuh perempuan; bahwa perempuan dilemparkan ke dalam tubuh yang telah teralienasi karena masyarakat sudah lebih dulu menginterpretasikan tubuh perempuan itu. Karena dorongan sosial ini, menurut Garcia, “pilihan” kepatuhan, konformis terhadap norma feminitas, beautification, pendisiplinan tubuh, kepatuhan yang diminta oleh konteks sosial yang patriarkal–lantas mereka menemukan dirinya–”can hardly be seen as a sign of moral vice, since the experience she [woman] has of her body as always already objectified gives her good reason to think she has no other choice than being other.” (hal. 156).

Bagian kedelapan menambahkan lapisan analisis de Beauvoir tentang ekspektasi sosial akan kepatuhan, dan ‘kenikmatan’ ‘delights’ yang ditemukan di dalam kepatuhan itu. Lalu, bagian kesembilan menjawab bagaimana kepatuhan ini dibebankan/dipaksakan/terjadi pemosisian pada perempuan, juga menjelaskan “why do women submit themselves.” (hal. 177), lalu menjelaskan analisis akan kepatuhan dalam kerangka ‘preferensi adaptif’, dan sebagai ‘cost-benefit analysis’ (hal. 193), menjelaskan meskipun perempuan tidak secara alamiah atau esensial ditakdirkan untuk patuh, “freedom [is] much more costly for women than for men” (hal. 193). Maka dari itu, dalam berbagai kasus, sebut Garcia di bagian kesatu, “submitting to men may be a rational choice” (hal. 10).

Buku ini menampilkan isu kepatuhan sebagai topik relevan dan penting bagi filsafat dan feminisme kontemporer. Buku ini menawarkan penjelasan metodologis tentang bagaimana isu tentang kepatuhan dapat dipahami, dan menyoroti contoh menarik akan kepatuhan perempuan lebih dari contoh objektifikasi diri secara seksual, seperti penjelasan di bagian ke-8 ketika Garcia menjelaskan konsepsi Beauvoir akan cinta heteroseksual sebagai situs utama kepatuhan seorang perempuan. Buku ini juga menuliskan penawaran dari MacKinnon, Hegel, dan Foucault berkaitan dengan isunya dengan mudah dipahami oleh pembaca. [Meski Knowles juga memerlukan justifikasi lebih lanjut atas buku Garcia berkaitan dengan penjelasannya akan das Man dan Being-with others Heidegger].

Analisis tentang kepatuhan yang Garcia tawarkan begitu meyakinkan. Baginya, situasi opresif yang dialami perempuan, dan bagaimana hal tersebut membentuk pengalaman dirinya (self-experience) juga Being-in-the-world memiliki peran penting dalam menjelaskan kepatuhan perempuan. Norma-norma akan kepatuhan dipreskripsikan kepada perempuan melalui berbagai cara, dan terdapat manfaat sosial dan material, tapi juga harga yang dibayar melalui resistensi, seperti yang Beauvoir deksripsikan di dalam bukunya The Second Sex. Tapi, bagi Knowles, penjelasan bahwa kepatuhan perempuan dapat dijelaskan oleh semacam analisis cost-benefit itu tidak begitu memuaskan.

Mungkin hal ini karena Garcia juga sadar bahwa Beauvoir seringkali dilihat terlalu menghakimi perempuan yang berpartisipasi di dalam kehidupan yang patriarkal, juga pernah dituduh misogini dan melakukan victim blaming. Untuk mengantisipasi hal ini, Garcia berargumen bahwa “Beauvoir does not judge real women… she severely judges the female behavoir that is prescribed by the way men structure women’s destinis.” (hal. 104). Garcia berargumen bahwa “most of the time, woman does not actively choose her submission, she merely accepts what is suggested to her.” (hal. 197). Bagi Garcia, kepatuhan ini lebih seperti bentuk pasif dari bentuk persetujuan, daripada bentuk pilihan aktif…  “submission is a more passive form of consent, rather than an active choice, a characterisation which enables her to avoid seeing women as responsible for their submission in any substantial way.

Yes, women, insofar as they are human beings and thus can choose their freedom, are responsible for not choosing it; but the way in which their situation is determined from the outside by male domination to the extent that submission is made their destiny in such that they cannot be held liable for this submission (hal. 198).

Penekanan yang dilakukan Garcia dalam bukunya adalah pada persoalan kekuatan eksternal yang menuntut kepatuhan perempuan, tapi dengan cara melihat sisi kepatuhan aktif yang Beauvoir juga telah lihat…?

Bukan berarti Garcia tidak melihat bahwa kondisi sosial yang opresif sebagai kondisi yang tidak sentral dibicarakan berkaitan dengan kepatuhan perempuan, tapi hal ini telah juga dibahas oleh banyak penulis yang biasanya dalam kerangka preferensi yang adaptif (adaptive preferences). Penjelasan preferensi adaptif ini, penjelasn kepatuhan yang menekankan situasi eksternal yang opresif yang memang bersatu dengan norma dan praktik yang opresif juga. Garcia membedakan pemikirannya dengan kerangka ini, di mana dia menggunakan penjelasan preferensi adaptif… bahwa perempuan yang patuh bisa senang dengan situasinya (hal. 182-183), dan analisis cost-benefit diperlukan dalam menjelaskan ini. Hal ini memungkinkan Garcia, menghindari isu victim blaming, lalu mengakui agensi perempuan, seperti yang dilakukan oleh Ann Cudd, yang memang referensinya digunakan Garcia, tapi tidak dengan karya Serena Khader. Tapi bagi Knowles, tetap saja terdapat pertanyan yang tidak terjawab.
Sebagian besar analisis Garcia mengimplikasikan bahwa apabila kondisi sosial itu berbeda, kepatuhan perempuan akan pasti hilang karena, “submission, in sum, is  the fruit of the situation” (hal. 200). Garcia tidak memberikan catatan bahwa telah banyak perkembangan dan perbaikan situasi perempuan sejak Beauvoir menulis The Second Sex, tapi Garcia tetap menekankan bagaimana matriks heteroseksual yang berkontribusi dalam kepatuhan perempuan itu masih kuat di hari ini [red], dan menekankan bahwa ketergantungan finansial perempuan terhadap laki-laki juga berpengaruh, lalu menguatkan argumen bahwa perempuan masih berada di dalam situasi di mana kepatuhan dianggap sebagai sebuah takdir, “women are still in a situation in which submission appears as a destiny”. Apakah ini benar untuk semua perempuan? Terdapat banyak perempuan berprivilese yang mungkin dapat menolak patuh–atau setidaknya tidak patuh kepada norma-norma patriarkal–tapi tetap saja menjadi patuh. Dalam situasi di mana feminisme menjadi mainstream dan hal yang secara sosial dapat diterima adalah menolak norma patriarkal, bagaimana menjelaskan perempuan yang tidak melakukan itu? Knowles berpikir, contohnya, ketika Katherine Deneuve berbicara tentang gerakan #MeToo dan backlash yang ia terima, atau seseorang dengan pendidikan tinggi tapi terlibat dalam raunch culture (promosi tampilan seks vulgar) di era awal 2000an, di mana seperti yang diargumentasikan oleh Filipa Melo, “No one was expecting them to go pole dancing on Friday night and there were no foreseen penalties for not doing it.” Dalam contoh ini, preferensi adaptif atau analisis cost-benefit tidak begitu memberikan penjelasan yang utuh.

[to be continued]


Image source: https://www.liberation.fr/idees-et-debats/manon-garcia-les-feministes-ne-cherchent-pas-a-eliminer-les-hommes-mais-a-instaurer-des-rapports-plus-justes-20220612_SSNED3QZQFDYHHJUDVOVUUCNFI/



error: Sorry, content is protected!