Terjemahan dan catatan bebas dari A History of Women Philosophers 1987 bagian membahas Early Pythagoreans dan (bagian Damo) dari situs societyforthestudyofwomenphilosophers.
Pythagoreanisme merepresentasikan sebuah sekolah filsafat yang aktif dan populer mulai dari akhir abad ke-6 SM hingga abad ke-2 atau ke-3 Masehi. Anggota Pythagorean awal mencakup keluarga Pythagoras sendiri dan pengikut/pendukung Pythagoras di sebagian wilayah Yunani dan Italia selatan. Pythagorean awal harus dibedakan dari Pythagorean “akhir” dari abad ke-4 dan ke-3 SM, serta dari “neo Pythagorean” dari abad ke-1 SM hingga mungkin abad ke-3 Masehi. Pythagorean awal termasuk Themistoclea, Theano, Arignote, Myia, dan Damo. Yang mana hanya Themistoclea yang bukanlah keluarga Pythagoras. Pythagorean akhir sendiri termasuk Phintys, Aesara dari Lucania, Perictione, (mungkin) Perictione II, dan Theano II. Mereka kemungkinan hidup sekitar abad ke-4 hingga ke-2 SM.
Trivias:
- Themistoclea, pendeta yang berperan penting bagi Pythagoras
- Theano, istri Pythagoras
- Arignote, Myia, dan Damo, anaknya Pythagoras & Theano
Themistoclea & Arignote
Sumber-sumber kuno menunjukkan bahwa perempuan mengambil peran aktif dalam masyarakat Pythagorean awal dan mungkin bisa saja memainkan peran sentral dalam pengembangan filsafat Pythagorean awal. Diogenes Laertius menjelaskan bahwa:
Bahwa doktrin-doktrin etika yang Pythagoras sumbangsih besarnya didapat dari Themistoclea, yang adalah pendeta di Dephi.
Para pemikir Pythagorean awal memandang bahwa kosmos atau semesta itu teratur dan harmoni. Sebab, segala sesuatu memiliki hubungan matematis satu dengan yang lainnya. Harmoni dan keteraturannya ada ketika segala hal berada dalam hubungan yang tepat satu sama lain. Relasinya dapat diungkapkan sebagai proporsi matematis. Salah satu “wacana sakral/sacred discourse” ini dikaitkan dengan apa yang dibahas oleh Arignote, putri Pythagoras. Menurut Arignote:
Bahwa esensi kekal dari angka adalah penyebab yang paling providensial (paling bijaksana) bagi seluruh langit, bumi, dan wilayah di antaranya. Begitu juga dengan akar/penyebab keberlanjutan eksistensi para dewa dan daimon (roh-roh/entitas spiritual), serta eksistensi manusia ilahiah.
Komentar/penjelasan Arignote konsisten dengan apa yang dijelaskan oleh ibunya, Theano dari Crotona, bahwa semua yang ada, semua yang nyata dapat dibedakan dengan yang lain melalui sistem pencacahan (enumeration). Esensi kekal dari angka juga secara langsung terkait dengan keberadaan dengan yang lain secara harmonis. Harmoni ini dapat diungkapkan sebagai hubungan matematis. Dengan dua cara ini, dapat dipahami bahwa angka adalah penyebab dari segala sesuatu: tanpa itu, kita tidak bisa menghitung, menetapkan batas, dan membedakan antara hal-hal, dan itu menjelaskan hubungan yang teratur di dunia ini.
Theano dari Crotona
Theano adalah anak Brontinus, seorang bangsawan sekaligus yatim piatu dari Crotona (Italia Selatan?). Theano menjadi murid Pythagoras sekaligus istrinya. Dalam dokumen yang menjelaskan karyanya Theano, On Piety, dia menyinggung konsep-konsep metafisika: imitasi dan partisipasi. Teksnya diterjemahkan oleh Vicki Lynn Harper:
“I have learned that many of the Greeks believe Pythagoras said all things are generated from number. The very assertion poses a difficulty: How can things which do not exist even be conceived to generate? But he did not say that all things come to be from number; rather, in accordance with number - on the grounds that order in the primary sense is in number and it is by participation in order that a first and a second and the rest sequentially are assigned to things which are counted.”
Theano tahu banyak orang Yunani percaya kalau Pythagoras membahas: segala sesuatu itu berasal dari angka. Baginya, pernyataan itu sendiri menimbulkan kesulitan: Bagaimana mungkin hal-hal yang tidak ada dapat diciptakan? Sebenarnya Pythagoras tidak mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari angka; sebaliknya, sesuai dengan angka.
Yang hendak Theano katakan adalah ketika kita mempertanyakan apa sifat suatu benda (the nature of an object), kita bisa menjawabnya dengan menggambar analogi antara benda itu dan sesuatu yang lain, atau kita bisa mendefinisikan benda itu. Menurut Theano, yang mau dibicarakan Pythagoras itu adalah analogi antara hal-hal dan angka-angka. Ini adalah konsep imitasi: hal-hal seperti angka. Dengan partisipasinya dalam semesta yang teratur dan harmoni, suatu objek, apakah bersifat fisik atau tidak, dapat diurutkan dengan objek lainnya, dan dapat dihitung. Segala hal dapat dihitung sesuai dengan angka, sehingga tercipta keteraturan itu.
Dokumen yang mengaitkan ini dengan Theano tampaknya tidak diketahui oleh Aristoteles ketika menjabarkan bahwa Pythagorean:
“… construct natural bodies out of numbers, things that have lightness and weight out of things that have not weight or lightness…”
Ketika kita membaca “things” “segala hal” yang dimaksud Theano adalah corporeal atau objek-objek fisik, (yang dapat men-generate?), dia mengklaim bahwa hanya benda-benda fisiklah yang tidak muncul dari bilangan itu sendiri karena bilangan adalah non-fisik.
Lebih tepatnya, angka memungkinkan kita untuk membedakan satu hal dari yang lain. Dengan menghitung hal-hal sebagai yang pertama, yang kedua, dll., kita secara diam-diam mengklaim dapat menentukan parameter fisik dari sesuatu: itu dimulai di sini, itu berakhir di sana… Oleh karena itu, dalam menghitung, kita juga menetapkan batas objek. Kita dapat menyatakan bahwa sesuatu adalah objek karena kita dapat menghitungnya.
Sebuah apothegem (penjelasan ringkas) yang dikaitkan dengan Theano adalah 2 doktrin Pythagorean: ketakmatian jiwa-jiwa (the immortality of souls), dan perpindahan jiwa-jiwa (the transmigration of souls). Theano mengonfirmasi bahwa Pythagorean mempercayai keadilan ilahiah “divine justice” di kehidupan selanjutnya (afterlife) dan perpindahan jiwa-jiwa setelah kematian ke tubuh baru yang tidak mesti manusia. Melalui apothegem ini kita mengetahui penggambaran proses perpindahan sebagai proses ‘mengembalikan’ semesta harmoni yang seringkali dirusak oleh manusia ketika hidupnya. Theano menghubungkan konsep moralitas dengan kosmologi dengan menunjukkan kita tidak perlu ragu tentang ketakmatian jiwa:
“If the soul is not immortal, then life is truly a feast for evil-doers who die after having lived their lives so iniquitously.”
Maka secara prinsip, dalam semesta yang harmonis, segala hal memiliki tempat dan fungsinya masing-masing tergantung pada hukumnya: hukum fisika, logika, atau moralitas dan agama. Kejahatan atau tindakan tidak bermoral itu berkontribusi terhadap semesta yang tidak teratur. Menurut Theano, apabila jiwa itu tidak kekal, maka orang-orang yang berkontribusi terhadap ketakaturan semesta tidak hanya menjadi free rider bagi korbanya, mereka juga mengganggu ketertiban alam semesta. Apabila ingin menjadikan semesta seimbang dan harmoni kembali, jiwa-jiwa harusnya kekal. Sehingga yang tidak bermoral ini dapat mengembalikan keseimbangan dengan menerima penghukuman dengan cara terlahir kembali sebagai bukan manusia (anything that less than a human) menjalani kehidupan sesuai dengan hukum moral yang berlaku.
Stobeaus mengutip beberapa apothegem dari Theano tentang bagaimana Pythagorean bersikap terhadap perempuan. Aktivitas seksual seorang istri dilimitasi hanya untuk menyenangkan suaminya–maka dia tidak boleh memiliki pasangan lain. Dalam konteks pernikahan, kesucian dan kebijaksanaan tidak diidentifikasi oleh sekadar pantangan ‘chastity and virtue are not identified with abstinence’. Ketika Theano ditanya berapa hari yang dibutuhkan seorang perempuan, setelah melakukan hubungan seksual, untuk kembali ‘pure’ suci, dia menjawab: apabila aktivitas dilakukan dengan suaminya, maka perempuan itu tetap suci, tapi apabila dilakukan dengan orang lain, maka perempuan itu tidak akan pernah suci kembali. Ketika ditanya tentang kewajiban perempuan yang sudah menikah, jawabannya adalah “menyenangkan suaminya”. Theano memandang cinta romantik tidak lebih dari sekaral “the natural inclination of an empty soul”. Kutipan ini mungkin akan lebih dipahami melalui tulisan-tulisan filsuf era Pythagorean berikutnya, seperti dari Phintys, Theano II, Perictione, Aesara dari Lucania, dan Perictione II. Dari tulisan-tulisan mereka dapat dipahami bahwa doktrin-doktrinnya itu memang dapat diaplikasikan ke kehidupan personal/keluarganya. Perempuan, yang kebijaksanaannya ditentukan oleh kesederhanaannya, memiliki tanggungjawab menjaga (keseimbangan) aturan dan keadilan di lingkup keluarga. Menurut Aesara dari Lucania, rumah menjadi wujud mikrokosmos negara. Sehingga konsekuensinya, perempuan memiliki tanggungjawab besar untuk menciptakan kondisi harmoni dan teratur, sehingga hukum dan keadilan di tingkat negara juga tercipta. Perempuan yang tidak memahami ini dianggap berkontribusi terhadap ketidak-teraturan, kekacauan, dan perselisihan yang terjadi. Ketika kita membaca apothegem dari Theano dalam konteks ini, (menurut Ellen Waithe) lebih baik mengapresiasi prinsipnya yang ini:
“Better to be on a runaway horse than to be a woman who does not reflect.”
(menekankan proses refleksinya???)
Myia
Myia disebut-sebut sebagai salah satu putri dari Theano dan Pythagoras. Dia menikah dengan seorang atlit bernama Milo (atau Milon, Mylon, Meno) yang berasal dari Crotona (trivia: di rumah Theano di Crotona lah Pythagoras dibakar hingga mati). Seperti perempuan Pythagorean lainnya, Myia menulis tentang pengaplikasian prinsip harmonia di kehidupan sehari-hari seorang perempuan. Dalam suratnya kepada Phyllis, Myia mendiskusikan pentingnya memenuhi kebutuhan bayi yang baru lahir sesuai dengan prinsip harmoni. Bayi baginya secara alamiah memiliki hasrat sesuai kebutuhannya; yang mana kebutuhannya itu perlu dimoderasi (moderation): jangan terlalu sedikit atau berlebihan, entah itu makanan, pakaiannya, suasana panas/dingin, udara segar, dsb. Yang menarik dari suratnya yaitu saran “the newborn naturally desires moderation in everything, and that it benefits most from moderation.” Moderasi ini penting. Karenanya, sang ibu musti memiliki perawat yang pas/sederhana. Sederhana dalam arti, tidak kelebihan tidur/minum, mampu memoderasi hasrat seksual suaminya. Perawat itu harus melakukan segala sesuatu sesuai waktunya “do all things well at the appropriate time.” Dia juga perlu menyesuaikan dengan kesejahteraan anaknya dan dirinya sendiri, sehingga ketika mengurus bayi yang baru lahir itu, sang bayi akan tumbuh dengan baik.
Surat Myia kepada Phyllis:
Myia to Phyllis: Greetings. Because you have become a mother, I offer you this advice. Choose a nurse that is well-disposed and clean, one that is modest and not given to excessive sleep or drink. Such a woman will be best able to judge how to bring up your children in a manner appropriate to their free-born station – provided, of course, that she has enough milk to nourish a child, and is not easily overcome by her husband’s entreaties to share his bed. A nurse has a great part in this which is first and prefatory to a child’s whole life, i.e., nurturing with a view to raising the child well. For she will do all things well at the appropriate time. Let her offer the nipple and breast and nourishment, not on the spur of the moment, but according to due consideration. Thus will she guide the baby to health. She should not give in whenever she herself wishes to sleep, but when the newborn desires to rest; she will be no small comfort to the child. Let her not be irascible or loquacious or indiscriminate in the taking of food, but orderly and temperate and – if at all possible – not foreign but Greek. It is best to put the newborn to sleep when it has been suitably filled with milk, for then rest is sweet to the young, and such nourishment is easy to digest. If there is any other nourishment, one must give food that is as plain as possible. Hold off altogether from wine, because of its strong effect, or add it sparingly in a mixture to the evening milk. Don’t continually give the child baths. A practice of infrequent baths, at a mild temperature, is better. In addition, the air should have a suitable balance of heat and cold, and the house should not be too drafty or too closed in. The water should be neither hard nor soft, and the bed- clothes should be not rough but falling agreeably on the skin. In all these things nature yearns for what is fitting, not what is extravagant. These are the things it seems useful to write to you for the present: my hopes based on nursing according to plan. With the help of god, we shall provide feasible and fitting reminders concerning the child’s upbringing again at a later time.
Yang disoroti oleh Ellen Waithe adalah closing statement di akhir, yang artinya terjadi moderasi dalam memberi saran kepada orang lain, dalam hal ini sesama perempuan, detail-detail menuju keseimbangan semesta, dengan cara mengurus anak. Adalah tugas perempuan filsuf untuk membagi pengalamannya ke perempuan filsuf lain apabila ingin hidup di dunia yang harmoni, seperti yang disarankan oleh Aesara dari Lucania: create justice and harmony in their souls and in their homes. Begitu pun dengan laki-laki yang mengurusi negara. Pada tradisi ini, pendekatan berbeda dianggap yang paling diperlukan karena perspektif bahwa kondisi alamiah laki-laki dan perempuan berbeda.
Damo
Damo merupakan anak Pythagoras yang belajar di School of Croton dan kemudian mengajar di sana. Dia dipercaya karena integritas dan filsafatnya sehingga Pythagoras memercayai Damo untuk menjaga tulisan-tulisannya sebelum meninggal.
Ketika sekolah Pythagorean di Croton ditutup, Damo pindah ke Athena dan menjadi salah satu anggot dari Athenian Strangers (bersama Aspasia, dll.). Di Athena, Damo dibantu oleh pengikut Pythagoras, yang juga anggota Athenian Strangers yang berasal dari Croton. Mereka adalah Thymaridas, yang pintar bilangan prima, lalu Philolaus, yang pintar kosmologi, percaya bahwa Bumi adalah planet yang mengitari Api. Philolaus masih hidup ketika Sokrates lahir dan seringkali disebut ketika membahas/menghubungkan filsuf Pythagorean dan periode Sokrates. Damo dipercaya untuk memegang karya original Pythagoras, namun karena struktur politik Athena saat itu, Damo musti mempunyai kolega laki-laki.
Iamblichus menyatakan bahwa Pythagoras memberikan risalahnya kepada para Dewa:
Pythagoras composed his treatise Concerning the Gods, he received assistance from Orpheus, wherefore indeed that theological treatise is sub-titled, the learned and trustworthy Pythagoreans assert, by Telauges; taken from the commentaries left by Pythagoras himself to his daughter, Damo, Telauges's sister, and which, after her death, were said to have been given to Bitale, Damo's daughter and to Telauges, the son of Pythagoras and husband of Bitale, when he was of mature age, for he was at Pythagoras's death left very young with his mother Theano.
Damo juga disebut oleh Geminus dan dimasukkan ke dalam daftar filsuf yang dicatat oleh Diogenes Laertius:
Referensi:
- A History of Women Philosophers 1987
- http://www.societyforthestudyofwomenphilosophers.org/Damo.html
- Featured image https://artemision.es/oraculos-griegos-la-voz-de-los-dioses/