What is BDSM/Kink? Apakah BDSM/Kink itu Orientasi Seksual atau Waktu Luang yang Serius?

Posted

by

Tulisan ini bukanlah terjemahan yang rapi sesuai tulisannya. Saya menerjemahkan secara serampangan untuk kebutuhan catatan dan pemahaman personal mengenai Kink/BDSM. Semoga mempermudahmu juga.

Tulisan Is BDSM a Sexual Orientation or Serious Leisure? yang ditulis oleh Richard A. Sprott dan D. J. Williams (2019) berikhtiar memahami bagaimana BDSM dikonseptualisasikan, secara spesifik sebagai orientasi seksual (sexual orientation) atau bentuk pengalaman yang didapat ketika waktu luang (leisure activity, serious leisure). Penulisnya berharap bahwa tulisan ini dapat digunakan pekerja klinik/dokter/perawat (fokus medis secara umum dan kesehatan seksual, juga) dan lingkup akademik untuk memahami bagaimana (praktik, aktivitas) BDSM bekerja. Melalui tulisan tersebut ditemukan bahwa BDSM bisa saja merupakan orientasi seksual dan atau yang dilakukan di waktu luang. Pendekatan alasan orientasi seksual fokus pada subjek yang memang sangat berinvestasi atas praktik-praktik BDSMnya, sedangkan bagi pendekatan alasan waktu luang, BDSM dilakukan oleh subjek yang atributnya lebih luas daripada yang SO.

Berkas tulisan asli silakan cek https://doi.org/10.1007/s11930-019-00195-x

BDSM dapat dipahami baik sebagai orientasi seksual maupun waktu luang untuk banyak orang tapi tidak semua. Kedua pendekatan ini berpijak pada multidisiplin yang sama. Meskipun bisa saja pendekatan keduanya bisa berbeda pada beberapa hal, yang pasti perspektif orientasi (orientation perspective, OP) dan perspektif waktu luang yang serius (serious leisure perspective (SLP) tampaknya memperhitungkan diskursus mengenai identitas seksual yang berpusat pada aktivitas BDSM.

Tentang penulis:

  • Richard A Sprott, Department of Human Development and Women’s Studies, California State University.
  • D. J. Williams, Sociology, Social Work, & Criminology, Idaho State University

Pendahuluan

BDSM (Bondage/discipline, Dominance/submission, sadism/masochism), atau kadang-kadang disebut sebagai kink dan/atau fetish, melibatkan serangkaian minat, perilaku, hubungan, dan identitas erotis esoterik. Aspek-aspek kink termasuk meng-erotisasi sensasi-sensasi yang intens, termasuk namun tidak terbatas pada pain atau “kesakitan”, meng-erotitasi dinamika perbedaan power antar pihak yang terlibat, tarik ulur daya tahan (endurace) akan rangsangan sensorik tertentu terhadap bagian tubuh tertentu atau benda mati (“fetish”), permainan peran atau role play dalam arti mendramatisir skenario-skenario erotis sesuai kesepakatan, dan aktivitas-aktivitas erotis yang menyebabkan peningkatan atau perubahan kondisi kesadaran (terangsang sesuai preferensinya).

Saat ini, terdapat beberapa pendekatan teoritis yang tidak mengasumsikan bahwa BDSM itu secara inheren adalah penyakit. Dua pendekatan teoritis akannya yaitu pendekatan waktu luang dan pendekatan orientasi seksual. Perbedaan dalam pendekatan teoritis dipengaruhi oleh diskursus yang berbeda yang sering ditemui dalam berbagai media tidak hanya buku/jurnal ilmiah tapi juga blog, situs, dan grup komunitas BDSM: di dalamnya membahas 1) kegiatan yang menyenangkan, teknis, dan bermakna; yang lainnya 2) adalah ketertarikan bawaan seumur hidup, dan minat yang tampaknya berada di luar pilihan individu. Perbedaan pendekatan dalam teori dan diskursus menyoal BDSM ini penting bagi dokter untuk memfasilitasi komunikasi dan kepercayaan antara dokter dan pasien.

Gambaran Singkat tentang Perspektif Waktu Luang sebagai Konstruksi

Ilmu yang membahas tentang diskursus waktu luang sangat lah sedikit dan dipelajari melalui akar multidisiplin yang beragam. Peneliti mencari tahu apa (bagaimana, siapa, dan kenapa) yang seseorang/sekelompok orang lakukan untuk mendapat kesenangan dan bermakna. Serupa dengan seksologi, peneliti mengenai leisure ini juga mempelajari multidisiplin yang berkaitan dengan hal tersebut. Dapat dikatakan bahwa ilmu yang mebahas seksualitas dan leisure banyak kesamaan.

Sebagai konsep, leisure atau waktu luang biasanya diterjemahkan sebagai free time atau waktu yang bebas? Namun seringkali tidak disetujui karena leisure perlu dikonseptualisasikan sebagai waktu luang yang digunakan untuk hal-hal bermakna. Meskipun tentu waktu luang ini perlu dilakukan secara bebas tanpa paksaan (non-coerced), dan termotivasi secara intrinsik. Subjek yang menggunakan waktu luang ini biasanya diasosiasikan dengan aktivitas yang positif, dapat menjadi medium ekspresi diri, stress relief, dan relaksasi, puas ketika melakukan petualangannya. Tipe-tipe penggunaan waktu luang ini tidak ada batasnya selama dipenuhinya syarat 1) bebas, dan 2) tidak ada paksaan. 

Perspektif Waktu Luang yang Serius

Selama lebih dari 40 tahun, Robert Stebbins telah meneliti berbagai bentuk aktivitas waktu luang yang dia sebut serious leisure perspective (SLP). Berdasarkan SLP, aktivitas waktu luang yang spesifik berarti ketika aktivitas waktu luang yang biasa (casual) beralih ke waktu luang yang serius. Waktu luang yang biasa cenderung langsung (immediate), hedonis, menyenangkan, dan membutuhkan sedikit atau sama sekali tidak ada pelatihan; manfaatnya termasuk mengurangi stress, ketenangan, dan mengembalikan keseimbangan hidup. Stebbins menemukan bahwa aktivitas waktu luang biasa ini masuk ke dalam salah satu atau lebih dari 6 tipe mendasar: play, relaxation, passive entertainment, active entertainment, sociable conversation, dan sensory stimulation.

Berbeda dengan waktu luang biasa, waktu luang serius begitu diinginkan (so desirable) bagi pihak-pihak yang terlibat sehingga memerlukan pertimbangan waktu dan usaha untuk memperoleh suatu keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman. Waktu luang serius kemudian menjadi suatu karir (career-like) yang membutuhkan perencanaan, usaha dan kegigihan, juga pengembangan keterampilan, sehingga memungkinkan untuk mendapat manfaat dan hadiah ketika melakukannya. Bagaimanapun, meski terdapat atribut-atribut umum yang esensial bagi waktu luang serius, waktu luang ini memiliki berbagai bentuk dan tidak homogen. “Pelaku inti” atau core devotees yang beraktivitas waktu luang serius ini begitu berkomitmen daripada “Pelaku sedang” atau moderate devotees atau “neophytes”. Yang paling ekstrem melakukan waktu luang serius ini masuk ke dalam kategori waktu luang keras atau hardcore yang mana membutuhkan komitmen luar biasa di antara pihak-pihak yang terlibat. Waktu luang serius seperti yang melibatkan eksplorasi puncak, menyelesaikan maraton, mengoleksi buku langka atau artefak militer.

Selain aktivitas waktu luang biasa dan serius, Stebbins mengidentifikasi bentuk ketiga, yaitu waktu luang berdasarkan proyek (project-based leisure), yang mana memiliki elemen dari yang serius dan biasa, tapi berbeda dalam hal struktur dan manfaat. Waktu luang berdasarkan proyek adalah “a short-term, moderately complicated, one-shot or occasional though infrequent, creative undertaking carried out in free time.” atau usaha kreatif jangka pendek, cukup rumit, dilakukan sekali atau sesekali meskipun jarang, yang dilakukan di waktu luang; mendapatkan hadiah juga tapi tidak seperti waktu luang serius di mana itu cenderung seperti karir (terencana dengan baik). Contoh waktu luang berbasis proyek adalah subjek yang menciptakan instalasi atau yang menjadi relawan di suatu pameran; sesekali saja.

Gambaran Singkat tentang Perspektif Orientasi sebagai Konstruksi

Orientasi seksual secara tradisional dipahami ketika seseorang secara erotis tertarik dengan orang lain, tapi tidak merefer kepada aspek seksualitas yang lain, dalam hal ini BDSM tidak menjadi bagian dari orientasi seksual; karena BDSM/kink hanya dipahami sekadar erotisasi sensasi (panca indera tubuh) secara intens, pertukaran ekspresi power, dan hadirnya stimulus sensoris (fetish, objek-objek intim(ish) tertentu)–dan tidak selalu tentang seks/gender orang tersebut. Pun begitu, studi terbatu mengkritik konstruksi ini dengan cara menyampaikan persoalan seksualitas secara teoritis dari sisi yang lebih luas. van Anders mengajukan Teori Konfigurasi Seksual (Sexual Configurations Theory) sebagai respons terhadap limitasi yang besar terhadap teori orientasi seksual yang ada sekarang; konfigurasi seksualitas berarti dapat menyertakan aspek-aspek lebih dari seks/gender yang dianggap sesuai dengan kriteria orientasi: juga menyertakan aspek-aspek ketertarikan seksual yang melebihi kontrol kesadaran dari pihak terlibat dan aspek seksualitas yang berbeda dari identitas dan statusnya.

Moser mendiskusikan unsur-unsur seksualitas yang diperlukan oleh konsep orientasi, yaitu a) ketertarikan seksual yang kuat dan teguh, b) ketertarikan seksual yang cair, keter-rangsangan di luar kontrol kesadaran, c) berkembang ketika masa kanak-kanak atau remaja, d) konsekuensi psikologis yang signifikan terhadap penolakan, eksplorasi, pemenuhan, atau penekanan ketertarikan dan gairah seksual, e) pola ketertarikan dan gairah seksual seumur hidup. Aspek-aspek konseptual ini dapat digunakan untuk melihat apakah praktisi kink dapat masuk ke dalam kriteria orientasi. 

Elements of sexuality entailed by the concept of orientation: (a) sexual attraction that is strong and persistent; (b) relative immutability/fluidity of sexual attraction or arousal that is be- yond conscious control; (c) early onset, developmentally, in childhood or adolescence; (d) significant psychological con- sequences to denying, exploring, fulfilling, or repressing sex- ual attraction and arousal; and (e) lifelong patterns of sexual attraction and arousal.

Pengetahuan akan BDSM sebagai Waktu Luang

BDSM tetap dianggap sulit dipahami, didefinisikan, dan karenanya telah dikonseptualisasi oleh berbagai penstudi dengan berbagai cara. Perbedaan konseptualisasi, seperti pendekatan BDSM as activity (sebagai suatu aktivitas), permainan waktu dan ruang, atau sebagai identitas kink, menunjukkan hal yang sama yang dilakukan oleh penstudi menyoal waktu luang. Kesamaan standar penggunaan consent dalam BDSM konsisten dengan standar waktu luang terkait kriteria non-coercion atau tanpa paksaan, sedangkan kriteria esensial lainnya, seperti motivasi intrinsik juga sama. Secara historis, Weiss mencatat bahwa pada mulanya kultur BDSM muncul ketika seksualisas menjadi sebuah situs dan sumber untuk eksplorasi waktu luang.

Beberapa studi menyarankan agar BDSM juga secara general harus menunjukkan manfaat teurapetik seperti aktivitas yang dilakukan ketika waktu luang. Dengan menggunakan wawancara semi-terstruktur, Hebert dan Weaver menemukan bahwa manfaat BDSM termasuk pleasure (kesenangan) dan arousal (perangsangan), fun, pengembangan diri, manfaat relasi dengan komunitas/pihak yang terlibat, mekanisme perbaikan aspek psikologis, sensasi kebebasan personal, dan medium ekspresi diri. Dalam studi kualitatif Taylor dan Ussher juga ditemukan manfaat serupa, menurut para partisipan yang terlibat, dengan BDSM yang memproduksi berbagai impuls, dapat memberi manfaat: merasakan pleasure, freedom dan empowerment, juga eskapisme dari kemonotonan keseharian, pengalaman transendens, dan produksi adrenaline rush/endorphin high.

“…with BDSM participation producing various feelings associated with pleasure, freedom and empowerment, an escape from day-to-day monotony, transcendent experience, and producing an adrenaline rush or endorphin high…”

Studi kuantitatif terbatu dengan sampel dari sekian ratus praktisi BDSM menemukan bahwa sifat umum dari waktu luang sangat didukung oleh para partisipan, termasuk hal-hal berikut: emosi yang positif, sensasi kebebasan, pleasure and enjoyment, sensasi petualangan, relaksasi atau pelepasan stres, ekspresi diri. Dalam menilai BDSM sebagai potensi waktu luang serius atau biasa, studi yang sama menemukan bahwa pengalaman BDSM cenderung menuju pada yang serius daripada yang biasa, utamanya di antara pelaku/praktisi yang dominan daripada yang submisif. Dalam studi etnografik Newmahr juga menemukan bahwa partisipan-partisipan BDSM memiliki karakteristik serupa dengan apa yang dibahas Stebbins terkait waktu luang serius. Meskipun begitu, dalam studi kualitatif juga ditemukan bahwa dalam komunitas BDSM, beberapa bentuk BDSMnya kadang-kadang merefleksikan juga waktu luang yang biasa, seperti hanya melibatkan fungsi playfulness dan spontanitas untuk terhubung dengan pihak (adult) yang terlibat; fun, playfulness, yang mereka alami ketika kecil.

Pengetahuan akan BDSM sebagai Orientasi Seksual

Herdt dan McClintock menginvestigasi peran adrenarche, pubertas adrenalin yang muncul antara umur 6 dan 10 tahun, dalam fase perkembangan kesadaran seksual (sexual awareness). Ketika pertengahan masa kanak-kanak, yang biasanya disebut perasaan erotis yang tidak diketahui (unknown/unrecognized erotic feelings) mulai dipahami sebagai bagian dari ketertarikan seksual, ketika masuk umur 10 tahun, hal itu disebut robust, memorable experience atau pengalaman yang kuat, yang diingat. Linimasa perkembangan fase ini selaras dengan apa yang Moser bahas terkait fase perkembangan awal seseorang sebelum pubertas (orientasi seksual), ketika seseorang belum bisa mengartikulasikan hasrat dan ketertarikannya (desires and attractions). 

Studi sampel representatif populasi Belgia tahun 2017 menemukan bahwa 61.4% masyarakat memiliki ketertarikan dengan BDSM, dan mereka mulai menyadari ketertarikan itu sebelum umur 25 dan 8% sebelum umur 15. Dalam studi yang melibatkan 184 partisipan Finlandia yang dilakukan akhir tahun 1990an, 77.8% menyadari ketertarikan BDSM sebelum umur 25, 9.3% sebelum umur 10, dan 5% mengalami pengalaman itu sebelum umur 10. Studi pada tahun 1970an yang melibatkan 178 laki-laki di USA menemukan bahwa 12%nya telah mengalami BDSM ketika atau lebih muda dari umur 10 tahun. Lalu, studi tahun 1977 yang melibatkan 237 sampel laki-laki Jerman Barat menemukan bahwa 77% menyadari ketertarikan BDSM sebelum umur 25 tahun dan 7% ketika atau lebih muda dari umur 10 tahun. Maka dapat dikatakan bahwa sekian orang mungkin telah memiliki ketertarikan erotis akan BDSM bahkan ketika konsep orientasi seksual tradisional belum ada.

There is some evidence, then, that a portion of people may develop an erotic interest in BDSM at a time when more traditional aspects of sexual orientation develop.

BDSM dan Kemungkinan-Kemungkinan Identitas

Meskipun diperkirakan sekitar 10% populasi terlibat dalam beberapa bentuk BDSM, jelas terdapat variasi yang luas dalam cara orang membangun identitas erotis atau seksual berdasarkan alasan waktu luang atau orientasi; identitas itu bisa saja merefleksikan proses pilihan personal (personal choice), pekerjaan sosial? (social assignment), kualitas perseorangan (innate person qualities), atau bisa ketiganya. Karena variasi ini, pendekatan orientasi, OP, dan waktu luang, SLP, tidak saling eksklusif, namun tumpang tindih dan berbagi landasan yang sama. Seksualitas dibentuk dengan faktor biologis, psikologis, kultur, sosial, ekonomi, politis, legal, etis, historis, religius, dan spiritual yang kompleks, yang karenanya bersifat unik bagi setiap individunya, lantas waktu luang, secara umum, juga dibentuk oleh kombinasi dari berbagai faktor ini.

Sexuality is shaped by complex biological, psychological, cultural, social, economic, political, legal, ethical, historical, and religious and spiritual factors, and thus is unique to each individual, while leisure, broadly, is also shaped by combinations of these same factors.

SLP penting dipahami sebagai variasi mengalami BDSM yang memerlukan dedikasi waktu untuk pengembangan keterampilan, hingga persoalan tempat untuk melakukan itu. Untuk yang vanilla, tapi menikmati kink sesekali, masuk ke kategori waktu luang biasa. SLP juga dapat digunakan dalam mengkategorisasi pengalaman BDSM yang 1) termotivasi secara erotis tapi memunculkan identitas seksual, juga 2) berbagai preferensi yang secara utama tidak termotivasi oleh erotisitas, termasuk keterlibatan dalam BDSM yang dilakukan oleh pihak yang mengindentifikasi sebagai aseksual. Sedangkan OP membantu kita melihat bahwa terdapat pihak yang melakukan BDSM lebih dari untuk kontrol kesadaran, atau ketertarikannya muncul pada fase awal hidupnya, atau bisa juga berhubungan dengan hasrat seksual atau erotis yang menunjukkan konsekuensi dari hasratnya yang secara psikologis pernah ditolak atau direpresi. Kedua pendekatan ini dapat digunakan secara bersamaan pada pihak yang tertarik dengan BDSM; yang mengalaminya seperti orientasi seksual, tapi juga seperti aktivitas yang dilakukan ketika waktu luang (biasa, serius, atau hardcore).

Stigma terhadap Kink/BDSM

Apapun pendekatan yang digunakan dalam memahami BDSM, SLP atau OP, masih terdapat stigma yang melekat terhadap praktisi BDSM. Sekalipun sudah ada studi yang menyatakan bahwa BDSM bukanlah patologis atau penyimpangan. Suatu survei tentang individu kink dengan sampel berjumlah 2058 yang dikumpulkan sejak April 2007 hingga Juni 2008 menemukan bahwa 37.5% telah mengalami diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan karena ketertarikan pada BDSM. Lebih lanjut, 11.3% dari total sampel melaporkan bahwa diskriminasi bahkan datang dari profesional seperti dokter medis sebesar 5.5% dan penyedia jasa/layanan kesehatan sebesar 4.5%.

Memposisikan BDSM sebagai waktu luang atau orientasi menunjukkan berbagai tantangan berbeda dalam mengatasi stigma; pun begitu dari perspektif SLP, kita perlu meminggirkan pola pikir bahwa BDSM itu sekadar waktu luang, juga menganggap BDSM tidak penting, trivial, dan dapat berubah begitu saja. Peminggiran tersebut serupa dengan menyatakan bahwa suatu perilaku seksual sebagai sekadar seks, atau kekerasan itu sekadar kejahatan; oleh karena itu tidak menyadari bahwa terdapat multidimensi kompleks yang mendasari setiap konstruksinya.

Kesimpulan

Perlu edukasi dan training yang serius terkait BDSM/kink bagi profesional (pekerja medis, dsb.). Kita juga perlu menyoroti bagaimana terdapat buku dan jurnal yang menarasikan bahwa BDSM itu sex-negative dan cenderung tidak dibahas secara komprehensif. Karena kekurangan training mendasar mengenai keberagaman aktivitas seksual untuk profesional, sayangnya, hal ini mengakibatkan berbagai pihak yang terlibat dalam aktivitas BDSM merasa takut, dan mengalami diskriminasi ketika mengakses fasilitas kesehatan.

Singkatnya, ada banyak kemungkinan mengenai bagaimana identitas seksual, BDSM, dan rekreasi waktu luang tertentu dapat hidup berdampingan dan sering kali berkaitan. Memahami perspektif waktu luang dan orientasi memberikan pemahaman yang lebih menyeluruh tentang beragam motivasi, perilaku, identitas, pengalaman, dan manfaat BDSM. Dokter/pekerja medis harus siap menghadapi perbedaan pendekatan dan pemahaman pasien tentang ketertarikan BDSM mereka, dan persiapan ini dapat meningkatkan hubungan dan kepercayaan dalam hubungan layanan kesehatan. Dokter juga perlu menganggap topik ini relevan karena adopsi identitas minoritas seputar kepentingan BDSM mungkin berdampak pada kesenjangan kesehatan dan masalah terkait akses layanan kesehatan.

Masih terdapat kebutuhan untuk mengkritik dan menguji kedua perspektif ini, baik secara empiris maupun teoritis. Perspektif SLP nampaknya menekankan pilihan, kecairan ketertarikan, dan rentang intensitas dalam cara individu mengeksekusi ketertarikan mereka, sedangkan perspektif OP sepertinya menekankan kurangnya pilihan atau kendali sadar, keteguhan ketertarikan, dan tingginya intensitas keinginan karena pengalaman hasrat yang direpresi oleh norma sosialnya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menguji kegunaan kedua pendekatan ini.

Catatan:


Categories

error: Sorry, content is protected!