Metafisika dan Ontologi

Posted

by

Mendengar dan mencatat. Saya sering melakukan hal ini untuk membantu memahami sesuatu. Kali ini dibantu oleh pembahasan Metafisika dari Bung Martin Suryajaya.


Ketika kita membayangkan metafisika, mungkin kita otomatis membayangkan hal-hal gaib yang tidak ada hubungannya dengan pengetahuan atau rasional sama sekali. Dalam bidang filsafat, metafisika itu bukan hanya persoalan hal-hal yang gaib. Istilah metafisika sebenarnya berasal dari satu risalah yang ditulis sekitar abad ke-4 SM oleh filsuf asal Yunani, Aristoteles. Muridnya di kemudian hari menyusun kembali karya-karya Aristoteles dan memberikan judul Metafisika kepada salah satu bukunya, karena konon buku itu ditempatkan pada bab persis setelah buku Aristoteles yang membahas fisika. Meta dalam bahasa Yunani artinya beyond atau melampaui, dan physika berarti yang fisik. Maka secara etimologi Metafisika dapat diartikan sebagai sesuatu yang ada setelah fisika.

Metafisika adalah kajian paling umum dalam filsafat. Dan filsafat adalah kajian paling umum dalam semua ilmu pengetahuan. Seperti apa kajian filsafat yang paling umum itu?

Metafisika berikhtiar untuk mencari tahu apa struktur mendasar/fundamental dari kenyataan. Kajian metafisika memperkarakan hal-hal yang umum seperti Apa itu ada? Apa saja yang ada? Apa makna ada? Kenapa yang ditanyakan itu yang ada bukannya yang tidak ada?

Dalam filsafat kontemporer yang berkembang di abad ke-20, utamanya oleh filsafat analitik, metafisika dibedakan dengan ontologi. Metafisika mengkaji makna ada, apa hakikat dari ada, sedangkan ontologi mengkaji apa saja yang ada itu. Contohnya: apa ontologi dari masyarakat? Berarti mengkaji apa saja yang ada dalam masyarakat. Tetapi apabila berbicara tentang metafisika masyarakat, maka kita mengkaji apakah hakikat dari apa saja yang ada dalam masyarakat itu. Tapi dalam tradisi filsafat kontinental Eropa daratan abad ke-20, pembagian tersebut tidak dikenal, dan biasanya istilah metafisika dan ontologi itu dapat digunakan bergantian dengan arti yang sama.

Hal tersebut hanyalah satu konvensi atau kebiasaan dalam menggunakan istilah metafisika dan ontologi. Sebagian membedakan, dan sebagian menganggap sama. Intinya, metafisika membahas bukan hanya masalah hakikat tapi juga segala macam pernak-pernik dari apa yang ada itu.

Kajian yang paling awal tentang metafisika ini dapat kita temukan dalam buku-buku atau dialog yang ditulis oleh Plato, salah satu filsuf dari Yunani Kuno yang menjadi guru dari Aristoteles. Dia menulis dalam beberapa dialognya, seperti Politeia, mengenai ide atau yang biasa disebut form atau bentuk. Dia berangkat dari persoalan sederhana: bahwa dunia yang kita lihat sekarang ini adalah dunia yang terus berubah, dunia yang ditandai oleh perubahan dan pergerakkan. Apa yang semua A menjadi bukan A, dst. Plato mempertanyakan sebetulnya di balik segala hal yang berubah dan bergerak ini apakah ada yang tetap dan kalau ada apakah itu?

Filsuf-filsuf Yunani Kuno awal, sekitar abad ke-5, biasa membahas tentang dasar dari segala sesuatu. Ada yang bilang bahwa dasarnya adalah air, yang tak terhingga, dst.

Bagi Plato, dasar dari segala sesuatu itu bentuk. Kalau kita abstraksikan segala objek yang ada di depan mata kita, kita buang warnanya, buang aromanya, kita akan sampai pada sifat dasar dari objek itu. Ini lah yang disebut Plato sebagai eidos atau ide. Ide ini bukan sesuatu yang ada dalam pikiran subjektif kita semata, ide hadir secara objektif dan inheren dalam objek yang kita pikirkan itu. Misal, di keseharian kita sering melihat segitiga dan persegi. Plato mempertanyakan dari berbagai bentuk segitiga dan persegi, pastinya ada definisi dasar yang membuat persegi itu persegi, dan segitiga itu segitiga. Persegi disebut persegi kalau objek itu memiliki panjang yang sama, dst. Dalam pencarian akar bentuk ini, Plato juga sampai pada pencarian hakikat dari bilangan. Kalau ada 2 roti, kalau ada 5 kerikil, maka apa yang disebut 2 dan 5? Kalau kerikil tidak ada di dunia ini apakah 5 objek kerikil tadi hilang? Kerikil tadi hilang, tapi apakah bilangan 5 hilang dengan kerikil itu? Ini lah yang dipertanyakan Plato.  

Bilangan adalah wujud lain yang Plato sebut sebagai idea atau bentuk. Bentuk atau ide tidak lekang oleh waktu, sifatnya atemporal, tidak berurusan dengan segala hal perubahan di dunia ini. Dia dapat kita ibaratkan sebagai cetakan dasar atau blue print yang menjadi dasar di dunia ini.

Pemikiran Plato diteruskan oleh filsuf di abad berikutnya. Seperti di abad Renaissance (abad ke-15 & 16) kita mendengar pemikir seperti Galileo yang memisahkan antara kualitas primer dan kualitas sekunder. Kualitas sekunder adalah kualitas itu adalah sifat-sifat objek yang ada ketika ada pengamat. Misalnya, warna dan aroma. Sifat itu ada ketika ada pengamat yang melihat dan membaui. Ketika tidak ada makhluk hidup yang mencium aroma atau melihat warna itu maka keduanya tidak ada. Lain halnya bentuk geometri, bahwa segala rasio matematis dalam benda-benda itu disebut kualitas primer. Kualitas primer merupakan unsur pembentuk dasar dari alam semesta kenyataan kita ini. Dia tidak mengalami perubahan, tapi menjadi cetakan dasar alam semesta. Temuan Galileo ini dibuktikan oleh temuan sains modern, seperti: apa yang disebut warna hanyalah panjang gelombang, apa yang membedakan warna merah dan biru adalah panjang gelombangnya. Dan panjang gelombang adalah sesuatu yang matematis berurusan dengan bilangan/rasio.

Jadi, sebetulnya objek atau sifat-sifat objek yang tetap yang berada di dalam kenyataan itu sendiri secara objektif, terlepas dari persepsi kita tentangnya, adalah hal-hal yang berhubungan dengan ukuran matematis.

Pemikiran dengan corak ini terus berlanjut hingga sekarang. Banyak filsuf kontemporer, utamanya filsafat analitik, yang memberikan tempat khusus bagi matematika dalam metafisika. Karena matermatika membahas aspek secara umum, hal itu mendekatkan dengan metafisika. Jembatan matematika dan metafisika biasanya diwujudkan dalam bentuk logika. Dalam tradisi filsafat analitik yang berkembang di abad ke-20, ada segitiga emas yang menghubungkan metafisika, matematika, dan logika. Perubahan kecil dalam metafisika, akan mempengaruhi matematika dan logika. Berbeda dengan tradisi filsafat kontinental abad ke-20. Metafisika biasanya dikaitkan dengan kajian sosial-humaniora. Dalam tradisi yang berkembang dalam mahzab Heideggerian, metafisika dikaitkan dengan persoalan seperti eksistensi diri. Menurut Heidegger, pertanyaan tentang makna ada hanya akan mungkin dijawab apabila kita melakukan introspeksi terhadap kita sebagai makhluk yang mengada di dunia ini. Kita manusia sebagai dasein, makhluk yang mempertanyakan tentang ada. Dalam analisisnya, Heidegger mempersoalkan hubungan seorang dengan masyarakat di sekitarnya. Dalam bukunya Being and Time atau Sein und Zeit, kita akan melihat perhatian Heidegger pada sifat-sifat hidup yang otentik. Hidup otentik berarti hidup sepenuhnya tulus mengikuti panggilan ada dalam dirinya, tidak patuh pada perintah orang lain semata ada perintah, tapi pertama-tama patuh pada apa yang muncul pada dirinya. Analisis ini dikembangkan ke dalam konteks tinjauan yang psikologistik, artinya dalam analisis Heidegger, persoalan metafisika pada akhirnya adalah persoalan bagaimana manusia bertanya tentang ada.

Tentu ada perbedaan pemikiran Heidegger pada fase Being and Time dan fase akhir hidupnya. Pada akhir periode akhir hidupnya dia lebih mendalami puisi dan karya sastra (romantik Jerman), lalu ia mendalami bentuk ketersingkapan ada. Menurutnya ada itu tersingkap melalui puisi (tradisi Yunani Kuno, Jerman romantik, dst.). 

Kalau kita mau membandingkan metafisika dan ontologi dalam konteks filsafat kontemporer, kita perlu membicarakan juga Willard van Orman Quine, filsuf Amerika yang hidup dan aktif di pertengahan abad ke-20 hingga paruh akhir abad ke-20. Dia menulis artikel On What There Is tentang apa yang ada. Dalam artikel itu dia mengetengahkan pandangan, bahwa urusan utama dari ontologi adalah membicarakan apa saja yang ada dalam teori tertentu. Persoalan tentang ada hanya punya makna ketika kita bicarakan dalam kaitannya dengan suatu teori tertentu. Misalnya, fisika berbicara elektron, maka di dalam teori fisika, elektron harus dianggap ada. Hal ini disebut komitmen ontologis. Kalau suatu teori keberhasilannya ditentukan oleh keberadaan dari objek yang dipostulatkan, maka teori itu berkomitmen secara ontologis pada keberadaan objek itu. Dalam arti itu, maka ontologi adalah perkara akuntansi. Kita menghitung apa saja objek yang masuk ke dalam teori kita dan kita harus mengasumsikannya sebagai ada.

Tetapi banyak juga persoalan metafisika kontemporer yang melampaui urusan yang bisa dibicarakan oleh Quine. Sebagai orang yang tumbuh di lingkungan yang positivistik di pertengahan abad ke-20, Quine tidak bisa merambah lebih lanjut membahas persoalan merely possible objects. Ontologinya hanya memberikan ruang pada objek yang jelas-jelas dinyatakan oleh suatu teori.

Dalam tradisi analitik paling baru, persoalan metafisika diajukan melampaui apa yang mungkin dibahas oleh Quine, seperti mengenai objek yang mungkin ada tapi tidak pernah ada: dunia yang mungkin (possible worlds), suatu dunia di mana terdapat objek yang di dunia kita tidak ada, seperti gunung dari emas, gajah berwarna pink. Dunia mungkin yang tidak ada di dunia ini. Yang dibahas ontologi Quine adalah objek yang mungkin dikenali secara empiris, sedangkan kita tidak pernah mengenali secara empiris bahwa gunung terbuat dari emas atau gajah pink.

Dunia yang mungkin menjadi isu yang penting dalam tradisi filsafat kontemporer karena dari situlah kita bisa membicarakan tentang keniscayaan dan kemungkinan dari sesuatu. 

Sesuatu disebut niscaya (necessary) kalau dia berlaku di seluruh dunia yang mungkin. Necessary = True in all possible worlds. Dan sesuatu disebut mungkin kalau dia hanya berlaku di salah satu dunia yang ada. Possible = True in some posibble worlds.


Salah satu cara untuk mengukur klaim keniscayaan suatu proposisi adalah membandingkan dengan seluruh dunia yang mungkin ada. Kalau dia berlaku di seluruh dunia yang mungkin maka ia niscaya, kalau gagal di salah satu dunia, maka dia adalah proposisi mungkin.

Berbeda dengan itu, metafisika dibahas dalam kaitannya dengan politik seperti yang dilakukan oleh Alain Badiou, filsuf dari Prancis. Ia menghubungkan permasalahan ada dengan persoalan emansipasi dalam konteks gerakan sosial, seperti yang tertera dalam bukunya Being and Event.


Featured images: Dall-E! ⭐️


Categories

error: Sorry, content is protected!