Tumpeng sebagai Kuliner Sakral bagi Masyarakat Sunda

Posted

by


Tumpukan nasi kuning yang dibentuk kerucut seperti puncak gunung, lalu dihiasi dengan telur rebus, sayuran seperti tomat, kemangi, mentimun, dan juga lauk-pauk seperti tumis kentang, ayam goreng, perkedel, dan urap, awug di sekelilingnya. Itu lah tumpeng. Bentuk kerucut atau puncak gunung diyakini sebagai lambang gunung adat–yang sakral–yang dianggap keramat dan karenanya dihormati dengan sangat.

Tumpeng, bukan sekadar makanan dengan tampilan unik menggugah selera, tapi juga diyakini sebagai bagian yang tidak dapat dilupakan dari setiap perayaan atau acara sakral dalam tradisi masyarakat Sunda. Misalnya, upacara syukuran selamatan, ulang tahun, kumpul keluarga, termasuk ritual keagamaan. Tradisi menyediakan tumpeng pada setiap acara penting, kiranya telah ada sebelum agama Islam tersebar di Pulau Jawa. Bahkan, tersebar di wilayah Nusantara, khususnya area pulau Jawa Dwipa dan Bali. 

Dalam Serat Centini, tumpeng disebut identik dengan tradisi bancakan, atau makan bersama ketika acara penting (Haryono, 1998). Dalam tulisan Makanan Tumpeng dalam Tradisi Bancakan (2019) yang dikutip VOI (2020), M. Zein Ed-Dally menuliskan bahwa tumpeng telah disebut dalam naskah kuno seperti sastra Ramayana, Arjuna Wijaya, dan Kidung Harsa Wijaya.

Kita bisa lihat pemaknaan akan tumpeng pada dua versi. Pertama, datang dari kepercayaan Kapitayan, yang diyakini sebagai keyakinan baheula masyarakat yang tinggal di bumi Nusantara, yang beribadah kepada Sang Hyang Taya. Konon, spesifiknya itu di wilayah yang sekarang adalah puau Jawa. Sang Hyang Taya sendiri bermakna kosong, suwung, awang-awang, uwung-uwung. Penganut kepercayaan Kapitayan percaya bahwa terdapat daya kekuatan Sang Hyang Taya pada suatu titik tertentu, contohnya melalui sesajian tumpeng. Mengutip tulisan di situs Etnis (2020), pada webinar Sarasehan Tumpeng, Wira Hadiansyah atau Chef Wira menjelaskan bahwa umat Kapitayan juga meyakini bahwa Sang Hyang memiliki sifat Tu dan To, atau kebaikan dan ketidakbaikan. Sifat Tu dipercaya hadir pada berbagai benda yang mengandung kata Tu seperti, wa-Tu (batu), Ra-Tu, Dha-Tu. Termasuk sesajian seperti Tu-ak, Tu-kung (ayam), termasuk Tu-mpeng. Pada masyarakat suku Jawa sendiri, tumpeng berarti singkatan dari istilah tumapaking panguripan-tumidak lempeng tumuju Pangeran, atau artinya, tertatanya hidup-berjalan lurus-kepada Tuhan. Kedua, datang dari kepercayaan Sunda Wiwitan, yaitu kepercayaan masyarakat Sunda yang percaya pada kekuatan alam dan leluhur yang menyatu dalam alam. Mereka percaya bahwa gunung merupakan hasil dari perkawinan atau sinergi antara matahari yang disebut Batara Guru dan dunia tengah, dunia manusia, yang disebut Dewi Bumi. Karenanya, gunung dianggap tempat sakral yang harus dihormati. Gunung juga dianggap sebagai Sang Hu Taruma Para Hyang atau tempat tinggal atau bersinggahnya sang Hyang atau Dewa-Dewi dengan sifat Hyang. Tumpeng menjadi representasi makro-kosmos, melalui bentuk gunung, yang dijadikan medium menghormati alam semesta.

Tri tangtu dalam Tumpeng

Pada mulanya dalam tradisi masyarakat Sunda, asal usul penciptaan atau kosmologinya memiliki pola tiga, tri tangtu, tiga ketentuan. Dalam Sang Hyang Siksakandang Karesian (1518), berbunyi, “Ini tri tangtu di bumi, Bayu pinahka prebu, sabda pinahka rama, hedap pinahka resi” atau inilah tiga ketentuan di dunia, kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi (Sumardjo, 2019). Hari ini, orang Sunda mengenal tri tangtu itu dalam konsep tekad, ucap, dan lampah. Kesatuan tri tangtu ini, bersumber dari konsep tiga Barata yang hadir dan ada pada dunia material dari satu Barata yang tidak ada dan tidak hadir karena bersifat spiritual. Dari kosong, muncul tiga Batara, yakni Batara Kersa (kehendal, will), Batara Kawasa (tenaga, power), dan Batara Karana (pikiran, mind). Ketiga Batara yang dapat diketahui ini merupakan manifestasi Batara Tunggal yang Esa yang tidak dapat diketahui. Biasanya konsep tri tangtu ini oleh masyarakat adat kasepuhan Banten Kidul disebut tilu sapamilu (tiga berbarengan), dua sakarupa (dua sama rupa), hiji éta kénéh (satu yang itu juga) (Sumardjo, 2019). Pada pola tiga diperlukan singer tengah yang dapat mengharmonikan dualitas yang bertententangan. Contohnya: representasi konsep tiga dunia, dunia atas atau langit  berpasangan dengan dunia bawah atau bumi, dan diharmonikan oleh dunia tengah atau dunia manusia.

Tiga ketentuan ini berlaku tidak hanya berkaitan dengan asal usul semesta dan manusianya, tapi juga muncul pada setiap laku-lampah, bentuk kabuyutan, barang yang digunakan, sesajian, hingga kuliner atau kudapannya. Selain konsep filosofis tumpukan nasi berbentuk kerucut, pada tumpeng kita akan menemukan beragam kumpulan olahan masakan yang merepresentasikan tri tangtu. Ketika representasi itu dimakan bersama, maka tumpeng tidak hanya media penghormatan alam, tapi juga sebagai axis mundi, atau medium berlangsungnya relasi yang berkelanjutan dengan leluhur, dan sang Hyang yang spiritual sekaligus material.


Referensi

Gadzali, Nadya. “Tumpeng, Tradisi Kapitayan yang Terus Dilestarikan.” Etnis – Warta Identitas Bangsa, 26 December 2020, https://etnis.id/tumpeng-tradisi-kapitayan-yang-terus-dilestarikan/. Accessed 13 June 2022.

Haryono, Timbul. “Serat Centhini sebagai Sumber Informasi Jenis Makanan Tradisional Masa Lampau.” Humaniora, vol. 8, 1998, pp. 92-98.

Sumardjo, Jacob. Struktur Filosofis Artefak Sunda. Bandung, Kelir, 2019.VOI. “Sejarah Tumpeng: Sudah Ada Sejak Agama Samawi Belum Masuk ke Nusantara.” VOI.id, 30 November 2020, https://voi.id/memori/21452/sejarah-tumpeng-sudah-ada-sejak-agama-samawi-belum-masuk-ke-nusantara. Accessed 16 June 2022.

Featured image: Etnis.id


Tags

error: Sorry, content is protected!