Mengada di antara Neoliberalisme dan Developmentalisme: Menyingkap Arche dan Telos Perekonomian Indonesia di Masa Depan

Posted

by

Draft tugas mata kuliah Filsafat Uang [mengulas ceramah Sri Mulyani dan prospek ekonomi Indonesia di pemerintahan baru Prabowo-Gibran].

Negara yang makmur setidaknya ditandai dengan pendapatan nasional yang meningkat dan kemiskinan ekstrem yang menurun. Alokasi sumber dayanya juga diatur sedemikian rupa untuk mendukung kedua hal tersebut. Sumber daya manusia dibangun agar menjadi individu-kolektif dengan kapabilitas dan produktivitas yang meningkat dan sumber daya alam diatur penggunaannya untuk kemaslahatan bersama. Idealisasi ini dapat dimungkinkan terjadi dengan cara negara hadir di tengah-tengah masyarakat, kemudian aktif dalam pemenuhan hak-hak warganya dalam mengakses program-program pemerintah yang mendukung eksplorasi kemampuan mereka. Negara juga perlu aktif dalam proses kultivasi alam yang sumber dayanya digunakan agar dapat hidup berkelanjutan. 

Kira-kira poin di atas merupakan bagian dari ceramah yang diberikan oleh Sri Mulyani (SM), Menteri Keuangan Republik Indonesia, di seminar nasional yang diadakan oleh Jesuit Indonesia pada Kamis, 30 Mei 2024.[1] Ceramah dengan judul Prospek Ekonomi Indonesia di Era Pemerintahan Baru: Tantangan, Peluang, dan Catatan ini menekankan bagaimana negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat mendukung peningkatan produktivitas manusia dan pembangunan institusi yang memiliki integritas. Kedua hal ini penting agar suatu negara dapat memiliki resiliensi tinggi di hadapan disrupsi-disrupsi kompleks atau fragmented (e.g inflasi karena Covid-19, perang Ukraina-Rusia). Juga, dapat menghindari/meminimalisir risiko sumber daya manusia (SDM) yang menjadi tanggungan (liability) dalam persoalan kesehatan, pendidikan, hingga jaminan sosial. 

Bagaimana negara melalui APBN dapat membangun manusia dan institusinya? Pesan apa yang ingin disampaikan SM berkaitan dengan prospek ekonomi Indonesia di pemerintahan baru Prabowo-Gibran? Pijakan ideologi ekonomi apa yang sebenarnya ingin dituju oleh Indonesia di masa depan?

Manusia dan institusi yang memiliki integritas

SM membuka ceramahnya dengan memaparkan kondisi perekonomian global yang ia sebut kompleks dan dinamis. Dalam hal ini, merujuk pada kondisi seperti inflasi yang terjadi karena disrupsi-disrupsi geopolitik global-regional. Contohnya, inflasi AS pasca depresi tahun 70/80an membuat Indonesia harus menaikkan suku bunga hingga 18%. Lalu, pengaruh pasca Covid-19 menyebabkan daya beli masyarakat yang menjadi berlebihan. Dan, dampak perang Ukraina-Rusia menyebabkan naiknya harga minyak goreng. Disrupsi-disrupsi ini mendorong pembuat kebijakan untuk tanggap merespons. Sebab, dunia yang SM sebut menjadi semakin fragmented ini sudah masuk ke dalam tahap perubahan aturan yang cepat sekali. Aturan A hari ini, mungkin besok menjadi aturan B, C, D, E? Kelengahan dalam efektivitas merespons hanya akan membuat perekonomian nasional melemah. 

Respons yang perlu diupayakan adalah yang dapat mengambil kesempatan dalam kompleksitas permasalahan ekonomi global. Menurut SM, pembangunan industri menjadi salah satu cara agar Indonesia dapat mengambil keuntungan dari disrupsi yang terjadi. Dengan adanya industri, lapangan pekerjaan menjadi terbuka lebar dan masyarakat memiliki kesempatan untuk memperbaiki kualitas melalui ladang pekerjaan yang tersedia. 

Bagi SM, manusia sebagai potensi tidak dapat berdiri sendiri tanpa institusi. Dengan catatan, institusi juga tidak borok dengan korupsi dan birokrasi yang lambat dan menghambat. Oleh karena itu, debirokratisasi menjadi kunci. Ini menjadi logika yang SM gunakan untuk menjustifikasi pembangunan manusia dan institusi agar memiliki integritas. Arche yang digunakan adalah a la ideologi developmentalisme, yakni APBN perlu digunakan untuk investasi research & development (RnD) yang berkaitan dengan peningkatan keterampilan manusia. Kemudian telos-nya adalah untuk menopang industrialisasi. 

Industrialisasi tidak bisa tumbuh tanpa masyarakat industri; yang berpijak pada 1) kebebasan dan kemandirian tiap individu, 2) kemampuan dalam melakukan transaksi––memilih secara rasional––tanpa pengaruh pihak luar, 3) berpikir untuk kepentingan diri, 4) menempatkan produksi bukan untuk pemenuhan kebutuhan tapi kepentingan pertukaran, 5) keleluasaan pasar/swasta dalam berdagang melalui pasar bebas, 6) sains & teknologi dikembangkan untuk industrialisasi produk masal, 7) kesejahteraan individu dan umum yang dimungkinkan oleh aktivitas ekonomi yang kapitalistik.[2] Maka masyarakat industri berikut industrialisasi tidak dapat berdiri tanpa pasar. Dalam hal ini, mengutip SM, pasar tidak menyelesaikan persoalan inklusivitas dan keadilan sosial. “Market hanya kerja untuk efisiensi. Alokasi resources.” Demikian SM menambahkan. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan keadilan sosial yang dihasilkan oleh industrialisasi perlu dipahami dari perspektif lain.

Kritik terhadap rasionalisasi masyarakat industri telah dilakukan oleh Sekolah Frankfurt. Seperti mengutuk penggunaan rasio a la positivistik yang memosisikan sesama dan alam sebagai yang boleh dipinggirkan untuk akumulasi kapital, hingga memetakan bagaimana destruktifnya penggunaan teknologi sebagai medium penguasaan.[3] Atau kita bisa belajar dari kritik terhadap (masyarakat) industri melalui perspektif bermuatan lokal. Contoh, suku Samin pernah melawan pabrik semen yang akan dibangun di wilayahnya karena ancaman merusak alam. Pabrik semen tersebut bisa merusak 48 dari 87 mata air di pegunungan Kendeng. Dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh suku Samin tapi masyarakat Jawa Tengah secara umum.[4] Kritik mereka tidak lepas dari ‘wejangan’ yang dihayati oleh mereka sebagai masyarakat adat yang dekat dengan alam. Kita juga bisa mencontoh pada wejangan yang datang dari masyarakat adat Baduy. Melalui filosofi Tri Tangtu, mereka mengkultivasi alam agar berkelanjutan bukan hanya alasan bertahan hidup tapi juga sekaligus bentuk penghormatan terhadap Sang Hyang, Batara Tunggal. Spirit ‘Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku’ menjadi pijakan dalam menghormatinya. Kritik Sekolah Frankfurt (sisi ilmiah) dan masyarakat adat (sisi non-ilmiah) terhadap industrialisasi telah menegaskan bahwa industrialisasi gagal karena penghirauan/menghiraukan inklusivitas dan keadilan bagi sesama dan alam.

Namun apakah ekonom-pemerintah mendengar atas kritik ini? Industrialisasi seringkali hanya dapat dimungkinkan ketika menggunakan moda utilitarianistik yang mengancam. Logika yang dipakai juga mengikuti obsesi profit belaka: untuk kas negara atau swasta. Justifikasi kemaslahatan umum tidak pernah menghiraukan yang dipinggirkan oleh industri. Sekalipun terdapat kelompok ilmuwan dan masyarakat yang memberikan kritik, aktor yang tamak cenderung menutup telinga. Atau, kemudian eksploitasi muncul dengan cara/bentuk subtil. Menggunakan istilah-istilah yang dianggap berkonotasi baik padahal tetap berpijak pada pola pikir dan laku yang kapitalistik-eksploitatif. Masyarakat tetap menjadi objek dalam realitas yang hiper-konsumtif. Green economy, green capitalism? Sama-sama mendorong orang untuk memiliki prinsip ‘Aku belanja, maka Aku ada.’[5] Aku tanpa aktivitas ekonomi (konsumsi) bukanlah Aku yang ada. Seolah-olah dirinya hanya otentik ketika berbelanja. Totalisasi ekonomi dianggap menunjukkan keberdayaan.

Herry Priyono pernah membahas bahwa manusia sebagai homo economicus tidak memosisikan aktivitas ekonomi sebagai totalitas dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi Priyono, totalisasi (utilitarian) makhluk sebagai makhluk ekonomi adalah kesesatan. Lantas apabila homo economicus menabrak batas-batas ini maka ia tidak lebih dari sekadar memangsa dan menjarah kehidupan.[6] Fokus pada sumber pendapatan––melalui industri––dengan cara justifikasi peminggiran sektor atau aspek lain (inklusivitas) seharusnya tidak menjadi acuan karena akan memakan korban.

SM memang berpendapat sebagai ekonom-negarawan: manusia dan institusi perlu dikembangkan dalam rangka menopang industrialisasi, yang mana memperkuat ketahanan negara. Market membantu efisiensi. Yang memiliki integritas berarti adalah ia-mereka yang diberikan kesempatan untuk berkembang-dibangun untuk mendukung industrialisasi. Namun, perlu diingat, poin bahwa industrialisasi telah memakan banyak korban sepatutnya menyadarkan bahwa program-program pembangunan manusia dan institusi adalah yang tidak boleh meminggirkan aspek inklusivitas. Maka yang memiliki integritas berarti bukan sekadar berkiblat pada efisiensi aktivitas ekonomi.

Membangun manusia melalui makan gratis dan hilirisasi

Membangun manusia tidaklah mudah. Ia memerlukan anggaran besar dan institusi yang reliable dalam mengelolanya. Tentu, SDM sebagai subjek pembangunan juga musti memiliki komitmen dalam keterlibatannya. Makan gratis sebagai salah satu program pemerintahan baru Prabowo-Gibran, sebut SM, dapat membantu pembangunan manusia yang berkualitas. Makan gratis bagi ibu hamil akan membantu menghapus-meminimalisir stunting, sehingga anak-anak akan tumbuh dengan sehat. Makan gratis untuk murid-murid sekolah dari mulai pra-SD, SD, SMP, SMA, termasuk yang di pesantren, juga digadang dapat membantu memperbaiki gizi tumbuh kembang anak. Konon, makan siang gratis juga akan diberikan kepada para guru yang berpenghasilan rendah. Spirit yang menjadi acuan adalah agar kualitas hidup masyarakat membaik.[7]

Kemudian melalui hilirisasi, diharapkan ketahanan kolektif semakin tinggi. Selain karena terjadinya pemanfaatan komoditas lokal, pendapatan negara juga dimungkinkan surplus. Menurut SM, “Indonesia dengan hilirisasi menciptakan surplus neraca perdagangan yang lebih besar. Sehingga menciptakan ketahanan lebih tinggi.” Di era Jokowi, program hilirisasi pertambangan menjadi primadona. Salah satunya karena pada tahun 2022, nilai hasil ekspor dari hilirisasi nikel mencapai US$ 33,81 miliar atau Rp504,2 triliun. Investasi dari Hongkong, Singapura, dan Tiongkok tahun 2021-2023 untuk hilirisasi besi, baja, dan nikel juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Karena track record ini, Prabowo dalam debat Capres menyinggung akan melanjutkan program hilirisasi era Jokowi apabila menjadi Presiden terpilih.[8] 

SM memetakan prospek ekonomi di pemerintahan baru Prabowo-Gibran, dengan kuncian program-program tersebut sebagai medium menuju kesejahteraan masyarakat. Arche yang digunakan tetap developmentalisme: investasi membangun manusia melalui makan gratis dan hilirisasi. Telos-nya masyarakat memiliki ketahanan dan menjadi berdaya. Catatan penting soal hilirisasi yang mendukung industrialisasi: hal tersebut dipermudah oleh Omnibus Law/UU Cipta Kerja.[9] 

Dampak kuantitas dari hilirisasi memang membanggakan. Ia memungkinkan distribusi pendapatan dan penerimaan manfaat yang lebih terdesentralisasi, sekalipun diatur pusat. Tapi bagaimana dengan kualitas? Andry Satrio Nugroho, ekonom sekaligus kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut bahwa kualitas investasi harus dilihat dari 2 aspek. Pertama, investasi yang baik adalah yang memperluas lapangan pekerjaan. Kedua, investasi harus juga meningkatkan mutu lingkungan. Menurut Andry, hilirisasi era Jokowi (atau dalam hal ini yang dipromosikan Jokowi-Gibran), tidak mengindahkan keduanya. Pekerjaan tradisional di sekitar locus hilirisasi menjadi hilang karena pekerjaan yang sama sekali baru. Alam juga dikorbankan. Seperti terjadinya ekosida di kawasan nikel: sawah sulit ditanami karena tanahnya tersedimentasi oleh limbah, nelayan juga kesulitan menangkap ikan karena alasan yang sama.[10]

SM dalam ceramah memang tidak membahas lebih lanjut mengenai bagaimana strategi atau prospek ekonomi berkaitan ini. Apakah tetap benar-benar sekadar fokus pada efisiensi? Apabila jawabannya iya, maka soal inklusivitas dan keadilan sesama dan alam masih menjadi catatan penting.

Antara developmentalisme dan atau neoliberalisme? 

Bagi mazhab pemikiran developmentalisme, intervensi pemerintah––atau negara hadir––menjadi faktor penting bagi suatu negara berkembang apabila ingin menjadi negara maju, dalam hal ini menuju makmur/otonom, atau dalam bahasa SM menuju negara dengan pendapatan tinggi.[11] Intervensi tersebut dapat dilakukan melalui kebijakan-kebijakan yang mengatur regulasi tarif impor, subsidi, hingga substitusi impor. Aktivitas manufaktur dan industri tahap awal (industry infant argument)[12] didukung oleh pemerintah (Chang, 2014). Sehingga, negara memiliki surplus pendapatan yang dapat dialokasikan kembali untuk peningkatan kapabilitas manusianya (e.g program Prakerja, program dana desa, subsidi keluarga prasejahtera) dan pengembangan industri lokal (e.g Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau UMKM).

Negara dengan arche developmentalisme akan cenderung menolak pasar bebas karena ditakutkan akan merusak tatanan perekonomian nasional. Seperti yang Chang (2014) sebut, “Backward economies can’t develop if they leave things entirely to the market.” Atau yang dibahas Feith (1981), “Developmentalism is driven by the idea that the task of the state is to achieve fast development to overcome . . . backwardness and catch up with advanced countries.” Negara berkembang, atau negara dengan backward economies, membangun negaranya dengan masif agar bisa setara dengan negara maju. Atau, bisa saja negara berkembang ini membangun terlebih dahulu perekonomiannya, dan ketika sudah mampu bersaing di kancah global, mungkin bisa percaya pada pasar. Atau, kombinasi? Bisa saja negara yang developmentalis tetap memperbolehkan diri terlibat dengan pasar dengan limitasi tertentu.

Indonesia yang berstatus negara berkembang, cocok untuk dikatakan berpijak pada paradigma developmentalis dalam menggerakan perekonomian nasional. Meskipun biasanya tetap dimodifikasi sesuai kekhasan tiap kepemimpinan. Di era Suharto, developmentalisme yang digunakan adalah bentuk repressive developmental state, di mana laku utilitarianistik (read: pengabaian hak asasi manusia) dijustifikasi demi kemakmuran ekonomi masyarakat umum. Kooptasi kelompok apapun bisa dilakukan demi percepatan ekonomi nasional. Nasionalisme yang otoritarian-militeristik menjadi bagian dari arche-nya.  “The state (di bawah rezim Suharto) justified its co-optation of societal groups and repression of political dissent in the name of accelerated economic development.” (Feith, 1981). 

Rezim Jokowi juga menggunakan developmentalisme sebagai arche perekonomian nasional, namun tidak represif seperti Orde Baru Suharto. Cenderung konservatif. Utamanya dalam debirokratisasi dan deregulasi kebijakan demi mempercepat pembangunan infrastruktur. Pijakan yang diusung oleh Jokowi disebut-sebut sebagai agenda neo-developmentalisme. Konsolidasi kekuasaan dan efisiensi birokrasi adalah kunci; sekaligus dalam rangka mendukung perekonomian nasional dan proses industrialisasi.[13] Developmentalisme anti terhadap pasar bebas, namun di era pemerintahan Jokowi, kebaruan developmentalisme cenderung menyetujui kebijakan-kebijakan yang berorientasi pasar. Seperti yang telah dibahas di bagian pertama: investasi sektor privat dipermudah izinnya agar pembangunan infrastruktur nasional dapat terus berjalan. Sebenarnya, terdapat laku-laku ekonomi rezim Jokowi yang sejalan dengan arche ekonomi neoliberalisme. Yakni, reformasi perekonomian nasional melalui UU Cipta Kerja. Deregulasi dan privatisasi pun didukung dengan dalih kepentingan bersama (lapangan kerja, kas negara).[14] Dengan neoliberalisme, negara dapat memberlakukan kondisi-kondisi minimum agar individu tetap terproteksi untuk menggunakan kepemilikan pribadinya (laissez faire, seperti liberal klasik), juga tetap menerima bank-bank melakukan monopoli (liberal klasik menolak ini). Negara dengan arche neoliberalistik memiliki tujuan melindungi kepemilikan pribadi dan pasar bebas meskipun harus mengorbankan demokrasi (Chang, 2014). Apabila merujuk pada strategi ekonomi luar negeri, mengutip laporan Trade Knowledge Network (TKN) berjudul A Dirty World? Neo-liberalism in Indonesia’s foreign economic policies (2011), para pembuat kebijakan memang menunjukkan Indonesia semakin mengendors ideologi neoliberal. Di era Jokowi terjadi normalisasi rezim sumber finansial (juga menambah/akumulasi utang negara) melalui Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Foreign Direct Investment (FDI). Deregulasi ini terjadi dan membentuk persepsi pemerintah yang pro terhadap investor asing dengan moda dominasi kapitalistik-eksploitatif.[15]

Ideologi neoliberal sebenarnya tidak begitu cocok dengan prinsip-prinsip Indonesia, seperti merujuk pada prinsip gotong royong, prinsip kekeluargaan, atau UUD 1945 secara umum.[16] Individualisme dan pertukaran pasar dalam mencapai kemakmuran menjadi tidak relevan. 

Kalau memang betul bahwa neoliberalisme menjadi arche perekonomian yang Jokowi pakai, maka hal ini menemui ambivalensinya di dalam ceramah SM yang justru mengutuk ekonomi neoliberal. SM menyebut ekonomi neoliberal dapat menjadi penyebab kelompok marginal tidak mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, ataupun jaminan sosial. SM pun menegaskan hal ini dengan mengutip Paus Fransiskus (2020) tentang wajibnya kita memilih jalur yang mengarah pada perdamaian dan menolak jalur lain yang menekankan proteksionisme/individualisme yang mana akan mengucilkan orang-orang miskin dan rentan.[17] Kemudian, SM mengutip cerita dari Lukas 19 di mana negara mungkin mirip dengan Zakheus yang ‘mengambil’ pajak dari orang-orang untuk nantinya juga dikembalikan pada orang-orang yang membutuhkan. Lalu, SM mengutip Paus Yohanes Paulus ke-2 tahun 1991 yang menegaskan bahwa negara berkewajiban menjamin kebaikan bersama masyarakatnya.[18] 

Kutipan ketiga hal ini menegaskan bahwa SM pro terhadap masyarakat marginal dan kontra terhadap ekonomi neoliberal. Tapi apabila melihat SM dan Jokowi sebagai satu kesatuan (aparat pemerintah), maka keduanya telah saling mengkontradiksi apa yang diucap dan apa yang dilakukan. 

Penutup: arche dan telos ekonomi Indonesia di masa depan yang kompleks?

Program-program pemerintah seperti subsidi, investasi RnD, hingga substitusi impor, menjadi kunci bahwa Indonesia––selain dicirikan sebagai negara berkembang––memang menggunakan developmentalisme sebagai arche perekonomiannya. Tanpa korupsi dan utang yang merugikan mungkin hal ini paling mendekati dengan prinsip gotong royong yang diupayakan oleh UUD 1945/Pancasila. Tapi, dengan munculnya aturan-aturan seperti Kerja Sama Operasi (Suharto) dan Omnibus Law/UU Cipta Kerja, juga menunjukkan bahwa Indonesia juga ‘sesekali’ memakai neoliberalisme sebagai arche-nya

Dari repressive developmental state, lalu neo-developmentalisme, keduanya mengawinkan diri dengan pasar dengan beberapa limitasi (pemerintah tetap ikut campur, bagaimanapun). Ingat ketika TikTok Shop ditutup karena alasan bukan terdaftar sebagai e-commerce? Mereka kembali dibuka ketika setuju dengan permintaan Indonesia untuk menggandeng Tokopedia sebagai rekanan lokal e-commerce. Pemerintah tetap menjadi aktor utama mengatur aktivitas ekonomi dan tidak membiarkan pasar memegang kendali.

Di pemerintahan baru, Prabowo sudah klaim bahwa akan menggunakan ekonomi Pancasila sebagai arche-nya. Ia sebut ekonomi Pancasila dalam konteks penggabungan ekonomi kapitalisme dan sosialisme. Alasannya, menurut Prabowo, selama ini kekayaan Indonesia tidak dinikmati oleh kita sendiri karena terjadi net outflow national wealth. 

Menjadi berdikari memang merupakan telos apapun bentuk isme yang dipakai. Tapi bagaimana bisa berdikari ketika tidak menghiraukan inklusivitas? Kritik terhadap arche ekonomi yang menihilkan hal tersebut bisa menjadi pembelajaran. Bahkan kita mendapati ‘kemewahan’ dengan ragam local wisdom yang dapat membantu bagaimana caranya membangun manusia dan institusi yang memiliki integritas: aktivitas ekonomi jangan sampai melupakan kultivasi alam. 

Saya kira, modifikasi arche ekonomi memang harus dilakukan. Dalam arti, melihat kontekstualisasi ruang. Di wilayah yang sudah kepalang mengalami industrialisasi, mungkin memang neoliberalisme menjadi kunci? Tapi di wilayah yang mengedepankan asas kolektif, mungkin arche ekonomi gotong royong/Pancasila yang seharusnya dipertahankan? Yang perlu dihindari adalah modifikasi arche dengan maksud mengelabui. Contoh: menyerapahi neoliberalisme tapi mengesahkan aturan persis dengan spirit neoliberalistik.

Catatan hitam ekses dari aktivitas ekonomi yang eksploitatif telah dipegang masing-masing rezim. Prospek ekonomi Indonesia di masa depan juga sudah direncanakan. Yang neoliberal mungkin tidak tertulis dalam rancangan. Tapi bagaimana dengan tindak tanduk kebijakan? Semoga wejangan dari Paus Fransiskus dan Paus Yohanes Paulus ke-2 yang dikutip SM juga jadi catatan pembelajaran untuk ekonomi Indonesia di masa depan.

[]


Catatan Kaki

  1. Rekaman ceramah dapat disaksikan di YouTube Kompas melalui tautan https://www.youtube.com/watch?v=ig27p6jSWjk (2024).
  2. Selanjutnya dalam ECF 17 April 2015 yang dipaparkan oleh Stephanus Djunatan berjudul Kultur Masyarakat Industri dan ideologi Ekonomi Kritik Sekolah Frankfurt terhadap Masyarakat Industri Modern. Hal. 2-4.
  3. Ibid. 7.
  4. Di https://news.detik.com/berita/d-924481/warga-samin-tolak-pembangunan-pabrik-semen-gresik
  5. Suatu waktu, orang-orang berlomba mengganti sedotan plastik dengan sedotan besi dengan dalih go green. Hingga sampai waktu di mana hajatan pernikahan atau acara penting apapun itu, juga menggunakan sedotan besi sebagai salah satu souvenirnya. Berapa orang yang kemudian memiliki sedotan besi di rumah lebih dari 2, 3, 4, 5 buah? Kapitalisme tidak peduli terhadap sedotan macam apa yang kita gunakan. Selama apapun itu tetap kita beli, pemasaran go green (tanpa betul-betul menyadari makna) bisa dilakukan. Pernah juga suatu waktu, viral foto kura-kura yang hidungnya tersumbat sedotan plastik. Orang-orang mengutuk itu dan membeli/menggunakan sedotan besi sebagai simbol dukungan agar kura-kura lain tidak mengalami hal yang sama. Kemudian hal ini dikritik dengan sindiran: kura-kura itu sekarang hidungnya tersumbat sedotan besi. Biang keroknya bukanlah sedotan! Tapi konsumerisme. Argumen serupa bisa dilihat di sini https://www.balairungpress.com/2023/09/keblinger-kapitalisme-hijau/.
  6. Dalam artikel Melintas yang ditulis oleh Rm. Herry Priyono dengan judul Homo Economicus. Hal. 119-124.
  7. Selanjutnya di https://www.kompas.com/tren/read/2024/02/19/203000065/program-makan-siang-gratis-prabowo-siapa-saja-yang-dapat-dan-dari-mana?page=all
  8. Selanjutnya di https://www.cnbcindonesia.com/research/20231220120941-128-498854/proyek-kebanggaan-jokowi-barang-panas-jelang-pilpres-simak
  9. Hilirisasi dimungkinkan dengan debirokratisasi sehingga investasi dapat lancar dan penerimaan hasil (kas negara bertambah) dapat terjadi dengan cepat. Selanjutnya di https://mediaindonesia.com/ekonomi/558208/bahlil-pastikan-uu-cipta-kerja-bedampak-positif-bagi-investasi-dan-hilirisasi
  10. Di https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240122202906-532-1053012/ekonom-kritik-hilirisasi-kebanggaan-jokowi-gibran-rusak-lingkungan
  11. Status berubah dari middle slightly upper menuju menjadi high income country.
  12. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, industri dalam suatu negara mungkin memerlukan perlindungan dari persaingan luar negeri agar bisa tumbuh dan berkembang. Perlindungan domestik diberikan kepada industri-industri dalam negeri untuk tumbuh dan menjadi kompetitif di pasar global. Lihat Chang, 2014.
  13. Yang hal ini seringkali dianggap membahayakan keadilan sosial karena akan cenderung mengabaikan agenda anti korupsi dan penyelesain kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, lantas mengendors ideologi nasionalisme ekstrem. Selanjutnya di Warburton, 2016.
  14. Di https://news.detik.com/kolom/d-5204654/uu-cipta-kerja-neoliberalisme-dan-deregulasi.
  15. Mirip dengan program Kerja Sama Operasi era Suharto, di mana program tersebut memosisikan pihak yang terlibat dengan konsep ‘who gets what’ dan diatur oleh otoritas yang terpusat, dimediasi oleh dominasi kapitalisme. Selanjutnya di https://developingeconomics.org/2020/04/09/neoliberalism-on-trial-jokowi-2-0-omnibus-bill-and-the-new-capital-city/
  16. Lihat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Lalu Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Kemudian Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  17.  Kutipan tersebut, yaitu. “Kita dihadapkan pada pilihan di antara dua jalan. Satu jalan mengarah pada konsolidasi multilateral, sebagai ungkapan rasa tanggung jawab global yang diperbaharui atas solidaritas yang berakar pada keadilan, mengarah pada pencapaian perdamaian, serta persatuan, sebagai satu keluarga umat manusia yang merupakan rencana Tuhan bagi dunia kita. Jalan lain, adalah menekankan keterpenuhan diri, nasionalisme, proteksionisme, individualisme, dan pengucilan. Jalan ini mengabaikan orang miskin, rentan, dan mereka yang terpinggirkan dalam hidup. Tidak hanya individual, tapi juga negara. Banyak negara yang miskin, dan mereka rentah, dan makin terpinggirkan, dan juga merugikan masyarakat keseluruhan. Menyebabkan luka sendiri pada semua orang. Jalan ini tidak boleh menang.” Jalur yang individualistik (read: neoliberal) harus dihindari kalau memang ingin damai dan bersatu.
  18. Kutipannya, yaitu “Negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebaikan bersama (ekonomi: public goods), dan memastikan bahwa setiap sektor kehidupan sosial tidak terkecuali sektor ekonomi, semua berkontribusi untuk mencapai kebaikan bersama sembari menghargai otonomi dari setiap sektor.

Referensi

Acuan Utama

  • Kompas TV. 2024. “[FULL] Menkeu Sri Mulyani Blak-blakan Prospek Ekonomi Indonesia di Era Pemerintahan Baru.” YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=ig27p6jSWjk.
  • Materi perkuliahan. Dr. Stephanus Djunatan. 2024. Filsafat Uang. Fakultas Filsafat. UNPAR. 

Buku & Jurnal

  • Chang, Ha-Joon. 2014. A Pelican Introduction Economics: The User’s Guide. London: Pelican.
  • Djunatan, Stephanus. 2015. “Kultur Masyarakat Industri dan ideologi Ekonomi Kritik Sekolah Frankfurt terhadap Masyarakat Industri Modern.” Extension Course Fakultas Filsafat, (April).
  • Feith, Herb. n.d. “Repressive-Developmentalist Regimes in Asia.” Alternatives: Global, Local, Political 7 (4): 491-506.
  • Priyono, B. H. 2017. “Homo Economicus.” Melintas 33 (2): 103-129.
  • Warburton, Eve. 2016. “Jokowi and the New Developmentalism.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 52 (3): 297-320.

Situs Internet


error: Sorry, content is protected!