Kekerasan Kultural – Johan Galtung

Posted

by

Terjemahan bebas tulisan Johan Galtung yang berjudul Cultural Violence (1990) ini saya lakukan untuk keperluan pribadi dalam rangka memahami pemikiran Galtung mengenai teori perdamaian. Seringkali saya memodifikasi atau melakukan terjemahan yang diredaksi untuk keperluan sendiri. Maka dari itu, saya sarankan lebih baik baca lebih dulu tulisan aslinya yang dapat diunduh di akhir tulisan ini.


Kekerasan Kultural
Johan Galtung (1990)

Artikel ini mengenalkan konsep cultural violence atau kekerasan kultural, dan dapat dilihat sebagai follow-up terhadap tulisan Galtung tentang kekerasan struktural pada tahun 1969. Kekerasan kultural/simbolik dalam tulisan ini didefinisikan sebagai aspek-aspek budaya yang dapat digunakan untuk melegitimasi kekerasan dalam bentuk langusng atau struktural. Kekerasan simbolik ini dibangun ke dalam budaya tidak dengan cara langsung seperti membunuh. Pun begitu, kekerasan kultural dapat melegitimasi keduanya, seperti dalam terori Herrenvolk, atau diskursus mengenai ras superior. Hubungan antara kekerasan langsung, struktural, dan kultural dieksplorasi menggunakan segitiga kekerasan dan gambar strata kekerasan, dengan berbagai bentuk. Contoh-contoh kekerasan kultural ditunjukkan dengan menggunakan pembagian budaya menjadi agama dan ideologi, seni dan bahasa, serta ilmu empiris dan formal. Teori kekerasan kultural berarti berkaitan dengan dua poin mendasar dalam Ghandisme, yaitu doktrin penyatuan hidup dan penyatuan sarana dan tujuan. Di akhir, inklusivitas suatu budaya sebagai fokus utama riset-riset isu perdamaian dilihat tidak hanya untuk mendalami pencarian perdamaian, tapi juga kontribusi paling mungkin disiplin ilmu (yang belum ada), yaitu kulturologi.

Definisi

Ketika membicarakan kekerasan kultural, maka kita sedang merujuk pada aspek-aspek budaya, yang simbolik dari eksistensi kita––ditunjukkan dengan agama dan ideologi, seni dan bahasa, ilmu empiris dan formal (logika, matematika)––yang dapat digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung atau struktural. Yang simbolik seperti, namun tidak terbatas pada, simbol bintang, salib dan bulan sabit; bendera, lagu kebangsaan dan parade militer; potret seorang Pemimpin; pidato dan poster yang menghasut, dll. Pun begitu mari kita bahas contoh lebih lanjut pada bagian ke-4 dan mulai dengan analisis terlebih dahulu. Yang dibahas di atas adalah aspek-aspek budaya, bukan budaya secara menyeluruh. Seseorang mendorong calon pembunuh dengan kata-kata “Membunuh itu realisasi Diri!” mungkin menunjukkan juga bahwa bahasa menjadi salah satu cara bagaimana kekerasan kultural bekerja, tapi bukan berarti suatu bahasa itu bersifat kekerasan secara menyeluruh. Budaya menyeluruh tidak bisa diklasifikasi sebagai brutal, maka dari itu harus merujuk dengan detail seperti “aspek A dari kultur C adalah contoh kekerasan budaya” daripada stereotipe kultural seperti “kultur C itu brutal”.

Di sisi lain, budaya dapat diimajinasikan tidak hanya dengan satu aspek tapi sekumpulan yang bisa saja brutal, meluas, dan beragam, menjangkau domain-domain kultural lainnya, sehingga membicarakan kasus per kasus kekerasan kultural lalu budaya yang brutal itu perlu dilakukan. Sehingga proses riset yang sistemik diperlukan. Artikel ini merupakan bagian dari proses tersebut.

Mulanya, kita perlu menjadikan jelas apa itu kekerasan kultural dengan mencari negasinya Apabila lawan dari kekerasan itu perdamaian, subjek materi dalam studi/riset perdamaian merupakan, maka lawan dari kekerasan kultural berarti perdamaian kultural, artinya aspek-aspek budaya yang menjustifikasi dan melegitimasi perdamaian langsung atau struktural. Apabila berbagai aspek bentuk perdamaian itu ditemukan dalam suatu budaya, kita bisa refer itu sebagai kultur perdamaian peace culture. Tugas utama riset dan gerakan perdamaian secara umum, yaitu riset tidak terbatas mengenai kultur perdamaian––problematik, karena godaan untuk menginstitusionalkan dan menginternalisasikannya di berbagai tempat, itu bisa disebut kekerasan langsung, dan malah menjadi kultur impostor.

Kekerasan kulturam menjadikan kekerasan langsung dan struktural terlihat benar, setidaknya terlihat tidak salah. Seperti ilmu politik dengan dua masalahnya–penggunaan kekuasaan dan legitimasi digunakannya kekuasaan itu–lalu studi kekerasan dengan dua masalahnya: penggunaan kekerasan dan legitimasi penggunaan kekerasan itu. Mekanisme psikologisnya adalah internalisasi. Studi kekerasan kultural menyoroti bagaimana perilaku kekerasan langsung dan fakta-fakta kekerasan struktural melegitimasi dan diinternalisasi ke dalam masyarakat sehingga dianggap dapat diterima (acceptable). Cara kerja kekerasan kultural adalah dengan mengubah warna moral (moral color) perilaku dari merah/salah ke hijau/benar atau setidaknya menjadi kuning/dapat diterima; contohnya pembunuhan atas nama negara dianggap benar, tapi kalau individu yang melakukan dianggap salah. Lalu, kekerasan kultural bekerja dengan cara menjadikan realitas buram, sehingga kita tidak dapat melihat perilaku brutal sebagaimana adanya: contohnya abortus provocatus. Oleh sebab itu, studi perdamaian membutuhkan tipologi kekerasan, sebagaimana tipologi patologi diperlukan bagi studi kesehatan.

Tipologi Kekerasan Langsung dan Struktural

Kekerasan adalah penghinaan terhadap kebutuhan dasar manusia dan secara umum terhadap kehidupan itu sendiri, yang mengakibatkan menurunnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan mendasar bahkan pada taraf batas yang paling mungkin. Ancaman kekerasan juga merupakan kekerasan. Mengkombinasikan perbedaan antara kekerasan langsung dan struktural dengan 4 kelas kebutuhan mendasar di Table 1:

Kebutuhan BertahanKebutuhan KesejahteraanKebutuhan IdentitasKebutuhan Kebebasan
Kekerasan LangsungMembunuhMenyebabkan cedera (maiming), Pengurungan (siege), Pengenaan sanksi, Dibuat menderitaDesosialisasi, Resosialisasi, Identitas SekunderRepresi, Penahanan (diciduk), Pengusiran
Kekerasan StrukturalEksploitasi AEksploitasi BPenetrasi, SegmentasiMarginalisasi, Fragmentasi

Empat kelas kebutuhan mendasar ini adalah: kebutuhan bertahan (survival needs), negasinya: membunuh, kematian; kebutuhan kesejahteraan (well-being needs), negasinya: dibuat menderita, rentan penyakit; kebutuhan identitas (identity, meaning needs), negasinya: alienasi; dan kebutuhan kebebasan (freedom needs), negasinya: represi.

Hasilnya, terdapat 8 tipe kekerasan dengan masing-masing subtipe, yang dengan mudah dapat diidentifikasi dalam kategori kekerasan langsung, namun semakin kompleks dalam kategori kekerasan struktural. Tabel 1 dapat dibilang antroposentris. Kolom kelima bisa saja ditambahkan untuk membahas Alam, yang mana sine qua non bagi manusia. Keseimbangan ekologis ‘ecological balance’ mungkin istilah yang paling banyak digunakan dalam membahas pemeliharaan sistem lingkungan. Apabila tidak dipelihara dengan baik, akibatnya adalah degradasi, gangguan, dan ketidakseimbangan ekologis. Keseimbangan ekologis sesuai dengan pemeliharaan kebutuhan mendasar manusia untuk bertahan, sejahtera, bebas, dan menyoal identitasnya. Apabila tidak dipenuhi, terjadi degradasi juga. Penggabungan kelima hal ini (survival + well-being + identity + freedom needs + ecological balance) baru dapat menghasilkan perdamaian.

Namun, keseimbangan ekologis itu kategori yang luas melingkupi abiota, hal-hal non-kehidupan (non-life) dan biota, hal-hal kehidupan (life). Kekerasan sebagai penghinaan terhadap kehidupan berarti fokusnya pada biota, sementara yang tidak langsung berarti fokusnya pada abiota. Lebih lagi, muncul pertanyaan seperti “Keseimbangan untuk siapa?” “Untuk manusia reproduksi?” “Pada aktivitas level ekonomi apa?” atau dalam konteks lingkungan, “Istilahnya begitu antroposentris!” 

Lalu, versi-mega dari kata-kata yang digunakan di atas juga perlu dipikirkan. Misalnya, kata Membunuh “killing” bisa juga berarti pemusnahan “extermination”, “holocaust”, atau genosida. Untuk kata Penderitaan “misery” bisa dibaca “silent holocaust”. Untuk kata Alienasi bisa dibaca kematian secara spiritual. Untuk kata Represi dapat dibaca gulag/KZ. Untuk Degradasi ekologis dapat dibaca pembunuhan ekologis atau eco-cide. Untuk semuanya dapat dibaca omnicide. Kata-kata itu mungkin begitu apokaliptik–meskipun memang nyatanya dunia sudah mengalami selama 50 tahun, merujuk Hitler, Stalin, Reagan, militerisme Jepang. Secara singkat, studi kekerasan, yang tidak dapat dihindari ketika membahas studi perdamaian, mungkin menjadi ruang horor: tapi seperti patologi yang merefleksikan realitas, hal itu perlu diketahui, dimengerti, dan dipahami.

Kategori pertama kekerasan adalah membunuh, cukup jelas seperti menjadikan seseorang cedera/cacat. Seperti halnya perang sebagai salah satu bentuk partikular dari kekerasan yang diatur (orchestrated violence), maka setidaknya terdapat satu aktor, dan sebuah pemerintahan. Akan dangkal ketika belajar bahwa perdamaian itu sekadar lawan dari perang, lantas melimitasi studi perdamaian dari studi tentang perang, termasuk senjata super yang digunakan. Karena hubungan antar bentuk kekerasan itu penting untuk memahami bagaimana kekerasan bekerja.

Lalu ada juga penghinaan terhadap kebutuhan mendasar manusia yang dilakukan oleh pengurungan (siege, blockade; classical term), dan sanksi (modern term). Untuk beberapa, hal ini non-kekerasan, karena pembunuhan langsung sudah dihindari. Namun bagi korban, hal ini dapat berarti pembunuhan pelan-pelan/intensional (slow but intentional killing) misal melalui program malnutrisi dan kurangnya perhatian medis sehingga menjadikan pihak-pihak paling rentan paling cepat ‘terbunuh’. Dengan merenggangkan rantai-rantai seperti ini, suatu aktor dapat terhindar (red: cuci tangan) untuk melakukan kekerasan langsung. Sering muncul istilah “He even gives the victims a chance”, untuk menunjukkan bahwa kondisi kehilangan identitas dan kebebasan itu lebih baik daripada kehilangan nyawa. Identitas dan kebebasan seseorang dijual untuk mendapatkan kondisi terbebasnya dari kemungkinan dibunuh. Mekanisme ancaman ini dilakukan oleh bentuk siege/boycott/sanctions. Tapi perlu kontekstualisasi. Seperti negasi tipe boykot ekonomi a la Ghandian: mengkombinasikan penolakan membeli tekstil dari Inggis tapi juga mengumpulkan dana untuk para pedagang sehingga boykot yang dilakukan tidak merugikan kehidupan mereka. 

Kategori alienasi dapat didefinisikan dalam istilah sosialisasi, yang artinya internalisasi budaya. Terdapat aspek rangkap: desosialisasi dari budaya sendiri dan resosialisasi ke dalam budaya lain–seperti larangan dan pengenaan suatu bahasa. Hal ini biasanya terjadi pada warga kelas dua ketika suatu kelompok (tidak melulu yang minoritas) dipaksa untuk mengekspresikan budaya dominan daripada budaya dirinya, setidaknya di ranah publik. Masalahnya, sosialisasi ketika anak-anak–di ranah keluarga, sekolah, dan masyarakat–juga dipaksa, melalui cuci otak, atau tidak memberikan anak pilihan. Sehingga, sosialisasi non-kekerasan adalah memberikan anak pilihan, contoh: memberikan anak lebih dari satu preferensi budaya.

Kategori represi juga memiliki definisi rangkap: kebebasan dari dan kebebasan untuk akan International Bill of Human Rights, dengan limitasi kultural dan sejarah. Dua kategori telah ditambahkan secara eksplisit karena signifikansinya bentuk lain kekerasan: pengurungan “detention” (locking people in) dengan cara mengunci orang (penjaga, kamp konsentrasi), dan pengusiran “expulsion” (locking people out) seperti mengusir orang dari tempatnya.

Untuk mendiskusikan kategori-kategori kekerasan struktural, kita memerlukan gambar struktur, kosakata, diskursus, untuk mengidentifikasi aspek-aspeknya dan memahami bagaimana mereka berkaitan dengan kebutuhan mendasar manusia. Arketipe struktur kekerasan dalam pandangan Galtung memosisikan eksploitasi sebagai pusat kegiatannya. Artinya, pertukaran (kuasa, dsb.) yang tidak adil “unequal exchange”, eufemisme. Para underdogs akan dirugikan oleh topdogs dengan cara dibuat kelaparan, rentan terkena penyakit (Eksploitasi A). Atau mereka dibuat secara permanen, berada di lingkungan yang penuh penderitaan, malnutrisi (Eksploitasi B). Bagaimana orang mati berbeda-beda: di Dunia Ketiga, dari diare dan defisiensi imunitas; di negara berkembang, dari penyakit cardio-vascular dan tumor. Semuanya terjadi karena struktur kompleks dan bercabangnya rantai/lingkaran penyebab.

A violent structure leaves marks not only on the human body
but also on the mind and the spirit.

Struktur kekerasan tidak hanya memberikan tanda pada tubuh manusia tapi juga otak dan jiwanya. Empat istilah berikut dapat dilihat sebagai bagian dari eksploitasi atau sebagai penguatan komponen-komponen struktur kekerasan. Mereka berfungsi dengan cara menghambat formasi kesadaran dan mobilisasi, dua kondisi yang mengancam terjadinya eksploitasi. Pekerjaan awal: Satu, penetrasi, menempatkan topdogs di dalam/ruang yang sama dengan underdogs, dikombinasikan dengan dua, segmentasi, yaitu hanya memberikan akses partial view bagi underdogs terhadap realitas. Lalu pekerjaan kedua: marginalisasi, di mana underdogs diposisikan sebagai outsider, dikombinasikan dengan fragmentasi, antar underdogs dibuat jauh. Keempat hal ini perlu dilihat sebagai variasi kekerasan struktural. Mereka juga beroperasi dalam konteks gender.

Bagaimana dengan kekerasan terhadap alam? Terdapat kekerasan langsung seperti membakar hutan. Tapi ada juga kekerasan yang subtil seperti yang menyebabkan polusi dan produksi pengetahuan yang mempromosikan industri modern terkomersialisasi. Struktur ini dilegitimasi oleh alasan pertumbuhan ekonomi. Bisa saja kata ‘pertumbuhan ekonomi berkelanjutan’ hanya bentuk kekerasan kultural lain.

Menghubungkan Tiga Tipe Kekerasan 

Apabila dimasukkan ke dalam bagan segitiga kekerasan, maka kekerasan kultural melegitimasi kekerasan langsung dan struktural yang diposisikan di kaki segitiganya. Pada segitiga kekerasan langsung dihasilkan dari kekerasan struktural dan kultural sebagai kaki segitiganya. Bentuk bagan segitiga kekerasan yang berbeda akan menjelaskan cerita/kasus yang berbeda juga.

Selain bagan yang simetris, terdapat perbedaan mendasar ketiga konsep kekerasan ini dengan hubungan waktu. Kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa (event), kekerasan struktural adalah proses (process), kekerasan kultural adalah invarian, permanen. Ketiga bentuk kekerasan ini mewaktu secara berbeda, seperti bagaimana gempa terjadi sebagai sebuah peristiwa, pergerakan lempeng tektonik sebagai proses, dan garis lempeng sebagai kondisi permanen.

Gambar strata kekerasan berfungsi sebagai paradigma yang dapat menghasilkan ragam hipotesis. Pada kekerasan kultural sebagai legitimasi, ia juga sekaligus pemasok nutrisi bagi kedua kekerasan langsung dan struktural. Pola-pola eksploitasi meningkat, menurun, atau dihancurkan, dikondisikan oleh teknik penetrasi-segmentasi untuk menghindari formasi kesadaran, lalu teknik fragmentasi-marginalisasi untuk menghindari organisasi/serikat terbentuk untuk melawan eksploitasi/represi. 

Secara umum, alur kekerasan kultural via kekerasan struktural ke kekerasan langsung dapat diidentifikasi. Kultur telah menjadikan kita ternormalisasi untuk merasa tidak terganggu ketika melihat eksploitasi dan atau represi. Lalu muncul erupsi, usaha menggunakan kekerasan langsung untuk keluar dari kerangkeng struktural dan terjadi lagi kontra-kekerasan (counter-violence) untuk reposisi kerangkeng itu. Dapat dikatakan, aktivitas kriminal biasa adalah usaha underdogs keluar dari kerangkeng itu, melakukan redistribusi kekayaan, balas dendam (kejahatan kerah biru), atau oleh topdogs dengan cara menjilat struktur kekerasan (kejahatan kerah putih). Baik kekerasan langsung dan struktural berpengaruh terhadap pengurangan kebutuhan mendasar sasaran/korbannya. Ketika terjadi, maka kita juga berbicara trauma. Ketika terjadi kepada suatu komunitas/kolektif, maka kita berbicara trauma kolektif yang dapat mengendap ke dalam kesadaran kolektif, lalu menjadi proses dan peristiwa sejarah. Asumsinya sederhana: violence breeds violence, kekerasan melahirkan kekerasan. Kekerasan adalah perampasan kebutuhan mendasar (needs-deprivation); dan itu serius: salah satu reaksi ketika terjadi perampasan ini adalah kekerasan langsung. Reaksi lainnya seperti feeling of hopelessness, sindrom frustrasi, agreasi yang diarahkan pada diri sendiri, apati dan mencerabut diri dari lingkungan luar. Topdogs seringkali memilih needs-deprivation karena sekalipun tidak langsung, namun efektif (dan memungkinkan cuci tangan). Kata-kata yang dipilih seperti ‘governability’ ‘stabilitas’ daripada ‘anarki’. Bentuk kekerasan kultural biasanya terjadi ketika elit penguasa menyalahkan korban dari kekerasan kultural yang melakukan perlawanan. Lantas melabelinya dengan kata-kata seperti ‘aggresor’. Pada kasus orang Afrika ditangkap-paksa untuk dijadikan budak di Amerika: pada prosesnya, berapa jiwa yang terbunuh dalam prosesnya? Kekerasan langsung yang masif ini kemudian mengendap sebagai kekerasan struktural, di mana orang kulit putih sebagai topdogs dan orang kulit hitam sebagai underdogs, lantas memproduksi dan reproduksi kekerasan kultural yang masif dengan contoh menyebarkan ide-ide rasis. Biasanya, kekerasan langsung itu terlupakan, dan hanya dua bentuk kekerasan yang langgeng, contoh: penggunaan kata diskriminasi untuk mengganti kekerasan struktural masif, dan prejudis untuk mengganti kata kekerasan kultural masif. Sanitasi bahasa sendiri merupakan kekerasan kultural.

Lingkaran kekerasan yang kejam ini bisa dimulai dari sudut kekerasan struktural. Di mana diferensiasi sosial menjadi karakteristik vertikal yang menghasilkan relasi tidak adil, lalu kekerasan kultural menjustifikasi kekerasan struktural untuk memelihara struktur itu. Atau lingkaran kekerasan juga dapat dimulai dari kombinasi kekerasan langsung dan struktural, contoh: suatu kelompok yang memperlakukan kelompok lain dengan buruk dan karenanya terjustifikasi untuk mengkondisikan kelompok itu ke dalam nilainya. Terdapat potensi kekerasan langsung dan struktural tapi juga potensi perdamaian langsung dan struktural. Dalam pandangan Galtung, argumen determinisme biologis yang mengemukakan bahwa manusia memiliki hasrat agresi dan dominasi, adalah serupa dengan argumen hasrat manusia untuk makanan dan seks. Istilah struktur dan kultur dapat mengakomodasi eksplorasi ini.

Eksplorasi taksonomi ini dapat digunakan untuk memperjelas konsep militarisasi sebagai proses, dan militerisme sebagai ideologi yang membersamai proses itu. Maka kita tidak bisa hanya menganalisis yang konkrit saja: identifikasi struktur belaka. Tapi juga perlu melihat bagaimana produksi militer (ajaran militeristik di sekolah-sekolah) dan perekrutan anggota menstimulasi pertumbuhan ekonomi, misal dengan mempromosikan nilai nasionalis, rasis, dan seksis. Militerisme disebarkan sebagai budaya yang menyelinap pada setiap ajaran-ajaran yang mungkin kita dapatkan di sekolah/rumah.

Contoh Kekerasan Kultural

Enam domain kultural: agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu empiris dan formal. Skema logikanya: mengidentifikasi unsur kultural dan menunjukkan bagaimana hal itu dapat secara empiris atau berpotensial digunakan untuk melegitimasi kekerasan langsung dan struktural.

Agama

[to be continued]

Ideologi

[idem]

Bahasa

[idem]

Seni

Galtung membuaka bagian ini dengan menuliskan poin bahwa European Union adalah penerus European Community pada tahun 1967. Tapi bagaiman Eropa memahami dirinya sendiri? Fakta bahwa kisah-kisah Eropa bertali pada mitologi Yunani tidak begitu membantu. Memahami Eropa sebagai negasi dari lingkungan non-Eropa juga tidak membantu (konteks Oksiden-Orien?). Lingkungan yang dimaksud adalah ketika periode transisi dari Era Pertengahan ke Era Modern ketika Kekaisaran Ottoman berjaya di timur dan selatan, hingga tembok-tembok Vienna (1683), menaklukkan Siria dan Mesir (1517)… Lingkungan non-Oriental hanyalah Rusia.

Eropa karenanya harus memahami dirinya sendiri sebagai negasi musuh bagi selatan dan tenggara. Karenanya menjadi Despotisme Oriental. Ciri khasnya yaitu sewenang-wenang dan tidak berperasaan. Seperti ketika Pangeran Eropa dibunuh: diatur oleh pecutnya sendiri, bukan oleh hukum. Secara seksual menikmati keluar malam dan melecehkan perempuan-perempuan kampung. Begitupun Muslim yang tidak mempan dengan nilai monogami Kristianitas. Di Prancis, seni lukis muncul di abad ke-19 merepresentasikan despotisme oriental dengan setelah seks dan atau kekerasan. Contohnya lukisan Henri Regnault berjudul Execution Without Process dan lukisan Eugene Delacroix berjudul The Death of Sardanapal.  Hegel, dikutip oleh Marx, melihat bahwa despotisme oriental dan mode produksi oriental (Asia) sebagai negatif, homogenus, dan stagnan.

Rusia juga terlihat memiliki sifat despotisme oriental. Despotisme ini menyelinap di pola pikir par Tsars dan menjadi imaji Rusia dan Soviet Union berdekade-dekade hingga hari ini–namun bergeser istilah itu menjadi slurs.

Ilmu Empiris

Contoh kekerasan kultural adalah doktrin ekonomi neoklasik, yang mana menyebut dirinya sebagai ilmu/aktivitas ekonomi. Dipengaruhi oleh tradisi pemikiran Adam Smith. Salah satu dogmanya adalah teori perdangan berdasarkan comparative advantages, yang mulanya dipostulasi oleh David Ricardo, lalu dikembangkan oleh Heckscher dan Ohlin, dan juga oleh Jan Tinberge. Doktrinnya menentukan bahwa setiap negara harus memasuki dunia perdangan dengan produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif dalam faktor produksinya. Dalam praktik, artinya setiap negara dengan material mentah dan pekerja tidak terampil dikondisikan untuk mengekstraksi material tersebut, lalu bagi negara dengan kapital dan teknologi, pekerja terampil dan ilmuwan, dikondisikan memproses material tersebut. Karena doktrin ini, Portugal menanggalkan industri tekstilnya dan menjadi produser wine medioker, sedangkan Inggis dengan ilmuwan-ilmuwannya menjadi negara dengan kapasitas industrial. Konsekuensi doktrin dalam bentuk pembagian kerja secara vertikal hari ini adalah cikal bakal kekerasan struktual: antar negara atau di dalam negara itu sendiri.

Oleh karena itu, doktrin comparative advantages menjadi justifikasi pembagian kasar dari mana dan siapa yang memproduksi apa. Alasan geografis dan historis seringkali dijadikan alasan negara mana yang terkondisikan untuk menjadi pihak produser. ‘Hukum’ ini meligitimasi status quo terstruktur dan menjadi kekerasan kultural yang menjadi inti nilai ekonominya.

Ilmu Formal

Yang disoroti Galtung pada persoalan ilmu empiris, yaitu matematika dengan aturan formal: teorema T dan negasinya -T tidak bisa dua-duanya valid, yang mana aturan formal seperti ini berkemungkinan memiliki konsekuensi brutal. Bahkan ketika logika matematis mengeksplorasi logika polyvalent (multy-valued logic), alat yang digunakan adalah logika bivalent dengan aturan ketat antara valid atau invalid: tertium non datur. Inferensi menjadi fondasi matematis dengan modus ponens dan modus tollens sebagai kuncinya. Tidak ada inferensi ketika nilai kebenerannya ambigu.

Matematika dengan aturan umum seperti ini mendisiplinkan kita ke dalam mode pemikiran partikular yang selaras dengan pemikiran hitam-putih dan polarisasi di dalam ruang personal, sosial, dan dunia. Ciri either-or dari pemikiran matematika memang penting; tapi sebagai model untuk proses dialektis manusia, sosial, dan dunia, tidak lah cukup/memadai. Dan kecukupan ini adalah syarat mendasar bagi ruang simbolik/kultural, untuk memandu kita dalam membayangkan potensi realitas yang tidak terlalu brutal/syarat dengan kekerasan.

Kosmologi

Untuk memahami transisi dari kekerasan kultural menjadi budaya yang brutal, kita perlu menganalisis aspek-aspek kultural lain, dalam hal ini deep culture(s). Maksudnya, akar dari akar: the cultural genetic code that generates cultural elements and reproduces itself through them

Galtung menyinggung bagaimana konsep kosmologi memungkinkan kita mempertanyakan realitas secara mendalam, mendefinisikan apa yang normal dan apa yang natural. Dalam hal ini, suatu kultur menunjukkan ciri khasnya yang ‘kasar’, ‘arogan’ terhadap alam, dalam rangka mempertahankan apa yang diyakininya tentang realitas. Suatu budaya itu berpotensi menjadi perpanjangan-tangan kekerasan yang digunakan untuk menjustifikasi yang tidak dapat dijustifikasi. Bentuk pemikiran seperti ini bagi Galtung mendorong kita ke arah tanpa harapan. Mengubah kode genetik suatu budaya itu sulit, sekalipun konsep seperti rekayasa kultural itu ada. Dan rekayasa kultural itu bisa saja problematik dan merupakan bentuk kekerasan. Harus diriset oleh periset isu perdamaian lebih lanjut.

Ghandi dan Kekerasan Kultural

Apa yang Ghandi lakukan dapat dibilang masalah yang pelik: eksplorasi alternatif dari kekerasan langsung dan struktural? Jawaban Ghandi adalah untuk reproduksi dari ekumenisme (​​inisiatif keagamaan menuju keesaan di seluruh dunia?), dua aksiom yang dapat menjelaskan intisari Ghandisme: unity-of-life dan unity-of-means-and-ends. Yang pertama menjelaskan bahwa tidak ada kehidupan/kehidupan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana menuju tujuan. Apabila tujuan itu penghidupan, makan sarananya harus meningkatkan kehidupan. Tapi bagaimana kita memahami maksud persatuan ‘unity’? Interpretasi masuk akal mungkin menggunakan istilah seperti ‘closeness’ daripada atau sebagai lawan dari ‘separation’. Dalam semesta mental semua bentuk kehidupan, dalam hal ini kehidupan manusia, seharusnya kita menikmati ‘closeness’ dan tidak dibuat jauh oleh ruang atau batas terjal Self-Other yang mendorong munculnya irisan ruang sosal (social space). Justifikasi derivasi budaya, seperti adanya istilah Orang Terpilih, harusnya ditolak.

Kita dapat memahami bagaimana penyatuan sarana dan tujuan sebagai cara menyatukan unsur lain, seperti perilaku dan fakta yang disatukan. Ketika dipisahkan, akan menghasilkan batas waktu sosial. Revolusi yang dipicu oleh batas waktu sosial, lantas menghasilkan proletar industrial, tidak cukup. Sarana musti baik bagi dirinya sendiri, bukan malah dikorbankan atas nama ‘growth/capitalism’ ‘revolution/socialism’. Seperti mengkorbankan satu atau dua generasi untuk mendapat kenyamanan di kemudian hari, pengorbanan satu atau dua kelas untuk kenyamanan kelas atas.

Kesimpulan nilai Ghandisme dapat ditarik dari dua aksioma tadi: yaitu untuk menghormati kesakralan hidup (sacredness of all life) dan penerimaan relasi timbal balik ‘take care of the means and the ends will take care of themselves’. Doktrin unity-of-life berbeda dengan doktrin keseimbangan ekologis, karena artinya semua kehidupan, bukan hanya manusia, semua kehidupan manusia, bukan cuma segelintir yang dijustifikasi oleh agama atau ideologi. Dan doktrin unity-of-means-and-ends artinya doktrin sinkroni, semua isu harus dipahami secara bersamaan daripada diakroni, ketika satu langkah diasumsikan menjadi pemicu utama force motrice. Arketipe: doktrin lingkaran Buddhis ketika unsur pikiran (thought), ucapan (speech), dan aksi berada pada level yang sama, tidak seperti piramida Kristianitas.

Kesimpulan

Kekerasan dapat terjadi dari sudut mana saja–langsung, struktural, kultural–ketiganya dapat saling berpengaruh satu sama lain. Dengan struktur kekerasan yang terinstitusioanlkan dan kultur kekerasan yang terinternalisasi, kekerasan langsung cenderung semakin terinstitusionalkan, berulang, ritualistik, seperti laku balas dendam (vendetta). Triangulasi sindrom kekerasan ini perlu dikontraskan dengan struktur perdamaian, dengan relasi simbiotik di antara pihak yang terlibat, dan perdamaian langsung dengan tindakan koperatif, keramahtamahan, dan kasih. Dengan begitu, lingkaran pun ditransformasi dari lingkaran jahat (vicous) ke lingkaran kebajikan (virtuous). Lingkaran kebajikan ini akan diraih ketika ketiga sudut ditransformasi secara bersamaan, dan tidak berasumsi bahwa transformasi salah satu dapat secara otomatis mentransformasi kedua sudut lain.

Satu hal yang baru dari diskursus ini–bahwa budaya relevan terhadap terjadinya kekerasan sekaligus perdamaian–adalah terbukanya untuk dilengkapi diskursus ini dengan disiplin ilmu lain seperti humaniora, sejarah ide, filsafat, dan teologi. Dengan kata lain, sebuah undangan bagi disiplin baru untuk bersama-sama meraih perdamian.

Lalu, riset perdamaian juga mungkin dapat berkontribusi pada temuan ilmu baru–yang Galtung sebut–kulturologi. Hari ini, lingkupnya terbagi dua antara humaniora untuk peradaban tinggi dan antropologi kultural untuk yang rendah; dengan filsafat, sejarah ide, dan teologi mengisi bagian-bagiannya. Konsep-konsep seperti kekerasan struktural terbentang dalam ilmu-ilmu itu, seperti halnya kekerasan struktural yang terbentang pada spektrum diskursus dalam ilmu sosial. (Pe)riset perdamaian memiliki banyak PR, so much to learn, so much to take, to receive. Kontribusi diperlukan dalam semangat keberagaman (diversity), simbiosis, dan keadilan (equity).



error: Sorry, content is protected!