Beberapa Buku untuk Membantu Merawat Ingatan atas Hari Perempuan Internasional

Posted

by

Selamat Hari Perempuan Internasional!

Sejak tahun 1911, International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional dirayakan dalam rangka mengingat perjuangan kolektif untuk mencapai kesetaraan gender. Perayaan ini bukan sekadar turun ke jalan dalam suasana yang gembira, tapi juga seringkali getir dan penuh dengan permenungan dan pengharapan akan inklusivitas. 

Setiap tahun, setiap negara, setiap kota, memiliki personalisasi tuntutan yang dikampanyekan dalam perayaannya. Tahun 1911, orang Eropa merayakan IWD dengan menuntut diberikannya akses voting bagi perempuan. Tahun 1917, pekerja perempuan tekstil melakukan demonstrasi Bread and Peace, menuntut segera diakhirinya Perang Dunia I. Tahun 1919, Alexandra Kollontai menulis Resolution on the Role of Working Women untuk International Conference of Communist Women yang berisi pentingnya peran perempuan pekerja. Tahun 1928, aktivis perempuan di Australia mengampanyekan IWD dengan melakukan demonstrasi; menuntut bayaran setara untuk pekerjaan yang sama dengan laki-laki, juga upah minimum bagi perempuan pekerja. Tahun 1998, di Indonesia muncul gerakan Suara Ibu Peduli (SIP) sebagai aksi protes terhadap melambungnya harga kebutuhan pokok, khususnya susu. Aksi tersebut dilakukan dengan cara SIP menjual susu murah kepada para ibu yang kesulitan membelinya. 

Ragam bentuk perayaan dan perjuangan dilakukan oleh ragam latar belakang. Akademisi dengan bentuk belajar-mengajar yang sensitif gender, ibu rumah tangga yang mengimplementasikan nilai-nilai inklusif di dalam rumahnya, para pekerja korporat yang menghormati sesama pekerja dengan identitas gender yang berbeda, pekerja migran dan pekerja rumah tangga yang saling menguatkan, kolektif yang turun ke jalan menyuarakan aspirasi kesetaraan, hingga penerbit buku-penulis yang mendukung kesetaraan dengan melibatkan sistem kurasi yang inklusif.

Di antara perayaan turun ke jalan, banyak juga orang-orang yang menuntut hal serupa dengan menuliskan pengharapannya melalui tulisan yang dituangkan dalam berbagai bentuk; seperti buku, video, catatan pribadi, dsb. Tulisannya pun dapat berupa artikel ilmiah, sastra, laporan lapangan, hingga refleksi personal.

Kali ini, saya merayakan IWD dengan mengurasi dan memilih 20 buku dengan detail: penulisnya perempuan dan atau substansi tulisan berkaitan dengan isu perempuan dan pentingnya kesetaraan.


Daftar buku-buku tersebut (secara acak):

1. Djenar Maesa Ayu – Nayla | Novel | Gramedia Pustaka Utama, 2005

Djenar dengan buku-bukunya yang memuat isu seksualitas, selalu menerobos ke ulu hati, menguras isi perut. Nayla, salah satunya, menjadi karya Djenar kedua yang saya baca setelah Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004). Nayla dan kekerasan seksual, Nayla dan relasi dengan ibunya, Nayla dan relasi romantik dengan seorang lesbian, Nayla yang masih remaja namun terpaksa jadi dewasa… 

Saya mengikuti arah tapak Nayla dengan segala kuriositasnya tentang identitas diri dan yang seksual. Juga atas apa yang terjadi kepadanya sebagai korban pelecehan dari pacar Ibunya. Sesuai dengan kekhasan Djenar ketika menulis cerita. Menampar, mengguncang, dan melempar, tapi sekaligus menarik kembali ke akar, mengunci kita ke dalam ruangan realitas di keseharian. Nayla di dunia nyata berada di sekeliling kita.

2. Eve Ensler – The Vagina Monologues | Women’s Studies | Villlard, 1998

Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan (KTP) termasuk kekerasan seksual tidak bisa dilakukan sendiri, tapi perlu berkolektif, dengan kampanye/propaganda yang strategis. Dan propaganda tidak melulu dilakukan dengan sekadar demonstrasi, tapi perlu melibatkan dekonstruksi penggunaan kata-kata terkait isunya. Ensler menyoroti bagaimana pengucapan dan penggunaan kata VAGINA perlu diperhatikan sebagai bagian dari mengakhiri KTP tersebut. 

Apakah kamu mengingat kata apa yang digunakan untuk menyebut VAGINA? Sejak kecil kita diajarkan untuk tidak menyebut vagina secara harfiah, tapi dengan nama samaran, yang dianggap lebih halus, lebih sopan, lebih terhormat. Ensler menyebut, powder box, derriere, peepe, poonani, monkey box, dsb. digunakan orang-orang New Jersey sebagai cara menihilkan perempuan sebagai subjek. Bab SAY IT: For the “Comfort Women” menjadi yang paling saya sukai dari buku ini. Mengutuk dalam bentuk prosa sejumlah 4 halaman. Sebuah monolog tentang vagina dalam rangka upaya-mendobrak tatanan yang mereduksi perempuan. Beberapa penggalan,


A girl beaten with a rifle over and over
A girl running headfirst into a wall
A girl’s malnourished body dumped in the river
To drown
What we weren’t allowed to do:
Wash ourselves
Move around
Go to the doctor
Use a condom
Run away
Keep my baby
Ask him to stop
What we caught:
Malaria
Syphilis
Gonorrhea
Stillbirths
Tuberculosis
Heart Disease
Nervous breakdowns
Hypochondria

3. Francoise Verges – A Decolonial Feminism | Pluto Press | 2021

Vergès membuka dan menutup buku ini dengan pertanyaan WHO CLEANS THE WORLD? lalu menjelaskannya dalam konteks cleaning industry di Prancis (era 1860 atau 1960an) di mana 2/3 pekerjanya ialah perempuan yang terrasialisasi (racialized). Vergès menyindir perempuan yang bekerja di ruangan ber-AC yang bersih, belanja di supermarket/membeli buah-buahan yang bersih tanpa menghiraukan WHO IS DOING THE CLEANING. Juga menyindir feminis “kulit putih” yang mengelu-elukan proporsionalitas akses kerja tapi di satu sisi menormalisasi kepemilikan budak. 

Buku ini mengingatkan saya bahwa kritik feminis atau feminisme sendiri tidak bisa dipahami secara monolitik, tapi merupakan spektrum yang beragam. Ini lah yang dilakukan Vergès, menggunakan kerangka pikir feminisme dekolonial untuk mengkritik feminisme kulit putih atau civilizational. Vergès mengkritik upaya feminisme civilizational yang memosisikan dirinya sebagai hegemoni pengetahuan menyoal hak perempuan di dunia Selatan. Para feminis “civilizational” ini jg menyamaratakan pengalaman perempuan non Eropa sebagai korban kolonialisme & imperialisme yg hanya akan “beradab” “merdeka” apabila “ditolong” oleh feminis ini.

4. Gadis Arivia – Filsafat Berperspektif Feminis | Filsafat | Jurnal Perempuan, 2003

Para penstudi humaniora dan filsafat selama ini dicekoki buku-buku babon filsafat dengan daftar filsuf laki-laki, bahkan seringkali tanpa melibatkan satu pun nama perempuan filsuf. Mengapa? Bagi Gadis Arivia, ini karena kerangka pikir feminisme memang maskulin/falusentris. Perempuan dianggap tidak mampu berpikir, apalagi berfilosofis. 

Buku ini menyadarkan saya bagaimana para filsuf besar itu, sebutlah Aristoteles, begitu seksis, memosisikan perempuan sebagai ‘cacat’ dan tidak sempurna. Hanya laki-laki yang dianggapnya sebagai manusia merdeka, yang mampu melakukan kegiatan di ruang publik. Banyak filsuf yang mungkin di ruang kelas kita jadikan idola, merupakan pelaku kekerasan dalam rumah tangga, tukang pukul, pedofil, dst. Penting untuk menggunakan buku ini sebagai cara menelusuri kembali kesejarahan filsafat dan bagaimana pentingnya perspektif feminis untuk menyingkap ketidaksetaraan gender tersebut. Kalau kata teman saya, buku ini bantu kita untuk tidak berlebihan dalam mengidolakan seorang filsuf. Hehehe. Kill your idol!

5. Rosemarie Putnam Tong – Feminist Thought (Terj.) | Women’s Studies | Jalasutra, 2010

Buku ini sudah tidak asing di teman-teman yang concern dengan isu feminisme. Menjadi pengantar yang cukup komprehensif menjabarkan gelombang 1-3 feminisme, juga memberikan informasi tentang gerakan-gerakan perempuan secara global yang memengaruhi perkembangan isu perempuan. Pemikiran feminis/feminisme itu beragam dan memiliki kekhasannya masing-masing. Antar pemikiran dapat saling melengkapi juga saling mengkritik. Kalau tidak salah sekarang sudah ada edisi ke-5? Saya belum update dan membeli juga.

Apabila teman-teman ingin membaca buku Gadis Arivia di atas, baik membaca buku Tong terlebih dahulu.

6. Intan Paramaditha – Sihir Perempuan | Cerita Pendek | Kata Kita, 2005

Dalam kumcer ini, saya bertemu dengan isu penundukan seksual perempuan, relasi romantik yang terbuka antar pekerja korporat, cerita terbalik Cinderella sebagai yang manipulatif dan sepatu kaca yang sempit, mobil jenazah dan kematian, juga pintu merah menuju kebebasan.

Pekerjaan itu, kata ibuku, tak pernah selesai. Karena si hantu perempuan tidak menggunakan benang untuk selimutnya. Ia memintal kegelapan.” adalah penggalan dari cerita pertama dalam buku Sihir Perempuan yang saya senangi. Bayangkan, memintal kegelapan selama beribu malam? Itu lah perempuan… perempuan sebagai hantu… hantu perempuan.

Lalu Mak Ipah dan cerita anaknya yang diperkosa oleh sodaranya sendiri, menjadi cerita yang paling getir bagi saya di kumcer ini. Bayangkan mawar-mawar yang tumbuh di depan rumahnya, menjulang tinggi, subur, dan begitu cantik, beralaskan tanah yang diberi pupuk saripati tubuh si pemerkosa.

Selamat bertemu dengan sosok perempuan-perempuan ‘hina.’ 

7. Okky Madasari – The Years of the Voiceless | Novel | Gramedia Pustaka Utama, 2013

Bagaimana Orde Baru mengondisikan warganya agar tunduk pada aturan-aturannya? Dengan cara universalisasi nilai. Yang militeristik. Yang seragam. Para perempuan dalam cerita The Years of the Voiceless adalah yang paling menjadi korban. Marni dengan spiritualitas yang dipertanyakan warga sekitar (re: dipersekusi), Marni dengan kuriositas tentang kenapa entrok (penutup dada, BH) sulit diakses oleh para perempuan, Marni dengan suami tukang mabuk dan tukang selingkuh, hingga pergulatan batin anaknya, yaitu Rahayu, tentang poligami dan agensi dirinya sebagai perempuan.

Novel ini mengingatkan akan getirnya regulasi yang dihasilkan oleh rezim Orde Baru, dalam hal ini menyangkut eksistensi perempuan. Masih relevan dibaca dan direnungkan, apalagi kalau situasinya mirip… 

Perempuan sebagai makhluk yang dianggap sebagai nomor dua, apapun bentuk hukumnya, pasti terus dinomorduakan. Semoga dengan membaca buku ini bisa menyadarkan ia-mereka yang kepalang patriarkis… dan mengajarkan agar tidak jatuh ke lubang yang sama yang terjadi di era Orde Baru.

8. Budi Sardjono – Nyai Gowok | Novel | Diva Press, 2014

Nyai Gowok yang ditulis Budi Sardjono menyoroti kehidupan Nyai Lindri sebagai Gowok dan relasinya dengan Bagus Sasongko––remaja laki-laki sekaligus wedana dari Randu Pitu––yang nyantrik dengannya. Melalui buku ini saya mengenal tradisi Gowok, Gowokan, atau Sentongan di Jawa. Tradisi Gowok yaitu tradisi ketika seorang perempuan dewasa yang mumpuni dalam pengetahuan/praktik seksualitas dapat mengajari laki-laki remaja. Biasanya, seorang calon mempelai laki-laki akan diajari terlebih dahulu pendidikan seksualitas oleh Gowok sebelum menikah. Acapkali, ‘pendidikan’ ini juga melibatkan seks antara sang Gowok dan laki-laki yang akan menikah.

Budi menyebut bahwa tradisi ini ada sangkut paut dengan seorang perempuan bernama Goo Wook Niang dari Tiongkok yang datang ke Jawa, dan memperkenalkan tradisi edukasi seks untuk laki-laki remaja yang beranjak dewasa. Seiring berjalannya waktu, nama Goo Wook menjadi identitas bagi siapapun perempuan Jawa yang melakukan pekerjaan serupa.

9. Reggie Baay – Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda | Sejarah | Komunitas Bambu, 2017

Nyai & pergundikannya telah dikutuk tidak hanya oleh Indie (orang Belanda) tapi juga oleh Indies (pribumi). Mestizo atau Eurasia—anak-anak hasil kawin campuran—seperti menerima nasib yang lebih menyengsarakan. Tidak bisa diterima di kalangan orang Eropa & pribumi. Sebuah “Dunia Lain” atau saya sebut les autres

Nasib Nyai dan Mestizo diutak-atik oleh para pedagang VOC (c. 1600), pegawai pemerintahan Belanda, hingga oleh situasi ketika muncul pembukaan koloni untuk perusahaan swasta (c. 1870). Biasanya para Jan, Kromo (pribumi yang menjadi serdadu) menjadikan perempuan pribumi sebagai baboe sekaligus moentji. Dengan gampangnya Nyai akan diusir/tersingkir ketika Jan/Kromo memiliki Nyai baru, dipindah-tugaskan ke tempat lain, atau hendak menikah dengan perempuan Eropa. 

Menjadi Nyai seperti memakan buah simalakama. Ia dianggap tidak bermoral oleh keluarga di kampung tapi juga dengan menjadi Nyai ia akan memiliki pemasukan yang stabil. Ia bisa menjadi Nyai krn diperjualbelikan oleh orang tuanya, merupakan Mestizo yg tidak memiliki “rumah” dan keadaan ekonomi yang buruk, dan ada juga orang Eropa yang menjalin pergundikan dengan Nyai untuk belajar adat/bahasa HB, hingga urusan seksualitas sebelum benar menikah dengan perempuan Eropa. 

Sekitar 1880an emansipasi perempuan di Eropa semakin menonjol tapi lain lagi di HB. Justru perempuan Eropa yang datang ke HB bisa disebut tetap memiliki sifat rasis, hero complex, dan white-supremacy yang serupa dengan laki-laki Eropa. 

Di akhir abad ke-80, muncul Indische Bond; awal abad ke-90 muncul Insulinde, Indische Partij, IEV, hingga KMB, lalu penyerahan kedaulatan; Nyai dan pergundikan tetap mengiringi. Saya percaya, saat ini juga tetap ada pergundikan dalam bentuk atau konsep yang lain; dan perlu melihat konteks ketika hendak memahaminya.

Tertulis bahwa keluarga kerajaan Belanda pun merupakan keturunan Nyai. Mungkin apabila ditelusuri, saya dan kalian merupakan cicit-cicit dari hasil pergundikan (samenleven) Nyai dengan orang Eropa atau serdadu Pribumi. 

Nyai, pernah mendapat label negatif. Sebab berkaitan dengan status selir bagi laki-laki Belanda yang tinggal di Hindia Belanda. Nyai juga pernah mendapat label terhormat, (lihat bagian buku Nyai Gowok), dipandang penting bagi kesuksesan pernikahan seseorang. Nyai sebagai perempuan yang memiliki agensi adalah Nyai yang bermartabat. 

10. Sojourner Truth – Ain’t I a Woman? | Women’s Studies | Scholastic Biography, 1992

Saya belajar tentang Sojourner Truth dari pidatonya di Konvensi Hak-Hak Perempuan tahun 1851 yang diadakan di Akron, Ohio. Lalu saya dipertemukan kembali dengan Truth melalui biografinya yang diterbitkan oleh Scholastic Biography (1992). Pidato yang diucapkan Truth,

Suppose a man’s mind holds a quart, and a woman’s doesn’t hold but a pint; if her pint is full, it’s as good as a quart.” “If the first woman God ever made was strong enough to turn the world upside down all alone, these women together ought to be able to turn it back and set it right-side up again, and now that they are asking to do it, the men better let them.

Pidato itu dimaksudkan untuk merespons para pembicara di Konvensi yang menggunakan ayat-ayat Tuhan sebagai pembenaran bahwa perempuan itu lemah dan orang kulit hitam memang ras yang inferior/subordinat.

Perjuangannya sebagai perempuan kulit hitam telah menginspirasi banyak orang, tidak hanya ketika dia masih “dimiliki” oleh Hardenberg dan Dumont, tetapi juga dalam aktivisme saat ini mengenai isu rasial, perbudakan modern, dan pemberdayaan perempuan. Pemikirannya tersebar di seluruh dunia dan dapat digunakan dalam melihat situasi eksploitatif, terutama masalah interseksional seperti yang terjadi padanya sendiri. 

Penting untuk dijadikan refleksi, bahwa seringkali ketidaksetaraan yang terjadi kepada perempuan adalah bersifat interseksional. Maka melihatnya tidak bisa dari satu sisi saja.


Lainnya:*

11. Jurnal Filsafat – Problem Filosofis Perempuan

12. Jurnal Perempuan – Kekerasan Seksual dan Ketimpangan Gender

13. Silvia Federici – Revolusi di Titik Nol

14. Luce Irigaray – Je, Tu, Nous

15. J. Rose – Sexuality in the Field of Vision

16. Marianne Katoppo – Raumanen

17. Mary Shelley – Frankenstein

18. Nathaniel Hawthrone – The Scarlet Letter

19. Christine de Pizan – The Book of City of Ladies

20. Sejarah Poligami – Justito Adiprasetio

*akan dicopy-paste ulasan yang sudah ada secara berkala.


Sejumlah 20 buku ini, membantu melengkapi satu perspektif dengan perspektif lainnya dalam rangka merawat ingatan perjuangan perempuan. Masih banyak buku-buku yang belum saya masukkan ke dalam daftar kali ini.

Semoga ada manfaatnya.


Selamat Hari Perempuan Internasional! Merawat ingatan perjuangan individu-kolektif untuk kesetaraan gender dan inklusivitas bukan usaha yang mudah. Arsip gerakan, kumpulan tulisan, kampanye antar komunitas, hingga menyoal struktur yang adil, berperan penting dalam mengestafetkan spirit yang adil itu. 

Beberapa buku ini, saya kurasi dalam rangka mengingat penulis dengan identitas perempuan, dan atau yang substansinya membahas ragam pengalaman perempuan lintas batas. Tentu begitu banyak buku berkualitas tentang isu serupa yang tidak saya masukkan ke dalam list hari ini. 

Sejumlah 20 buku saja, untukmu yang sedang merawat ingatan akan perjuangan para perempuan di masa lampau, sekarang, dan bersiap menuju masa depan. Dari mulai Nyai Gowok, hantu perempuan, perempuan filsuf, hingga perempuan tukang teluh, yang hina, yang terabaikan, yang dilupakan, yang hanya dijadikan dekorasi dan pelengkap belaka, semoga menghantui teman-teman semua. ^^

Mari saling mengingatkan, saling menguatkan, untuk masa depan yang adil dan setara.


error: Sorry, content is protected!