Sumber: https://www.indiatimes.com/news/india/chipko-andolan-was-the-strongest-movement-to-conserve-forests-india-needs-it-again-342183.html

Gerakan Chipko sebagai Upaya Ritual Merawat Alam

Posted

by

Gerakan Chipko telah menjadi bagian dari sejarah penting bagi pejuang keberlanjutan alam dan gerakan lingkungan, utamanya di wilayah Uttar Pradesh, Nepal. Kata Chipko, berarti “to hug” atau memeluk, atau “to cling to” atau menempelkan diri ke pohon. Silakan lihat gambar di samping. Lebih lanjut, kata Chipko menjadi propaganda untuk menunjukkan keberpihakan kepada alam daripada komersialisasi hutan. Non-kekerasan adalah cara yang digunakan gerakan Chipko, dengan cara memeluk pepohonan untuk menghadang kerusakan hutan. Aktivitas tersebut menjadi bagian dari ritual yang ditujukan untuk keselarasan pohon, sungai, gunung, dan dewa di desa setempat. Para pengikut Ghandi menginternalisasi filosofi dan ritual sakral dari Chipko melalui simbol protes seperti berdoa dan berpuasa (Shah, 2008). 

Gerakan Chipko diinisiasi pada tahun 1974 oleh Gaura Devi serta 27 perempuan lain. Laki-laki tidak begitu terlibat karena menerima kompensasi pembebasan lahan hutan dari pemerintah dan pergi dari wilayah tersebut. Gaura Devi sendiri menolak kompensasi dan mengatakan bahwa sebelum menebang pohon, mereka harus menggunakan gergaji di tubuh mereka. Perempuan-perempuan Chipko berkeyakinan bahwa hutan itu seperti rumah kita, di mana kita mendapatkan sumber makanan, bahkan penghidupan. Apabila kita menebang pepohonan, maka akan terjadi banjir dan kehancuran bagi masyarakat sekitar dan generasi selanjutnya. Bagi mereka, hutan sebagai bagian dari alam dianggap sebagai entitas sakral yang perlu dihormati. Sakral di sini berarti menganggap alam sebagai perwujudan daya kreatif pembuat dan pengolah kehidupan. Lebih dalam lagi, penghormatan mereka terhadap alam sebenarnya menunjukkan kecerdasan ekologis melokal terhadap alam sebagai penopang ekosistem yang sehat.  

Pemicu gerakan Chipko dapat ditelusuri sampai ke abad-18. Pada tahun 1821 pemerintah Nepal mulai mengontrol area hutan Uttar Pradesh, wilayah Himalaya, di desa Uttarakhand. Tadinya, area tersebut dikultivasi dan dirawat oleh masyarakat setempat. Lalu, pada tahun 1962, terjadi konflik perbatasan India-Tiongkok yang menjadikan wilayah tersebut rentan terhadap erosi, hilangnya sumber air, karena konstruksi jalan dan penebangan pepohonan untuk kepentingan unit-unit militer. Di satu sisi, ketika jalan dibangun, berbagai situs penting agama Hindu seperti kuil Badrinath, Kedarnath, Gangotri, dan Jumnotri dapat diakses oleh penganut Hindu dari berbagai daerah, termasuk oleh turis asing. Di sisi lain, bisnis jas, pembangunan, dan properti seperti mendirikan tempat singgah dengan privatisasi pemandangan, tempat memancing, naik gunung, mulai menjamur (Shameer, 2015). Keduanya lebih banyak memberikan untung pada pebisnis yang notabene bukan warga lokal. Bahkan warga lokal kerap tidak diberikan akses untuk menebang pohon di wilayahnya sendiri. Urusan lingkungan setempat pun seolah tidak menjadi soal. Bangunan untuk tujuan wisata tetap terus dibangun. Deforestasi menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Terhadap situasi ini, pada tahun 1971, pekerja Sangha melakukan protes menyoal deforestasi kepada Kementerian Kehutanan. Lalu pada tahun 1973, konfrontasi dilakukan kepada penebang dan kontraktor dengan cara menabuh drum terus menerus. Kontraktor pun mundur. Tahun berikutnya, perlawanan terus dilakukan dengan cara protes kepada dua aktor sekaligus: kepada kontraktor dan pemerintah. Di tahun yang sama, Gaura Devi, kepala desa Mahila Mangal Dal di desa Reni, memimpin 27 perempuan untuk mengkonfrontasi pihak-pihak yang sama. Perlawanan ini memicu perlawanan solidaritas dari desa tetangga, termasuk para aktivis lokal dan internasional. Setelah terjadinya solidaritas yang semakin meluas, pemerintah Nepal mengeluarkan regulasi larangan menebang pohon selama 10 tahun untuk area sekitar Uttar Pradesh seluas lebih dari 1150 km² (Shameer, 2015).

Upaya perlawanan Chipko tidak hanya menjadi simbol gerakan ekologi, tapi juga memiliki diskursus menyoal keseimbangan ekologis antara manusia dengan alam. Dalam hal ini, perempuan Chipko menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan hutan di Uttar Pradesh. Kegigihan perjuangan mereka telah banyak dilihat dari perspektif feminisme dan ekologi, atau yang kita kenal dengan ekofeminisme. Ekofeminisme (Tøllefsen, 2011) sebagai alat bedah, membantu menyingkap mengapa terdapat perbedaan dikotomi hirarkis antara yang natural (alam) dan kultural pada laki-laki dan perempuan. Dalam dualisme alam/kultur, laki-laki dianggap merepresentasikan kultur, dan diposisikan untuk mendominasi proses alam, sedangkan perempuan dikondisikan pada tempat kedua, yang subordinat, seperti alam. Bagi Vandana Shiva, justru karena ini lah perempuan memiliki kedekatan yang erat dengan alam dan lingkungan karena interaksi sehari-hari (Shameer, 2015). Ekofeminisme bukan sekadar menyoal alihkendali proses alam dari laki-laki ke perempuan, tapi memberikan ruang bagi alam untuk tidak dijadikan subordinat belaka bagi keperluan manusia. Kondisi antroposentris tersebut juga yang dikritik oleh ekofeminisme terhadap peminggiran baik peran perempuan atau alam dalam membentuk kehidupan. Kita juga bisa menggunakan kerangka berpikir deep ecology (Milton, 2002), dalam memahami alam, yaitu dengan pendekatan biosentris, atau ekologi-sentris. Chipko juga menggunakan konsep biosentris dalam memupuk alam tidak hanya untuk dirinya, tapi juga keberlanjutan alam itu sendiri. Bagi Milton (2002) perspektif tersebut telah menganggap bahwa apa yang diproduksi alam tidak melulu dijadikan sumber hanya untuk kepentinggan manusia, tapi juga untuk memupuk kepedulian hak dan kesejahteraan keseluruhan. 

Gerakan Chipko tidak terbentuk secara institusional, tapi spontan dan organik untuk merespons deforestasi yang terjadi. Bagi mereka, berguru dan menghormati alam adalah kunci keselarasan hidup. Ketika pepohonan ditebang, mereka percaya bahwa kesejahteraannya juga akan terganggu. Seiring berjalannya waktu, ritual-ritual yang dilakukan gerakan Chipko tidak hanya ditujukkan untuk melawan deforestasi di wilayah Himalaya, tapi juga pada kasus penambangan liar di sungai Bhagirathi. 

Perempuan-perempuan Chipko, telah menunjukkan bahwa keselarasan alam dapat dicapai ketika relasi ekosistem pun dibangun secara adil, bukan bertumpu pada visi dan misi yang antroposentris-kapitalistik belaka. Cara non-kekerasan yang dilakukan mereka dengan cara chipko, atau ‘memeluk’ pepohonan, adalah simbol etika kepedulian yang telah diusung oleh ekofeminisme sebagai solusi terbaik melawan laku ekstraktif manusia terhadap alam. Dengan ekofeminisme, relasi non-dual antara manusia, binatang, tumbuhan, dan lainnya pada alam dibangun agar penindasan tidak terjadi, tidak berlanjut. Ekofeminisme mendorong relasi yang dibentuk dibangun berdasarkan etika kepedulian yang berkelanjutan. Lalu dengan deep ecology kita memahami bahwa relasi yang dikehendaki oleh gerakan Chipko berpusat pada alam, biosentris.

Gerakan seperti Chipko tidaklah mudah dilakukan. Apalagi berhadapan dengan raksasa kapital atau pemerintah serta aturan yang militeristik, kapitalistik, dan antroposentris. Ketika masyarakat juga masih memosisikan alam sebagai entitas kedua sebagaimana mereka mengkondisikan perempuan sebagai subordinat belaka, maka sulit untuk mencapai ekuilibrium di antaranya. Tidak mudah, bukan berarti tidak dapat dilakukan. Dengan saling berpegang tangan, Chipko dapat dilakukan dan bahkan memicu gerakan merawat alam dari wilayah yang berbeda. Barangkali kita bisa mulai dari meredefinisi posisi dikotomis antara yang natural/kultural dalam asosiasinya dengan posisi laki-laki/perempuan, dengan proposisi etika kepedulian, yang mana setiap entitas memiliki hak untuk tidak dijadikan subordinat belaka. Lalu, mereposisi alam sebagai guru utama dalam menjalani kehidupan. Keduanya bisa mulai tahap per tahap, diskusi di ruangan kelas, di media sosial, hingga kampanye dan terlibat dalam pembuatan regulasi antar institusi. Lalu, menggali filosofis dari setiap ritual yang dilakukan seperti gerakan merawat alam, Chipko. Saya kira, laku biosentris bukan lawan dari antroposentris. Tapi sebuah kewajiban. Dengan menghormati alam, keberlanjutan pun aman.


Bacaan lebih lanjut

Delhi Magazine. (2021, April 6). Gaura Devi, Who Started the ‘Chipko Movement’. Delhi Magazine. Retrieved November 5, 2022, from https://www.delhi-magazine.com/startup-inspirational-stories/gaura-devi-who-started-the-chipko-movement/

Hananto, A. (2021, August 29). Sejarah Memilukan Asal Mula Istilah “Tree Hugger” atau Para Pemeluk Pohon. Mongabay. Retrieved November 6, 2022, from https://www.mongabay.co.id/2021/08/29/sejarah-memilukan-asal-mula-istilah-tree-hugger-atau-para-pemeluk-pohon/ 

Jain, S. (1984). Women and People’s Ecological Movement: A Case Study of Women’s Role in the ChipkoMovement in Uttar Pradesh. Economic and Political Weekly, 19(41), 1788-1794.

Milton, K. (2002). Loving Nature: Towards an Ecology of Emotion. Routledge.

Pst Ote. Materi perkuliahan mata kuliah Budaya Ekologis. FF UNPAR 2022.

Shah, H. (2008). Communication and marginal sites: the Chipko movement and the dominant paradigm of development communication. Asian Journal of Communication, 18.

Shameer. (2015). Chipko Movement and Ecofeminism. International Journal of Advanced Research in Social Sciences & Humanities, 3(1), 27-30.Tøllefsen, I. B. (2011). Ecofeminism, Religion and Nature in an Indian and Global Perspective. Alternative Spirituality and Religion Review, 2(1).


Sumber foto: https://www.indiatimes.com/news/india/chipko-andolan-was-the-strongest-movement-to-conserve-forests-india-needs-it-again-342183.html


Categories

error: Sorry, content is protected!