Catatan pointer untuk Kelas Isolasi:
Gayatri Chakravorty Spivak, lahir dan tumbuh di India pada 24 Februari tahun 1942 di Kolkata, India. Pemikirannya seringkali dikaitkan atau membahas tentang poskolonialisme.
Ia menyelesaikan studinya di Universitas Kolkata, Universitas Cambridge dan mendapat gelar Ph. D tahun 1967 dari Cornell University. Setelah itu ia mengajar bahasa Inggris dan Sastra Perbandingan (Comparative Literature) di Iowa dan Cambridge University. Ia pun ditunjuk sebagai Profesor di Kolombia pada tahun 2007.
Karya tulisnya mencakup ragam pembahasan yang kira-kira selalu berkelindan dengan bahasan poskolonialisme. Seperti, In Other Worlds: Essays in Cultural Politics (1987), The Post-Colonial Critic (1990), Thinking Academic Freedom in Gendered Post-Coloniality (1992), Outside in the Teaching Machine (1993), A Critique of Postcolonial Reason (1999), Death of a Discipline (2003), Other Asias (2005), and Readings (2014). Atas kontribusi akademiknya, Spivak mendapatkan penghargaan Padma Bhushan, di tahun 2013. Pada tahun 1976, Spivak mempublikasikan terjemahan buku Jacques Derrida yang berjudul De la grammatologie (1967) dalam bahasa Inggris.
Melalui poskolonialisme, Spivak hendak mendesak perempuan untuk terlibat atau campur tangan, dalam evolusi teori dekonstruksi. Maksudnya, historisitas perempuan yang khas, bukan soal inferioritas belaka, tapi sesuatu yang penting. Spivak juga hendak melakukan kritik terhadap interpretasi sejarah dalam konteks phallogocentrism (imperialisme juga bahasan Marx yang memang eurosentris). Ia mencontohkan hal ini dengan menuduh (menodong) feminis barat yang borjuis yang mendaku “menyelamatkan” perempuan tertindas, padahal terlibat dengan laku yang kapitalistik yang sebetulnya menindas dan mengeksploitasi perempuan “di negara berkembang” yang menurutnya “diselamatkan”.
Kata Kunci dalam Pembahasan Poskolonialisme Spivak
Kita akan memperhatikan bagaimana hegemoni perlu digugat tapi tidak dalam keranda yang homogeni, tapi heterogenitas. Maksudnya, misalnya menyamakan proletar satu dan yang lainnya. Itu tidak disarankan oleh Spivak. Karena malah akan menimbulkan penindasan yang penulis sebut sirkular dan membuka kesempatan kolonialisme [baru] hadir di situ. Hegemoni sendiri dalam pembahasan Spivak, boleh disebut menyoroti wacana dominan oleh laki-laki kulit putih [atau penulis bisa sebut juga white women dan yang berkaitannya]. Maksudnya, ini lagi bicara tentang kolonialisme yang Inggris lakukan terhadap India. Tercatat sejak tahun 1857 – 1947.
Lalu kita akan bertemu dengan konsep ekuivokasi. Dalam KBBI, ekuivokasi/eku·i·vo·ka·si/ /ékuivokasi/ merupakan penggunaan istilah atau kata yang sama dalam pengertian yang berlainan. Dalam logika atau kesesatan berpikir, kesesatan ekuivokasi (equivocation fallacy) adalah kesesatan yang disebabkan karena satu kata mempunyai lebih dari satu arti. Bila dalam suatu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah kata yang sama, maka terjadilah kesesatan penalaran. Contohnya. Iklan Clean your dirty balls. AXE ads. Lalu Looking for a sign? This is it! Spivak menyarankan agar kita berhati-hati dalam menggunakan konsep dari suata kata yang kita gunakan agar terhindar dari misunderstanding antar pihak.
Selanjutnya, tentu menyoal kata-istilah subalterns. Bahasa Latinnya yaitu subalternus, from Latin sub- ‘next below’ + alternus ‘every other’. Secara harfiah subaltern dalam kosa-kata Militer itu berarti “bawahan” atau “subordinate”, subaltern digunakan untuk menggambarkan perwira yang ditugaskan di bawah pangkat Mayor dan umumnya terdiri dari berbagai tingkat letnan dan kapten tentara – ajudan, bagaimanapun, dianggap sebagai pangkat lapangan. Dalam konteks Spivak, subaltern berarti individu/kelompok yang tertindas yang memiliki kekuatan hegemonik [terbatas atau dibatasi] atau aksesibilitas terhadap pengetahuan tentang hegemoni/kekuasaan juga tidak ada/terbatas/dibatasi. Melalui narasi sejarah, kaum tertindas tidak memiliki akses ke mereka yang menguasai hegemoni). Kaum tertindas dapat mengkonsolidasikan kekuatan untuk memaksa hegemoni melakukan revisi sejarah. Subaltern bisa termasuk brown woman, low caste. Terus “anggapan kita” acquired at birth of their gender, non changeable. Dengan asumsi itu, white man merasa bisa rescue.
Sejarah revisionis adalah ketika orang yang tertindas diberi kesempatan untuk ditulis ulang ke dalam sejarah. Subalterns kurang diakui dan tidak dapat berkontribusi pada sejarah revisionis. Subalterns dan tertindas bukanlah istilah yang dapat dipertukarkan.
Can Subalterns Speak?
Spivak menilik kembali oposisi biner antara subjek dan objek, self dan other, Occident (Barat) dan Orient (Timur), pusat dan marjinal, mayoritas dan minoritas. These intellectuals constitute the subaltern Other of Europe as anonymous and mute.
Spivak mempertanyakan soal gender dan perbedaan seksual dalam pekerjaan. Subaltern menurut Spivak adalah mereka yang termasuk “negara-negara dunia ketiga”. Mustahil bagi mereka untuk angkat bicara karena mereka terbagi berdasarkan jenis kelamin, kelas, kasta, wilayah, agama, dan narasi lainnya. Perpecahan ini tidak memungkinkan mereka untuk berdiri dalam kesatuan.
Tradisi Sati
Sati merupakan tradisi orang-orang Hindu, di mana seorang perempuan (istri) dibakar hidup-hidup dengan tumpukan mayat suaminya. Dari sukarela menjadi terpaksa. Menurut adat Hindu kuno, sati melambangkan penutupan pernikahan [closure to a marriage]. Itu adalah tindakan sukarela di mana, sebagai tanda sebagai istri yang berbakti, seorang wanita mengikuti suaminya ke alam baka.
Ketika Inggris datang untuk menjajah ke India, mereka melarang praktik ini. Inhuman act. Meskipun menyelamatkan sejumlah nyawa, tapi di sisi politis, pelarangan Sati juga membantu Inggris untuk mengamankan kekuasaan mereka di India. Apakah perempuan India yang hidup di lingkungan tradisi tersebut, ikut bicara? Dalam perspektif Inggris, “white men are saving the brown women from brown men.” Pernyataan ini menciptakan “kebenaran” bahwa orang India adalah barbar dan Inggris di sisi lain beradab (civilized) dan karenanya aturan mereka dibenarkan atas orang India.
Aku jadi inget Female Genital Mutilation, ya meskipun itu anak kecil ya. Perlu dibahas di lain konteks. Lalu honour killing.
Kritik terhadap Foucault-Deleuze Menyoal Kekerasan Epistemik
Bagi Foucault dan Deleuze, proletariat dapat berbicara sendiri, dan dalam hal ini, proletariat memiliki suara dan akses ke suara-suara kekuasaan yang hegemonik. Spivak tidak setuju dengan ini. Spivak menolak dan memberikan contoh subaltern yang tidak memiliki suara. Spivak memang tidak menolak adanya perwakilan subaltern. Tapi dia membuka perspektif bahwa mungkin ada kondisi yang menjadikan subaltern kehilangan suara total.
Kekerasan epistemik, yakni kekerasan yang dilakukan terhadap atau melalui pengetahuan, mungkin merupakan salah satu elemen kunci dalam setiap proses dominasi. Bukan hanya melalui konstruksi hubungan ekonomi yang eksploitatif atau kontrol aparatus politik-militer yang mendominasi, tetapi juga dan, menurut saya, yang paling penting melalui konstruksi kerangka epistemik yang melegitimasi dan mengabadikan praktik-praktik dominasi tersebut.
Epistemic-violence, adalah hal yang dikritik Spivak terhadap Foucault-Deleuze karena memproyeksikan pengetahuan eurosentris ke “negara-negara dunia ketiga”. Ini merupakan kekerasan epistemik, sebuah kontrol. Penciptaan kelas “interpreter” antara yang terjajah dan yang menjajah, dipekerjakan untuk menanamkan dan mengindoktrinasi yang terjajah dengan ideologi Barat. Mereka berperan sebagai “sub-penindas”, yang menenangkan kaum terjajah dengan indoktrinasi pendidikan kaum tertindas. Menurut Spivak, Western Knowledge diproduksi untuk mendukung kepentingan ekonomi mereka belaka. Dengan demikian pengetahuan itu seperti komoditas lain yang diekspor dari Eropa ke negara-negara dunia ketiga. Thus, knowledge is never innocent.
Tapi knowledge menjadi pengungkapan, wajah minan produsennya. Hal-hal yang Eropawi, diinternalisasi sebagai bentuk dan nilai yang ideal.
Kritis terhadap Ideologi yang Esensialis
Para leftist, menurut Spivak, essentialized para subalterns dengan menganggap orang-orang dunia ketiga sama memiliki satu identitas atau isu yang sama. Ini memiliki 3 dampak negatif pada subalterns.
- Reformasi subalterns, tapi juga membuka kembali pintu kolonialisme [baru]
- Ini memberikan asumsi logosentris tentang kesatuan budaya di antara orang-orang yang heterogen
- Subalterns menjadi tergantung pada intelektual Barat untuk berbicara tentang kondisi mereka daripada membiarkan mereka berbicara untuk diri mereka sendiri.
To speak for their condition ≠ allowing them to speak for themselves.
Dalam hal ini, Spivak setuju [revisi] bahasan Marx bahwa proletar [subalterns], coerced [ditipu] dan deceived [dipasa] ke dalam lingkup penindasan.
Representasi dan Re-Presentasi dalam Konteks Permission to Narrate
Ada dua bentuk representasi.
- Representasi (Vertreten) [bahasa Jerman, mewakili] – representasi politik dari dalam kekuatan hegemonik.
- Re-presentasi (Darstellen) [idem] – re-presentasi – sesuatu yang telah dipresentasikan akan dipresentasikan kembali (self-representation). Mengubah sifat representasi. (84)
Hanna Putki, Profesor dalam bidang Politik, membahas makna representasi yang spesifik. Yaitu, darstellen, vertreten, dan repräsentieren.
Darstellen merujuk pada pengertian menggambarkan dan mendekripsikan. Vertreten bermakna sebagai agen yang berbicara atas nama pihak yang diwakili. Lalu representieren sama dengan vertreten tapi dalam konteks yang lebih rigid dan formal seperti pemerintahan. Darstellung bisa mempengaruhi yang Vertretung.
Tulisan Spivak sulit dibaca. Yang bisa penulis tangkap adalah teguran Spivak: kita perlu melihat lebih jauh yang terkandung dalam kata “representasi” kata yang lebih tajam ketimbang “perwakilan”. Dalam kata “perwakilan”, seperti dalam kata “representasi”, memang tersirat ada sesuatu yang tak hadir namun beroleh penggantinya yang seakan-akan menghadirkan dia. Tapi kata “representasi” tak hanya itu. Apakah subaltern menjadi catatan kaki yang dianggap tidak penting?
Saya kira Spivak tak berniat mengatakan bahwa kaum subaltern tak boleh diwakili. Pada umumnya subaltern ini tak punya akses ke percakapan yang lebih luas dan cenderung diabaikan. Maka kaum subaltern perlu disiapkan, dididik, buat mengartikulasikan dirinya sendiri. Namun persoalannya kembali: siapa yang akan mendidik?
What kind of “representation” would you like to choose in everyday’s life?
Feautured images: https://www.telegraphindia.com/my-kolkata/events/an-afternoon-with-gayatri-chakravorty-spivak-on-books-thoughts-derrida-mahasweta-devi/cid/1860878
Bacaan lebih lanjut: