Rick Wilford membahas Feminisme dalam buku Political Ideologies: An Introduction edisi ke-3 (2003) ke dalam 16 sub-bahasan, dengan total sekitar +26 halaman, termasuk kesimpulan. Saya akan merangkumnya secara singkat dan saya akan memberikan tanggapan di akhir tulisan.
Wilford membuka tulisannya dengan menekankan bahwa tulisan ia, sama seperti tulisan lain di buku Political Ideologies, yaitu menjelaskannya dalam konteks ideologi politik yang bertekstur terbuka. Maksudnya, dalam setiap ideologi, terdapat faksi-faksi yang memiliki interpretasi berbeda satu sama lain dan terbuka pada pengembangan definisi ke dalam spektrum yang lebih luas. Suatu ideologi dapat didefinisikan berdasarkan sifatnya yang cair, plural, dan beragam, bukan monolitik. Begitupun dengan feminisme. Menurut Wilford, alih-alih mengklaim diri sebagai feminis, lebih baik ajukan pertanyaan What kind of feminist am I?. Karena dengan pertanyaan ini, kita dapat mengeksplorasi ide-ide feminis beserta kemungkinan-kemungkinan pendefinisiannya dari berbagai pemikiran.
Suara-Suara yang Bising
Kehadiran posmodernisme telah mempengaruhi bagaimana feminisme dan feminis didefinisikan. Di satu sisi, terdapat feminis yang memiliki obsesi untuk mengungkap “kebenaran” tentang keberadaan perempuan secara absolut. Tapi karena kemunculan posmodernisme, justru keberagaman dan kompleksitas feminisme dirayakan. Jargon universal sisterhood yang diartikulasikan secara tunggal oleh perempuan kulit putih, memiliki akses pendidikan, dan datang dari kelas menengah, dikritik oleh pemikiran feminisme kontemporer: bahwa itu hanya produk etnosentrisme Barat belaka. Yang perlu lebih banyak disoroti adalah kenyataan bahwa identitas perempuan dibentuk oleh struktur-struktur yang saling berkait-kelindan seperti umur, etnis, kelas. Maka dari itu, perjuangannya pun tidak bisa dikonseptualisasi hanya ke dalam doktrin tunggal.
Apa sih artinya menjadi seorang perempuan? Pertanyaan retorik ini, juga merupakan tantangan dari posmodernisme untuk membongkar tatanan tunggal menyoal feminisme yang memungkinan kita untuk melakukan reposisi dan atau redefinisi.
Posfeminisme?
Posfeminisme yang dibahas Wilford hendak menjelaskan bahwa perempuan sekarang sudah setara dengan laki-laki, dapat mengekspresikan otonominya secara publik dan privat. Hal ini dikritik oleh Germaine Greer (1999), seorang feminis gelombang kedua (1960-70an) dengan cara membahas retorika keadilan (rhetoric of equality) dalam tulisannya The Female Eunuch (1970). Ia mengkritik feminis yang memprioritaskan gaya hidup (seks, kepemilikan modal, fesyen) daripada persoalan feminisme ‘sebenarnya’, the true task, yaitu membebaskan perempuan dari ekspektasi-ekspektasi yang bukan keinginannya. Penjelasan Greer bercokol pada perspektifnya yang esensialis, bahwa memang betul adanya terdapat perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Tapi karena itu, kita dapat mendefinisikan diri.
Wave-ing or drowning?
Feminisme seringkali dijelaskan dengan cara membaginya ke dalam 3 babak, atau gelombang, sesuai kronologi waktu, atau persoalan politik praktik yang menyertainya. Gelombang, dalam kacamata Wilford, memberi kesan terdapat tubuh dan lautan ide-ide, yang mendorong terciptanya reformasi. Biasanya, gelombang ini, erat dengan praktik kampanye-kampanye politik. Feminisme gelombang kesatu, terjadi sekitar akhir tahun 1920an, bermula dari tradisi pemikiran liberal yang mendorong terciptanya keadilan antar gender. Puncak dari gelombang ini ialah terjadinya gerakan yang menuntut dibukanya akses hak pilih bagi perempuan. Pemikiran feminisme gelombang satu berpusat pada pemikiran penyeragaman (uniformity) posisi hak politik antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, feminisme gelombang kedua, terjadi sekitar pertengahan tahun 1960an. Pembebasan perempuan menjadi isu yang paling disoroti. Kritik terhadap gelombang sebelumnya: terlalu berfokus pada kesamaan akses hak politik. Lalu pada feminisme gelombang ketiga, isu tentang keragaman subjektifitas perempuan menjadi sorotan. Hal ini dimotivasi oleh keperluan politis seperti pengakuan dan validasi keberagaman identitas: misalnya, perempuan kulit hitam, perempuan muslim, lesbian, perempuan disabilitas, dan seterusnya. Barbara Arneil (1999) mendefinisikan feminisme gelombang ketiga sebagai sebuah komitmen untuk memberikan ruang dan pengakuan bagi perspektif-perspektif yang berbeda, antara perempuan, laki-laki, dan gender lainnya. Menurut Wilford, pendefinisian yang beragam ini, justru menjadikan lautan ide menenggelamkan feminis itu sendiri. Posmodernis berargumen bahwa pengakuan an identity itu cacat karena berdasarkan asumsi modern yang menekankan closed-meaning.
Tentang Hak Pilih
Adalah hal yang revolusioner ketika protes dibukakannya akses hak pilih untuk perempuan, mendorong antar perempuan (dan juga laki-laki) dapat bekerja secara kolektif. Pun begitu, terdapat perbedaan motif di dalamnya. Apakah perempuan harus diperlakukan sama, atau justru berbeda, di hadapan hukum dan kebijakan publik? Para feminis pendukung kesamaan hak, mendesak bahwa perempuan harus diperlakukan selayaknya manusia, bukan sebagai sexual being belaka. Mary Wollstonecraft (1759-97) dalam tulisannya A Vindication of the Rights of Woman (1792) mempromosikan ide tersebut berdasarkan inspirasinya dari prinsip-prinsip Pencerahan. Menurut Wollstonecraft, perempuan harus diperlakukan sebagai individu bebas dan independen berdasarkan premis bahwa Akal tidak memiliki alat kelamin/gender, the mind has no sex. Pemikiran ini mempengaruhi protes-protes dihilangkannya kepemilikan perempuan oleh laki-laki yang dijustifikasi oleh hukum. Tapi berbeda dengan para feminis evangelikal yang mengakui perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang mana perlakuan terhadapnya pun perlu berbeda. Mereka menyetujui pembagian kerja: perempuan mengurusi domestik, dan laki-laki mengurusi publik, dan mendorong hal itu dilegislasi. Feminis evangelikan yang secara sosial konservatif ini mengakui perbedaan dualistik dalam konteks kualitas alamiah antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan itu dianggap secara moral lebih superior daripada laki-laki, sedangkan laki-laki itu memiliki kondrat sifat-sifat kompetitif, egois.
Keduanya sama-sama memiliki justifikasi untuk mendapat akses hak pilih dan bahkan mempromosikan dirinya menjadi ‘pemimpin’, namun dengan motif yang berbeda. Perbedaan antara feminis pendukung kesamaan hak dan feminis evangelikal, menurut Wilford, justru mengakomodasi perpecahaan. Apalagi dalam konteks pemilihan umum/politik.
Kesejarahannya
Sejauh sejarah menulis, narasi yang membahas perbedaan perlakuan terhadap perempuan, bisa kita lacak sampai tradisi politik di era Yunani Kuno berdasarkan pemikiran Plato dan Aristoteles. Lain daripada itu, Christine de Pizan dari Prancis (1364-1430), dapat dikatakan sebagai perempuan pertama yang menuliskan tentang hak dan kewajiban seorang perempuan (Bryson, 1992), lalu Mary Astell (1666-1731) sebagai feminis Inggris pertama (Hill, 1986). Mereka berdua menulis ketika dalam kondisi terisolasi dan tidak memiliki kolektif untuk mempromosikan tulisan atau pemikiran mereka, karena tentu kondisi sosial tidak memungkinkan perempuan terbiasa dengan literasi atau keleluasaan untuk berbicara di umum. Untuk akar perjuangan perempuan modern, dapat kita lacak pada era revolusi Prancis, di mana perempuan dapat terlibat dan atau membentuk klub kolektifnya sendiri. Isu yang menjadi sorotan adalah penghapusan perbudakan (abolish slavery). Puncaknya adalah pertemuan besar di Seneca Falls New York pada Juli 1848 untuk membahas penghapusan perbudakan dan penerbitan Declaration of Resolutions and Sentiments. Kemunculan pertemuan ini, termasuk ide-ide feminisme yang muncul begitu dinamis, menurut Wilford, adalah untuk menunjukkan bahwa perkembangan feminisme itu seperti gelombang: uneven rather than linear, like the motion of wave.
Feminisme dan Penumbangan Ortodoksi
Lantas, apabila feminisme memiliki karakteristik yang beragam, bagaimana kita dapat memahami doktrinnya? Menurut Wilford, dengan cara mengkontekstualisasikannya dengan ideologi lain. Wilford mengakui solusi ini seolah mendeskripsikan bahwa feminisme tidak memiliki hidup atas dirinya sendiri, atau seolah hanya dapat dipahami dalam relasinya dengan ideologi lain. Tapi maksud relasionisme ini justru memudahkan kita memahaminya dalam konteks yang spesifik.
Ide-ide feminisme tidak berarti derivatif, karena feminisme tidak hanya melakukan negosiasi ide, tapi juga mengintrogasinya. Misalnya, dalam hal perkembangan ide politik, feminisme mengkritik oposisi biner yang dipahami secara either-or: positif atau negatif. Oposisi biner lainnya seperti: culture-nature, reason-emotion, public-private, male-female. Asosiasinya pun begitu biner. Akibatnya, hal-hal di luar oposisi biner akan dianggap subversi, atau tidak normal. Diskursus oposisi biner menyoal sex dan gender juga direspons oleh feminis secara beragam. Ada yang berpendapat bahwa ketidakadilan berakar dari perbedaan identitas biologis. Ada juga yang berpendapat bahwa opresi terhadap perempuan karena konstruksi yang terjadi di lingkungan sosial.
Patriarki: Masalah Laki-Laki?
Perlu diakui bahwa pada feminisme gelombang kedua, terdapat feminis yang secara radikal memposisikan laki-laki sebagai musuh perempuan. Kemarahan pun dilontarkan kepada laki-laki yang bersikap acuh-tak-acuh terhadap kenyataan penindasan terhadap perempuan. Sebaliknya, terdapat feminis yang menjadikan laki-laki sebagai teman, atau allies, dalam perjuangan mencapai keadilan gender. Dukungan laki-laki dibutuhkan tidak dalam kerangka pragmatis, tapi karena secara esensial, itulah cara untuk mencapai masyarakat adil. Melalui perspektif ini, laki-laki dapat klaim dirinya seorang feminis.
Ketika berbicara subordinasi perempuan, Wilford menekankan, tidak dapat dipisahkan dari kultur patriarki. Dalam penjelasannya, “…patriarchy is understood in ahistorical and universal terms: that men always have been, are, and always will be, motivated to dominate women and will employ both subtle and unsubtle means to exert their control.” Patriarki tidak hanya mengontrol urusan publik, tapi juga dalam ruang di mana perempuan diposisikan secara kultur, yaitu privat. Karenanya, muncul istilah the personal is political.
Hadir pembelaan dari interpretasi patriarki secara radikal yang idenya berdasarkan determinisme perbedaan biologis: laki-laki dianggap memiliki kodrat untuk memiliki kuasa atas perempuan, karena begitu adanya. Hal ini direspons oleh interpretasi gender yang menyebut bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan itu cair, karena sebuah konstruksi sosial dan budaya.
Feminisme Liberal Awal
Wollstonecraft mendorong perempuan untuk memiliki akses mengembangkan rasionya. Ia mendesak adanya kesempatan akses pendidikan yang adil. Ketika akses itu terbuka, maka laki-laki dan perempuan dapat mengembangkan dirinya menjadi individu rasional. Maka, mereka berdua dapat menjalankan pernikahan berdasarkan peran-peran yang komplementer, a companionate relationship. Wollstonecraft hendak mengkritik masyarakat kelas menengah yang memposisikan perempuan di ruang domestik dan laki-laki di ruang publik belaka. Femininitas, menurut Wollstonecraft, bukan atribut alamiah, melainkan konstruksi artifisial. Ia mengkritik karya J. J. Rousseau berjudul Emile, di mana dalam narasinya, laki-laki diposisikan memiliki sifat alamiah rasional, sedangkan perempuan selalu bergantung pada laki-laki. Perbedaan ini terjadi karena pendidikan mengkonstuksinya demikian: laki-laki diedukasi untuk menjadi rasional, sedangkan perempuan diedukasi untuk pintar memikat suami masa depannya. Pun begitu, Wollstonecraft tidak membahas transformasi pembagian kerja di keluarga, atau menganggap keluarga sebagai sumber opresi perempuan. Inilah yang dikritik oleh feminis Marxis dan sosialis, berkaitan dengan berkembangnya masyarakat kapitalis.
Feminisme liberal awal dipengaruhi oleh pemikiran Harriet Taylor (1807-58) dan suaminya yang kedua, John Stuart Mill (1806-73). Advokasi Mill berkaitan dengan implementasi keadilan hak untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar: seperti kebahagiaan. Salah satu caranya adalah memberikan akses pekerjaan kepada perempuan. Harriet sendiri menambahkan, bahwa pekerjaan bagi perempuan tidak hanya perihal asuransi finansial saja, namun untuk kebebasan psikologis. Menurut Wilford, feminisme liberal awal tidak menyadari kemungkinan terjadinya alasan struktural yang menyebabkan opresi perempuan seperti alasan ekonomi.
Feminisme Sosialisis & Marxis
Feminisme sosialis menyebut bahwa ketidakadilan gender tercipta karena adanya masyarakat kelas. Tradisi berpikir ini muncul antara era Wollstonecraft dan Mill, tapi feminisme liberal tidak melihat adanya masalah ketika perempuan mendapatkan hak sipil dan politik tapi juga tetap melakukan kerja domestik. Para sosialis seperti William Thompson (1775–1833), Anna Wheeler (1785–?), Robert Owen (1771–1858) di Irlandia dan Inggris, lalu Charles Fourier (1772–1837) dan Henri Saint Simon (1760–1825) di Prancis, sepakat menjelaskan bahwa perempuan mengalami opresi ganda: tidak hanya di ruang publik tapi juga di ruang keluarga, di mana mereka dianggap sebagai budak oleh suaminya. Lebih lanjut, feminisme sosialis memahami pernikahan yang dilakukan dalam kultur kapitalis, juga merupakan sumber opresi terhadap perempuan. Solusinya, ciptakan relasi terbuka yang dibangun berdasarkan sifat kooperatif. Para feminis sosialis menyarankan penghapusan kepemilikan properti, distribusi sumber alam secara komunal dan adil, maka dengan ini akan tercapai kebahagiaan. Perbedaan feminisme sosialis dengan liberal yaitu: pertama, mereka fokus pada keadilan ekonomi, kedua, mereka membedakan antara sifat alamiah laki-laki dan perempuan. Ketika para liberal menyarankan companionate relationships, para sosial menyarankan free sexual expression.
Bagaimana dengan feminisme Marxian? Marx memperhatikan relasi laki-laki dan perempuan berdasarkan kepercayaan bahwa emansipasi perempuan hanyalah produk dari sosialisme, yang mana taken for granted. Menurut Marx, kondisi egalitarian dapat tercipta ketika terjadi transformasi kapitalisme, yang mana mengandaikan adanya revolusi oleh para pekerjanya. Baik laki-laki dan perempuan harus terlibat dalam politik kelas dengan tujuan kapitalisme dapat ditumbangkan. Masyarakat tanpa kelas adalah yang hendak dicapai. Dengan Engels, Marx menjelaskan bahwa pernikahan bisa saja terjadi tapi ketika kepemilikan properti sudah dihapuskan bersama dengan motif materialistik yang dibentuk oleh kapitalisme. Menurut feminisme Marxis, subordinasi perempuan terjadi karena penyakit endemi masyarakat kapitalis, dan hanya bisa hilang dalam kultur sosialis.
Perempuan yang Liyan (the other)
Pembahasan the otherness atas perempuan dibahas oleh filsuf Prancis, Simone de Beauvoir (1908-86), melalui bukunya The Second Sex (1949). De Beauivoir hendak menanyakan pertanyaan reflektif What is Woman?
Perempuan, menurut de Beauvoir, diminta untuk memahami bahwa otherness dirinya telah didikte oleh laki-laki, tapi juga diinternalisasi oleh kondisi dirinya. De Beauvoir mengkritik teori Freud bahwa psike perempuan berkaitan dengan penis envy, perempuan dianggap tidak lengkap, disebut sebagai laki-laki yang tidak sempurna. Menurutnya, “Women… were not fated to become submissive others whose existence was given meaning only in relation to, and by, men. Rather, they must realize their own capacity for self-awareness, make their own choices and celebrate their own needs.” Perempuan, dapat mengontrol tubuhnya sendiri, daripada diatur diperbudak oleh orang lain. Maka dari itu, muncul pernyataan dari de Beauvoir One is not born but rather becomes a woman. Pandangan ini erat dengan perspektif eksistensialis, yang mana memposisikan manusia dapat memaknai dirinya sendiri, bukan secara esensialis.
Gelombang ke-2
Bersamaan dengan waktu Perang Dunia ke-2, khususnya di Eropa, perempuan diprivatisasi dalam rangka mengurusi pekerjaan domestik selagi suaminya berangkat perang. Karenanya, muncul istilah state-feminism, yang ditandai dengan pernyataan simbolik: perempuan memakai topi. Hal ini yang menginspirasi Betty Friedan (1921-?), seorang feminis liberal Amerika, menulis buku yang berjudul The Feminine Mystique (1963) yang disebut kunci teks memahami feminisme gelombang ke-2. Konten dalam bukunya berisikan ide-ide liberal dan feminisme persamaan hak. Menurutnya, perempuan terjebak dalam gaya hidup yang menjadikan mereka tidak memiliki independensi. Ia pun menawarkan solusi bahwa perempuan perlu mengikuti kualifikasi pendidikan dan mendapatkan pekerjaan sebagai medium untuk terbebas dari kurungan kehidupan domestik.
Kritik-Kritik Feminisme Radikal
Di Amerika Serikat, feminisme radikal hadir bersamaan dengan munculnya kampanye hak orang kulit hitam dan New Left pada tahun 1960an. Menurut para feminis radikal, organisasi New Left juga diskriminatif dan seksis. Mereka dilabelisasi dengan istilah malestream. ‘We [men] make the policy, you type it up’
Kekuasaan laki-laki dan privilese grup seperti New Left, dikritik oleh feminis radikal dengan cara membuat kolektif mandiri sendiri seperti: Furies, SCUM (Society for Cutting Up Men) dan WITCH (Women’s International Conspiracy from Hell). Dalam manifestonya pada tahun 1969, mereka menulis: “Women are an oppressed class. Our oppression is total . . . We identify the agents of our oppression as men. Male supremacy is the most basic form of domination. . . . All men receive economic, sexual and psychological benefits from male supremacy. All men have oppressed women . . . we will always take the side of women against their oppressors. We will not ask what is ‘revolutionary’ or ‘reformist’, only what is good for women.” (Crow, 2000: 223–35) Salah satu penulisnya, Shulamith Firestone (1945-?) menyoroti representasi perempuan sebagai kelas seks universal. Lebih lanjut, Firestone menjelaskan bahwa dalam rangka mencapai pembebasan perempuan, revolusi jangan bercokol pada sektor ekonomi, tapi pada sektor biologis. Teknologi seharusnya dapat membebaskan perempuan dengan cara membolehkan fertilisasi tanpa terjadinya seks (intercourse), lalu embrio dapat dikembangkan di luar rahim, dan anak-anak yang lahir itu dapat diurus di luar konteks keluarga batih. Kate Millet (1934-?) merekomendasikan masyarakat androginus di mana kebijaksanaan itu terletak pada identitas umum.
Diferensiasi dan Subjektifitas
Warisan feminisme gelombang kedua merupakan diskursus kritis terhadap patriarki, ditandai dengan desakan feminis radikal atas perbedaan laki-laki dan perempuan, lalu kritik terhadap universal sisterhood. Menurut bell hooks (1952-?), “…despite all the rhetoric about sisterhood and bonding, white women were not sincerely committed to bonding with black and other groups of women to fight sexism. They were primarily interested in drawing attention to their lot as white upper and middle class women” (1981). Hooks mengingatkan adanya masalah interseksional yang memposisikan perempuan kulit hitam tertindas. Diferensiasi menghasilkan herstories sekaligus pengakuan subjektifitas yang beragam.
CATATAN PERSONAL
Wilford telah menjelaskan feminisme dengan cara yang deskriptif dan cukup untuk sebuah pengantar atau pembuka bagi pembacanya yang ingin memahami feminisme lebih lanjut. Dalam hal ini, feminisme yang dibahas Wilford, adalah hanya pada lingkup regional Barat saja. Tokoh-tokoh dan pemikiran feminisme yang berasal dari regional jajahan Barat tidak dibahas. Pun begitu, saya menikmati membaca bagian tulisan Wilford satu ini.
Gelombang, lautaan ide, tidak merata, dinamis, tidak linear. Begitulah perkembangan feminisme sebagai ideologi, dan feminis sebagai subjek yang bercokol di dunia praktik. Spektrumnya meluas, dan seringkali dianggap hanya berupa derivasi dari isme Grand Narrative belaka. Saya kira, persoalan demikian ada pada tataran memahami isme berdasarkan objek formal dan materialnya. Suatu isme dan lainnya, tidak berkaitan dalam konteks dominasi-yang didominasi, utama-turunan, tapi dalam kerangkan kait-kelindan.Saya setuju dengan pembukaan Wilford di tulisan Feminisme ini: alih-alih klaim sebagai feminis, kita perlu bertanya what kind of feminist am I? Karena kenyataannya, seperti yang telah ditulis, feminisme pendukung kesamaan hak dan feminisme evangelikal memiliki motif berbeda, begitupun feminisme liberal dan feminisme sosialis. Lebih lanjut hari ini, saya sendiri menemukan spektrum lain dari feminisme yang bahasannya menyangkut sex positive versus feminisme anti pornografi. Atau, feminisme transhumanis versus feminisme materialis, dan seterusnya. Bagi penstudi filsafat, perspektif feminisme penting untuk dipelajari supaya kita tidak naif dalam memandang teori-teori menyoal manusia dari filsuf-filsuf terdahulu hingga sekarang. Misalnya, ketika Aristoteles menjelaskan keadilan proporsional, pada saat yang sama Aristoteles mendefinisikan perempuan sebagai defected, cacat, dan hanya laki-laki yang bebas dapat berkontribusi dalam ruang publik.