Menghargai Sapaan (Pronoun)

Posted

by

Ketika kita hendak mendaftar sekolah, kuliah, bahkan kelas-kelas dan webinar, biasanya kita diminta untuk menuliskan atau mengisi formulir tentang jenis kelamin atau gender kita. Tujuannya beragam, dari urusan pendataan saja, atau untuk mengetahui representasi gender. Seringkali terdapat pilihan jenis kelamin, lalu pilihannya merujuk pada laki-laki atau perempuan, tapi ada juga yang memberikan pilihan ketiga dengan tulisan lainnya (seperti other atau prefer not to say). Apabila kita mendefinisikan jenis kelamin dan gender itu berbeda, maka pilihan jenis kelamin yang tadi dicontohkan tertukar dengan pendefinisian gender. Apa boleh buat, pernormalisasian ini sudah tercatat secara struktural dalam KTP kita.

Dalam pendefinisian jenis kelamin dan gender secara tradisional, biasanya kita menjelaskan bahwa jenis kelamin adalah aspek biologis yang melekat kepada manusia ketika ia lahir, sedangkan gender adalah konstruksi sosial yang dilekatkan di keseharian, tergantung norma gender di mana ia dilahirkan. Atas penjelasan biner ini, maka jenis kelamin biasanya disebut alamiah (nature), dan gender sebagai konstruksi (nurture). Robert Stoller, seorang psikolog dan periset di UCLA Gender Identity Clinic menyebut bahwa kata gender mendeskripsikan bagaimana perilaku feminin dan maskulin ditampilkan seseorang dan kata jenis kelamin mendeskripsikan karakteristik biologis seseorang (Mikkola, 2017). Mikkola sendiri menjelaskan definisi yang serupa, bahwa gender menjelaskan karakter denotasi laki-laki dan perempuan berdasarkan faktor sosial seperti peran, posisi, perilaku, sedangkan jenis kelamin menjelaskan karakter denotasi karakteristik biologis akan tubuh seseorang. Tentu terdapat beragam debat di dalam pembahasan ini. Dan saya kita, Stroller dan Mikkola sama-sama menjelaskan gender dan jenis kelamin hanya dalam konteks biner laki-laki dan perempuan belaka. Lebih lanjut, ada yang membedakan jenis kelamin dan gender berdasarkan pengakuan terhadap diri sendiri (coming in), ada juga yang menyamakan konteks jenis kelamin dan gender sebagai suatu performativitas berdasarkan dekonstruksi istilahnya. 

Yang pertama, menyoal pengakuan terhadap diri sendiri. Seseorang yang terlahir dengan jenis kelamin tertentu, seolah dikondisikan oleh pelabelan gender yang disepakati secara turun temurun di wilayahnya. Kategori jenis kelamin penis dan vagina muncul karena penyimpulan bentuk-bentuk karakteristik seks yang paling mendekati. Ketika muncul seorang interseks, biasanya dokter atau mungkin keluarganya, seolah memiliki hak untuk memilih kategori jenis kelamin mana yang dikehendaki. Tentu saja dokter akan sebut memberikan saran menyoal karakteristik seks mana yang paling mungkin untuk diselamatkan. Tapi dalam konteks seksisme, siapa yang tahu bahwa ada aspek-aspek yang mempengaruhi tidak hanya orang tua, tapi juga pekerja medis di sekitar? Dalam artikel HRW (2017), disebutkan bahwa prosedur operasi jenis kelamin (kategori interseks ke dalam kategori biner penis atau vagina) dilakukan dengan tujuan supaya anak dapat tumbuh dengan ‘normal’ dan dapat terlibat ke dalam lingkungan masyarakat dengan gampang.

Untuk orang yang lahir dengan jenis kelamin dan gender yang selaras menurut lingkungan heteronormatif, dalam hal ini berarti cis-gender, ia juga dilabeli oleh lingkungan sekitar dengan label-label tertentu yang nanti mengikatnya. Mungkin bisa sampai melimitasi pergerakannya. Misalnya, manusia bervagina dilahirkan dan dilabeli bergender perempuan. Bagi lingkungan yang patriarkal, pekerjaan domestik atau 3ur (sumur, dapur, kasur) seolah sudah terkondisikan ketika ia lahir. Apabila tidak dilakukan, maka dianggap aneh, liyan, dan tidak tunduk terhadap tradisi. Lalu manusia berpenis yang dilahirkan dan dilabeli bergender laki-laki, dianggap liyan ketika tidak maskulin, tidak kuat, dan seterusnya. Begitu banyak aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang ditujukkan untuk penundukkan tubuh-tubuh yang dianggap berlainan dengan hal kodrati berdasarkan aturan ortodoks anti-keberagaman. Di era Suharto sebelum reformasi, terdapat penyeragaman seragam sekolah dan atribut seperti penutup kepala (re: hijab, kupiah) karena dianggap memiliki relasi dengan radikalis yang nantinya dianggap anti-pemerintah. Lalu Menristek pada tahun 2016 menyebutkan bahwa LGBT tidak diperkenankan masuk ke kampus karena dianggap menyimpang.

Yang kedua, menyoal performativitas gender. Judith Butler dalam bukunya Gender Trouble (1999), menyebut “sex is as culturally constructed as gender”, bahwa tidak hanya gender saja yang dikonstruksi secara sosial, tapi juga jenis kelamin. Ia menyebut bahwa jenis kelamin juga dikonstruksi oleh norma sosial karena jenis kelamin tidak lagi dianggap sesuatu yang diputuskan oleh tubuhnya. Operasi jenis kelamin interseks ke kategori penis atau vagina dengan alasan seksis menjadi contoh mengapa jenis kelamin juga masuk ke dalam bentuk konstruksi sosial. Saya kira, di sini Butler hendak melakukan dekonstruksi terhadap konsep jenis kelamin dan gender karena dalam pandangannya, norma pembentuk jenis kelamin dan gender, sama-sama bermuara dari norma individu atau kelompok yang memiliki kuasa (power). Ide-ide seperti gender mana yang perlu dilekatkan pada jenis kelamin yang mana, menjadi contoh bagaimana kuasa penundukan tubuh bekerja.

Dalam hal performativitas gender, Butler menjelaskan, “When something is performative, it produces a series of effects… An important aspect of performativity is the repetitiveness of the acts that are being done (Butler, 2011).

Contohnya, apabila anak kecil yang disebut ‘laki-laki’ mulai dipakaikan pakaian warna biru dan juga di hari-hari berikutnya, maka kita dibiasakan melihat itu sebagai sesuatu yang ‘normal’ untuk dipakai sebagai anak bergender laki-laki. Lalu, saya menyoroti kultur ‘gender reveal’ yang dilakukan secara repetitif. Orang tua atau keluarga si anak seolah diberi kuasa untuk mengetahui gender anak tersebut dari mulut tenaga medis. Dari keterangan jenis kelamin, tenaga medis akan dengan leluasa menyebutkan gender si anak sesuai norma heteroseksual. Performativitas ini dinormalisasi oleh sekeliling dan seolah memberi kuasa untuk mendefinisikan yang tidak sesuai dengan norma tersebut sebagai yang subordinat.

Baik pendefinisian jenis kelamin dan gender secara tradisional atau secara performativitas Butler, perlu dipahami sesuai konteks yang dibahas. Dalam hal coming in, saya setuju bahwa peng-aku-an mengenai identitas diri, dan membedakan dengan jenis kelamin ketika seseorang lahir menjadi pengalaman subjek yang penting. Lalu, saya juga meminjam cara Butler menjelaskannya secara performativitas; yang mana jenis kelamin dan gender sama-sama dikonstruksi secara sosial.

Tiap orang menanggapi hal tersebut dengan berbeda-beda. Ada yang menganggap penamaan identitas itu penting karena merupakan perlawanan terhadap sejarah penundukan tubuh, ada juga yang melawan kuasa itu dengan cara menganggap penamaan identitas sebagai tidak usah dan tidak perlu lagi, seperti kampanye-kampanye #AbolishGender.

Di media sosial, telah diberikan fitur menyematkan label pronoun atau sapaan untuk penggunanya. Misalnya ketika akan melakukan webinar melalui Zoom, sekarang kita diberikan pilihan apakah akan membagikan sapaan kita atau tidak. Apabila iya, maka akan muncul pronoun sesuai apa yang kita tulis di bagian pengaturan (setting). Lalu tertulis she, her, hers, he, him, they, them, theirs, hingga xe, xem kalau di Instagram. Biasanya, hal itu dijadikan cara media sosial untuk mengetahui sapaan penggunanya, tapi juga nanti bisa memudahkan bagaimana publik dapat menyapa dengan persetujuan. Hal ini tidak baru. Dalam bentangan sejarahnya, bentuk-bentuk sapaan telah berkembang mengikuti zaman. Sejak abad ke-18, banyak sapaan gender yang netral yang digunakan untuk menyapa individu atau kelompok non-heteroseksual atau sebut non-biner. Dennis Baron, seorang Profesor di University of Illinois Urbana-Champaign dan penulis buku What’s Your Pronoun? Beyond He or She (2020), menyebutkan bahwa sapaan gender yang netral telah dipakai di dalam koran-koran sejak tahun 1789. Sapaan they atau mereka, digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang mana gendernya belum diketahui atau tidak merujuk pada norma yang heterosentris. Atau menurut Baron, ada juga yang tidak menyebutkan sapaan mereka karena bisa menempatkan mereka dalam situasi yang mengancam. Pada tahun 1920, muncul sapaan hir yang diinisiasi oleh koran The Sacramento Bee. Pada tahun 1858, muncul sapaan thon atau that one. Alasannya beragam, dari mulai otentisitas hingga keamanan. Dalam sensus yang dilakukan oleh Gender Census (2019), menyebut bahwa sapaan xe dan they digunakan untuk menghindari pelabelan sapaan secara general. Secara paradoks, xe berusaha melawan kuasa pelabelan sapaan, tapi juga dengan sapaan. Bedanya, ia melabeli diri dengan pertanggungjawaban. 

Bentuk sapaan atau pronoun biasanya digunakan seseorang untuk identifikasi dirinya sendiri daripada namanya. Contohnya, she/her/hers dan he/him/his dalam konteks biner feminin dan maskulin. Tentu ada juga yang setuju disebut langsung namanya atau menggunakan sapaan gender yang netral seperti they/them/theirs. Dalam kultur bahasa Indonesia sendiri, sapaan dia menjadi uniseks. Biasanya ketika ada pelabelan Mas atau Mba, saya sendiri pergunakan dahulu sapaan yang netral, bisa gunakan kata Kak. Atau tentu saja menanyakan dahulu di awal sapaan apa yang nyaman ia gunakan.

Sedangkan neopronoun, merupakan kategori baru atau neo dalam sapaan yang biasa kita gunakan di atas. She, he, they, diganti oleh xe/xem/xyr, dan seterusnya. Tidak hanya bagi transgender atau non-biner, tapi juga bagi seseorang atau kelompok gender non-conforming menggunakan sapaan baru.

Bentuk sapaan atau sapaan baru akan terus berubah mengikuti ruang dan waktu di mana dan kapan seseorang itu berada atau mengada. Seseorang yang dulu mengidentifikasi diri sebagai She atau Mba, bisa saja dalam beberapa waktu ke depan, ia mengidentifikasi diri sebagai Xe. Baiknya, tanyakan dulu di awal. Atau, apabila terasa kikuk, boleh perkenalkan dulu dirimu dan sapaan yang kamu gunakan. Apabila ia nyaman, ia bisa saja membagikan sapaan yang ia gunakan.

Dengan keterbukaan kita terhadap karakteristik jenis kelamin, identitas gender, dan sapaan yang beragam dan akan terus berkembang, maka kita belajar untuk menghargai keberagaman di sekitar. Keberagaman yang inheren ini, perlu dirayakan dengan cara penghormatan antar satu sama lain.


Featured images: Dall-E!

Referensi:

Baron, Dennis E. What’s Your Pronoun? Beyond He & She. Liveright Publishing Corporation, a division of W.W. Norton, 2020.

Butler, Judith. Bodies that Matter: On the Discursive Limits of “sex”. Routledge, 2011.

Butler, Judith, et al. Gender trouble : feminism and the subversion of identity. Routledge, 1999.

CNN Indonesia. “Drama ‘Hijaber’ di Era Soeharto.” CNN Indonesia, 21 August 2018, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180814114015-20-322101/drama-hijaber-di-era-soeharto. Accessed 5 February 2022.

Human Rights Watch. “Medically Unnecessary Surgeries on Intersex Children in the US | HRW.” Human Rights Watch, 25 July 2017, https://www.hrw.org/report/2017/07/25/i-want-be-nature-made-me/medically-unnecessary-surgeries-intersex-children-us. Accessed 6 February 2022.

Mikkola, Mari. “Feminist Perspectives on Sex and Gender.” The Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2017.

UNC Greensboro. “Neopronouns Explained.” 2018, https://intercultural.uncg.edu/wp-content/uploads/Neopronouns-Explained-UNCG-Intercultural-Engagement.pdf. Accessed 7 February 2022.


Categories

error: Sorry, content is protected!