Ulasan Buku Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia

Posted

by

Sejarah umat manusia telah dibentuk oleh tiga revolusi besar, yaitu Revolusi Kognitif pada 70.000 tahun yang lalu, Revolusi Pertanian pada 12.000 tahun yang lalu, dan Revolusi Sains sekitar 500 tahun yang lalu. Ketiga revolusi ini telah melatih manusia melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukan oleh bentuk kehidupan sebelum-sebelumnya. Contohnya, menghubungkan antar kelompok sapiens untuk bekerja sama melalui fiksi atau khayalan yang dipercaya secara kolektif seperti agama, kapitalisme, dan politik. Fiksi yang disebut mitos ini diimani bersama dan memungkinkan sapiens mengambil alih dan memenangkan seleksi alam diantara genus Homo lainnya. Inilah ide utama dari buku Kitzur Toldot Ha’enoshut karya Yuval Noah Harari yang dipublikasikan pertama kali dalam bahasa Ibrani pada tahun 2011, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 2014 dengan judul Sapiens: A Brief History of Humankind, dan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2017 dengan judul Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia.  

Yuval Noah Harari atau Harari, lahir di Haifa, Israel pada tahun 1976. Beliau merupakan sejarawan dengan gelar Ph. D. dari jurusan Sejarah, Oxford University pada tahun 2002. Sekarang, beliau mengajar di Departemen Sejarah Hebrew University, Jerusalem. Selain Sapiens: A Brief History of Humankind (2014), beliau juga menuliskan karya lainnya dalam genre sejarah yaitu, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2017) dan 21 Lessons for the 21st Century (2018). Kali ini, saya mengulas buku Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia dengan membagi sub-judul ulasan ke dalam tiga bagian, yaitu Revolusi Kognitif, Revolusi Pertanian, dan Revolusi Sains, beserta kesimpulan di akhir tulisan.

Revolusi Kognitif

Secara umum, apa yang dimaksud Harari sebagai manusia dalam buku ini adalah semua hewan bergenus homo, sedangkan sapiens adalah salah satu spesies dalam genus itu. Di tulisan ini saya juga gunakan konsep yang sama, yakni menyebut manusia untuk menjelaskan ragam spesies bergenus homo dan menyebut sapiens sebagai spesies kita–humans, manusia hari ini. 

Mengapa sapiens bertahan tapi terdapat spesies bergenus homo lainnya yang punah? Padahal, sapiens akan kalah secara struktur tubuh dibandingkan dengan Homo neanderthalensis atau Neanderthal yang berotot dan mampu hidup di lingkungan yang sangat dingin. Sapiens juga bisa saja kalah rajin dengan Homo rudolfensis dan Homo ergaster, manusia purba di Afrika Timur yang suka bekerja. Apakah karena sapiens adaptif? Menurut Harari, penggunaan bahasa menjadikan sapiens unggul dan itu menjadi modal yang cukup untuk menaklukan dunia. Contoh menurutnya, “Anda tidak akan pernah bisa meyakinkan monyet untuk menyerahkan sebatang pisang kepada Anda dengan menjanjikan kepadanya pisang dalam jumlah tak terbatas di surga monyet setelah ia mati.” Monyet, sebagai salah satu kerabat sapiens tidak pernah memberitahu rekannya tentang apa yang tidak pernah dilihatnya. Tapi beda dengan sapiens. Ia mampu menggunakan bahasa untuk meyakinkan sapiens lain untuk mempercayai apa yang tidak pernah dilihat, dicium, dan disentuhnya; seperti dewa, mitos, hingga konsep punish and reward (surga & neraka).

Penggunaan dan pengembangan bahasa menjadi kunci mengapa kognitif sapiens berevolusi. Misalnya, menciptakan teknologi seperti jarum untuk menjahit baju hangat, perahu untuk menyebrang lautan, busur panah untuk mendapatkan bahan makanan hewani, lampu minyak untuk penerangan, termasuk cara mengawetkan makanan. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan sapiens keluar dari Afrika dan mencapai Eropa dan Asia Timur dengan waktu yang relatif sebentar, yakni periode sekitar 70.000 sampai 30.000 tahun yang lalu. Dengan bahasa, sapiens bisa menyebarkan informasi tentang diri atau musuhnya dalam bentuk gosip atau fiksi. Gosip menjadi cara mempertahankan kedudukan politis hingga urusan prokreasi yang sama-sama bertujuan untuk bertahan hidup. Menurut Richard Dawkins dalam bukunya Sungai Dari Firdaus, sapiens bisa bertahan hidup karena memiliki kumpulan gen leluhur yang baik dan sukses, bukan dari kumpulan gen leluhur yang gagal. Maka setiap generasi adalah hasil dari tapisan, saringan gen-gen baik yang lolos ke saringan generasi berikutnya. Kebetulan seperti bencana alam, tidak bisa kawin, menjadi faktor utama mengapa suatu gen leluhur disebut jelek dan gagal. Di lain sisi, gen-gen yang lolos membentuk sesuatu yang khas pada diri sapiens, yakni bauplan atau blue print yang terus berkembang seiring penggunaan bahasa yang memicu caranya berimajinasi: menciptakan ragam realitas khayalan seperti hak asasi manusia, agama, nabi, perseroan terbatas, kedaulatan negara, dan seterusnya.

Revolusi Pertanian

Revolusi kognitif berkembang seiring berubahnya kultur masyarakat pemburu-pengumpul (hunting or gathering society) ke masyarakat pertanian (agricultural society). Menurut Harari, pertanian hanyalah perangkap kemewahan. Ketika manusia hidup sebagai pemburu-pengumpul, ia akan cenderung memiliki kehidupan nomaden karena harus mencari bahan makanan di sana-sini. Tidak mampu adaptasi pada satu musim pun memaksa manusia berpindah-pindah supaya tidak mati kedinginan atau dehidrasi karena panas menyengat. Sapiens lah yang memulai kultur pertanian sebagai harapan mampu bertahan hidup dengan kapabilitas domestikasi hewan dan tumbuhan di sekitarnya. Nomaden tidak lagi sebuah pilihan. Maka sepetak tanah yang dijadikan rumah dari setumpuk jerami menjadi solusi. Revolusi pertanian menjebak sapiens dengan kenyamanan yang ternyata lebih merepotkan dan mematikan. Ketika masih menjadi sekumpulan pemburu-pengumpul, ia tidak akan khawatir besok harus makan apa karena sejauh kaki melangkah pasti akan menemukan hewan atau tumbuhan yang bisa dikunyah. Rumahnya adalah lingkungannya, tidak seperti ketika masuk ke dunia pertanian di mana yang disebut rumah hanyalah sepetak ruangan. Pada masa ini, sapiens cenderung sering merasa khawatir karena takut makanan yang disimpan di lumbung itu akan habis sebelum memasuki masa paceklik. Seharian dihabiskan untuk mengurus pertanian dan tidak bisa bebas dari rasa khawatir itu. Di masa ini, teknologi hitung-menghitung muncul untuk memudahkan sapiens mengetahui jumlah stok makanan. Sekitar 3.000-2.500 SM, tulisan paku (cuneiform) di Mesopotamia muncul, dan aksara dari teknik quipu digunakan budaya Andes untuk mencatat birokrasi dan pajak. Kemampuan hitung & catat-mencatat yang Harari sebut realitas khayalan ini diciptakan untuk mengorganisir antar sapiens yang hidup berkolektif. Contoh lainnya, melalui Undang-Undang Hammurabi hierarki kekuasaan terpetakan, lalu dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika juga muncul realitas khayalan ihwal hirarki antara laki-laki dan perempuan. Apabila hirarki produk imajinasi ini kita anggap sesuatu yang tidak adil, kita juga bisa melawan khayalan itu dengan khayalan lain seperti konsep hak asasi manusia dan keadilan. Realitas khayalan yang aneh itu seringkali dianggap kebenaran mutlak karena mewujud dalam konstruksi masyarakat dan hukum positif. Hal demikian mewujud dalam jejaring lebih luas yang hari ini kita sebut “budaya”. Dari urusan gender, konsep uang dan gaji, sampai urusan agama dan hooliganisme sepakbola. Sapiens memerlukan budaya supaya bisa berkumpul melakukan pertukaran barang atau bekerja sama meskipun tidak saling mengenal. Norma dan nilai diatur dan dikonstruksi sedemikian rupa untuk menciptakan fiksi-fiksi baru yang dianggapnya revolusioner dan mampu memfalsifikasi fiksi atau mitos purba yang dianggapnya usang. Inilah cikal bakal revolusi sains (information society dan industry society).

Revolusi Sains

Sekitar tahun 1500, hanya terdapat 500 juta sapiens yang tinggal di Bumi. Hari ini, terdapat lebih dari 7 miliar. Populasi kita meningkat 14 kali lipat dengan biokapasitas yang terbatas. Dulu bangunan dibuat dari lumpur, kayu, dan jerami. Sekarang pencakar langit di mana-mana. Sebelum abad ke-16 tidak ada manusia yang mampu mengelilingi bumi. Hari ini kita bisa jalan-jalan antar waktu antar daerah dengan cepat asal ada uang yang memadai. Kemudahan ini diikuti dengan limbah industri, polusi udara, dan sampah medis. Penyakit endemi dan pandemi juga terlibat dalam proses pewarisan gen-gen unggul yang disematkan pada blue print generasi berikutnya. Kloning, eksperimen medis, pembuatan anti-virus, modifikasi iklim, rekayasa biologis, dan penelitian-penelitian dilakukan sejak setidaknya revolusi kognitif dimulai. Sapiens mencoba memahami lingkungannya melalui mythos sampai logos. Revolusi sains bukanlah revolusi pengetahuan. Justru revolusi sains adalah revolusi ketidaktahuan, atau dalam bahasa Latin ignoramus, artinya “kami tidak tahu”. Akibatnya, banyak hal dalam realitas dipertanyakan, yang nantinya menghasilkan pengetahuan, yang menurut Karl Popper bisa difalsifikasi. Dogma sains tidak lepas dari sifat empiris yang positivistik. Seringkali juga memihak imperium. Politis! Militeristik! Tergantung pesanan. Tapi dengan sains juga lah proposisi itu bisa dikritik. Suatu waktu imperium dari Eropa menaklukan daerah yang menurutnya lebih menguntungkan secara biokapasitas. To civilize! Menjadikan daerah-daerah koloninya lebih beradab demi sebuah peradaban. Revolusi industri memudahkan pekerjaan sapiens sekaligus memiliki lembaran hitam: mempermudah imperialisme dan kolonialisme. 

Kesimpulan Reflektif

Selama 2,5 juta tahun bermacam manusia hidup di Bumi. Dari Homo neanderthalensis, Homo rudolfensis, Homo erectus, dan seterusnya. Tapi hari ini hanya Homo sapiens yang bertahan. Bukan hanya karena sekumpulan gen dirinya yang lolos dari tapisan saringan gen jelek dan gagal, tapi juga karena kemampuannya menggunakan fiksi, mitos, dan realitas yang dikhayalkan demi menempati puncak ekosistem. Sapiens, bijaksana katanya. Melalui bahasa ia menyebar mengisi domain-domain kehidupan. Seperti mendirikan imperium, menaklukan daerah yang ia anggap tidak beradab, memanen data melalui algoritma komputer atau perangkat cerdas, hingga merekayasa berbagai hal yang bisa direkayasa. Saya kira sapiens bisa disebut sapiens dalam arti bijaksana ketika ia mampu lakukan eksperimen-eksperimen itu dengan etis, bukan elitis. Narasi seperti perpindahan kesadaran kita ke dalam medium robot sedang dilakukan. Keinginan pindah ke Mars karena alasan Bumi sudah hancur sedang dilaksanakan. Susah untuk tidak skeptis bahwa narasi itu dibuat karena didorong sifat masyarakat yang kapitalistik dan destruktif.  

Kita sudah melewati hunting-gatherer society, lalu agricultural society, lalu industry society, terus menuju information society, dan hari ini terintegrasi dengan perkembangan internet menuju smart society. Tapi satu yang pasti, menurut saya, sifat manusia purba tidak bertanggungjawab yang selalu lari dari masalah masih tersimpan di relung heliks DNA pada sapiens yang masih hidup saat ini. 

Harari mengakhiri buku Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia dengan pembahasan munculnya hukum-hukum desain cerdas. Baik melalui kecerdasan buatan (AI) seperti produksi robot yang masif maupun rekayasa genetik yang membabi buta. Seleksi alam benar-benar bukan lagi urusan alam semata. Sekarang ia bisa diatur, dimodifikasi, sekaligus dimanipulasi. Sapiens pada tahun 1500 berbeda dengan sapiens hari ini yang mampu melakukan rekayasa siborg tanpa khawatir efek sisi ekstrim dan tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Mitos Frankenstein yang dibuat Mary Shelley pada 1818 menghadapkan sapiens pada realitas yang mungkin saja semakin menyengsarakan generasi berikutnya. Awalnya manusia menemui Tuhan sebagai realitas yang dikhayalkan, sekarang ia mengubah dirinya menjadi Tuhan, yang mampu menciptakan dan menghancurkan belaka: homo sapiens yang berubah menuju diri yang memiliki God-complex, menjadi Homo Deus

Membaca buku-buku Harari seperti membaca karya-karya Jared Diamond seperti Guns, Germs, and Steel dan Collapse atau karya-karya Richard Dawkins. Jared Diamond seringkali membahas sejarah riwayat peradaban manusia, khususnya mengapa satu peradaban bisa lebih maju dari peradaban lainnya; dan Dawkins membahas manusia dari sisi evolusi heliks DNA atau genetiknya. Buku-buku tersebut seringkali didukung dan dipromosikan oleh pebisnis dan tokoh politik macam Barack Obama, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg. Bukunya memberikan perspektif luas terkait riwayat sejarah umat manusia, dan didukung banyak pebisnis besar. Jangan sampai hal itu menghalangi kita untuk lakukan pembacaan kritis terhadapnya.

Daftar Pustaka

Dawkins, R. (2005). Sungai Dari Firdaus (Terj.) (2nd ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Diamond, J. (2013). Guns, Germs, & Steel: Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia (Terj.) (5th ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Harari, Y. N. (2017). Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia (Terj.) (18th ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

ITIS Report. (1758). Homo sapiens Linnaeus, 1758. ITIS Report. https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_value=180092#null

Buku yang diulas HARARI, Yuval Noah
SAPIENS: Riwayat Singkat Umat Manusia (Terj.)
Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, 2017
Cetakan Ke-18, 2021 viii + 525 halaman
ISBN 976-602-424-416-3
Genre: Sejarah


Categories

error: Sorry, content is protected!